Pembagian kelompok untuk masa orientasi sudah ditempel di mading. Siswa-siswa baru berkerumun memenuhi koridor didepan mading. Termasuk aku!.
Aku berjalan tanpa ragu memasuki kerumunan itu. Dengan sigap aku mencoba mencari celah untuk sampai kedepan mading. Entah dengan mendorong orang didepanku atau apapun itu, pokoknya aku harus sampai kedepan. Akhirnya sampai juga, walaupun disambut dengan teriakan oleh siswa lain.
"Yah, beda regu sama Dina" kataku kecewa karena ternyata tidak satu regu dengan Radina.
Sambil menelan kekecewaan, aku berusaha keluar dari kerumunan. Tapi tentu hal itu cukup mudah untuk seorang Dinar. Ya, aku ahli dalam menyelipkan tubuh. Walaupun tubuhku tidak kurus, malah terbilang berisi dengan tinggi badan yang seadanya. Tapi urusan berdesak-desakkan, aku jagonya!.
"Beda, Din" kataku pada Radina yang berada cukup jauh dari kerumunan. Dia tidak kuijinkan masuk kedalam sana, karena tubuhnya sangat rapuh.
"Yah, sedih dong." Kata Radina.
"Iya, padahal pengen banget satu regu sama kamu" kataku sambil berjalan menjauhi kerumunan, Radina mengikuti.
Kami duduk didepan kelas yang masih terkunci, karena saat ini masih libur sekolah. Hanya siswa baru saja yang mengisi sekolah untuk mempersiapkan masa orientasi. Dihadapan kami ada lapangan yang luas, terdiri dari lapangan basket dan lapangan volly.
"Semoga masa SMA kita indah ya" kataku sambil melihat lurus kedepan.
"Iya!" Sahut Radina.
"Terus nanti ketemu cowo ganteng, terus jatuh cinta!" aku melanjutkan dengan antusias.
"Kayak di novel-novel gitu" katanya sambil tertawa-tawa.
Ya beginilah ketika dua idiot ditakdirkan bersama. Barangkali orang-orang akan memandang aneh kearah kami, sambil berpikir "Memang ya, dunia telah dipenuhi orang-orang yang tidak waras."
***
Hari pertama masa orientasi siswa baru telah dimulai. Aku mengenakan rompi yang terbuat dari kardus dan dilapisi dengan kertas karton berwarna biru terang. Diatasnya ditulis nama, regu dan ditempeli dengan foto muka sendiri. Jangan lupakan tas yang terbuat dari karung beras berwarna putih. Topi yang terbuat dari anyaman, kerajinan tangan khas kota ini. Kerudung ala 90an seperti ibu-ibu jaman dulu.
Setelah meletakkan motor di tempat parkir, aku segera berlari menuju lapangan mencari reguku. Sudah banyak siswa yang berkumpul disana. Kakak-kakak kelas juga sudah mulai masuk sekolah. Tampak mereka tertawa melihat kearah kami.
Agak memalukan memang di hari pertama memakai seragam putih abu-abu, tapi malah direcoki dengan perlengkapan seperti ini. Tapi tidak apa-apa!. Kehidupan SMA yang manis telah menunggu!. Semangat Dinar!.
Baiklah, itu belum cukup untuk memotivasiku. Buktinya saat ini aku sedang berlindung dari sinar matahari menggunakan tubuh Karin yang cukup tinggi. Pagi ini terlalu cerah untuk sekadar berjemur di lapangan sambil mendengarkan sambutan Kepala Sekolah atau ketua OSIS yang menurutku tidak begitu nyaman untuk dipandang. Bukan apa-apa, dia kelihatan sombong saja, jadi aku tidak suka melihatnya.
Aku menutupi wajahku menggunakan topi dan berusaha untuk berdiri dengan tegap. Tahan sebentar lagi, Din!. Dan syukurlah, tidak lama kemudian upacara telah selesai. Semua siswa baru diarahkan menuju aula. Kabar buruk, ternyata didalam aula sama saja. Sama-sama panas dan tandus.
Setelah masuk dan mengambil tempat duduk perregu, bukannya disuruh istirahat, seorang panitia malah berdiri dan menyuruh kami menyanyikan yel-yel. Ya sudahlah, derita siswa baru yang ternyata sangat jauh dari apa yang kubaca dalam novel-novel remaja. Ini sama sekali tidak manis!.
Aku duduk sambil membuang nafas kasar. Akhirnya kami diperbolehkan untuk istirahat. Aku dan reguku duduk didekat panggung aula. Entah siapa yang memilih posisinya, mungkin ketua regu atau barangkali kakak pembina kami.
"Itu yang cowo, yang ngga pakai selayer, maju kedepan!" Kata salah satu kakak kelas, rambut sebahu dengan lipstik yang cukup merah.
"Hey! Ayo maju!" Katanya sekali lagi, kali ini menggunakan pengeras suara.
Aku melihat beberapa orang siswa maju keatas panggung, beberapa dari mereka adalah teman satu alumni dari SMP yang sama denganku. Hal ini tentu biasa terjadi pada saat masa orientasi. Kakak-kakak panitia pasti jadi lebih otoriter dibanding biasanya. Padahal, hal-hal seperti ini menurutku tidak terlalu penting dan sama sekali tidak mendidik.
Setelah semua siswa yang tidak menggunakan selayer maju kedepan. Kak Julia, begitu kulihat dari nametag dibajunya kembali berbicara menggunakan pengeras suara, "Sekarang kakak mau tanya, dimana selayer kalian?."
Beberapa dari mereka menunjuk kearah tas karungnya, beberapa lagi hanya diam menundukkan kepala.
"Yaudah, nih!" Kak Julia menyerahkan pengeras suara ke siswa baru yang ada disampingnya. "Sebutkan alasanmu tidak menggunakan selayer!."
Aku menundukkan kepalaku karena pegal jika terus mendongak sambil melihat kearah lelaki-lelaki itu. Sambil mengupas jeruk, aku mendengarkan alasan mereka. Sesekali tertawa dengan alasan-alasan konyol mereka.
"Nama saya Hasanuddin, alasan tidak memakai selayer adalah karena lupa kak."
"Nama Sam, lupa."
"Lupa juga kak."
"Sama."
"Tadi buru-buru kak, jadi lupa."
"Sama kak, tadi barengan sama Hasan."
"Males."
Aku mendongakkan kepalaku dengan cepat setelah mendengar jawaban itu. Cukup berani untuk mengatakan hal seperti itu didepan kakak-kakak panitia yang sudah seperti harimau kelaparan. Aku melihat kearah siswa itu. Dan astaga! Dia benar-benar tampan!.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME NEVER HEALS
Teen FictionKatamu, waktu dapat menyembuhkan luka. Kataku, waktu tidak akan pernah menyembuhkan apapun. Buktinya, sampai hari ini, bahkan ketika hari-hari menjelma menjadi tahun-tahun sepi. Rasanya masih sama. Masih menyakitkan. Namira Dinar.