BAB 5

6 0 0
                                    

Aku menatap langit-langit kamar yang berwarna merah muda. Tampak tempelan hiasannya sudah mulai terkelupas. Hari ini aku pulang ke kota ini setelah cukup dengan berkelana diluar sana. Pulang ke kota ini sungguh, selalu membawa banyak kenangan.

Bangkit dari posisi tidurku, aku berjalan menuju meja belajar yang pernah menemaniku menulis tentang seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidupku atau mungkin selalu. Aku mengambil sebuah kotak yang tersimpan didalam laci. Dengan pelan aku membuka tutupnya dan aku lihat disana banyak sekali buku-buku dengan sampul yang lucu. Ada juga buku masa orientasi yang sudah mulai menguning dan sampulnya yang sudah mulai pudar.

Pelan kubuka lembar demi lembar. Hingga sampai pada halaman terakhir, disana aku melihat nama seseorang dengan sebuah tanda hati yang ditulis menggunakan pensil. Tulisannya pun hampir pudar.

"Udah lama banget ya" gumamku sambil mengusap tulisan itu. "Kamu pasti masih ingatkan gimana kita ketemu?" tanyaku entah pada siapa.

***
Hari kedua masa orientasi, aku mengenakan seragam olahraga SMP karena belum dikasih seragam baru. Aku dan reguku keluar dari aula sambil membawa alat kebersihan. Hari ini kami akan menjadi pecundang dan disuruh untuk bersih-bersih wilayah sekolah. Baiklah, apapun itu ayo cepat kita selesaikan. Aku benci masa orientasi seperti ini.

Kecuali pada bagian bertemu dengan seseorang yang begitu tampan ini. Aku melihat kearahnya yang sedang mencabut rumput sambil terus tersenyum. Dia mengenakan kaos berwarna merah dan itu sangat kontras dengan kulit putihnya. Padahal aku sangat tidak suka dengan warna merah tetapi ketika melihatnya, aku seperti ingin membeli semua benda yang berwarna merah dimuka bumi ini.

Baiklah, itu berlebihan Dinar.

"Dinar!" Teriak Karin membuyarkan lamunanku.

"Hati-hati peras pelnya! Itu sepatumu basah semua!" Aku melihat kearah sepatuku yang sudah basah karena air pel yang baru saja kuperas. Aku segera meletakkan pel dilantai.

"Kariiin" aku merengek padanya, meskipun aku tahu itu sama sekali tidak membantu. Pasti kaus kakiku akan sangat bau. Mana nanti bakalan masuk kedalam aula lagi. Yaudahlah, nyeker saja.

Aku tidak benar-benar nyeker. Untung kami diwajibkan membawa sendal untuk berwudhu. Jadi aku masih bisa menggunakan sendal kemana-mana. Meskipun terlihat aneh, tapi ini lebih baik daripada tidak menggunakan alas kaki sama sekali.

Setelah gotong royong selesai, kami dipersilahkan untuk beristirahat. Ada yang langsung pergi ke kantin dan ada yang kembali kedalam aula. Aku memutuskan untuk kembali kedalam aula saja.

Didalam aula tampak banyak siswa berjalan kesana kemari sambil meminta tanda tangan kakak panitia atau bahkan dengan teman satu angkatan. Aku mengambil bukuku dari dalam karung putih. Ternyata masih ada satu kolom yang kosong.

"Minta tanda tangannya saja kali ya," kataku sambil mengedarkan pandanganku kepenjuru aula tapi aku sama sekali tidak menemukan batang hidungnya.

Aku berjalan menelusuri aula sambil sesekali melihat keluar, siapa tahu bisa ketemu. Dan ternyata memang benar, dia sedang duduk dibangku berwarna hijau. Bingung bagaimana caranya meminta tanda tangannya sedangkan dia terus memasang wajah ingin membunuh siapapun yang berani mengganggunya.

"Hey!" Panggilku pada seseorang yang entah aku juga tidak mengetahui namanya siapa. Dan dia hanya menatapku dengan ekspresi wajah yang aneh. Sedih.

"Bisa mintain tanda tangan cowo itu ngga?" Tanyaku berusaha untuk sangat sopan.

"Minta sendiri!" Katanya kemudian berjalan menjauhiku. Ya ampun! Bagaimana bisa dapat tanda tangannya kalau begini?.

"Iki!" Panggilku pada Rezki yang kebetulan lewat didepanku.

"Apa, Din?" Tanyanya.

"Ayo kita minta tanda tangannya" ajakku sambil menunjuk kearah laki-laki itu.

"Ayo!." Rezki berlari mendahuluiku sedangkan aku hanya mengekorinya.

Aku memeluk bukuku sambil menunggu Rezki selesai meminta tanda tangan laki-laki itu. Sambil menatap kakiku, aku mencoba meredakan degup jantung yang mulai berpacu tidak beraturan. Aku mengalihkan pandanganku dengan cepat ketika melihat Rezki berlari begitu saja. Ah! Benar-benar! Sekarang apa yang harus aku lakukan?!.

Laki-laki itu memandangku tanpa ekspresi apapun. Dan aku juga hanya diam saja ketika melihatnya. Situasi canggung macam apa ini?. Tuhan, tolong Dinar!.

Akhirnya akal sehatku berjalan dengan baik. Aku menyerahkan bukuku pada laki-laki itu. Tapi dia tidak melakukan apapun. Hanya memandangiku dengan ekspresi datarnya. Bikin gugup saja!.

"Pulpen?" Tanyanya kemudian setelah hening yang cukup lama.

"A-ah. P-pulpen?" Aku gelabakan sambil meraba kantong celana olahragaku. Sial!. Aku tidak punya pulpen.

"A-adanya cuman p-pensil. M-mau?" Tawarku ketika sadar dari tadi ternyata ada pensil ditanganku. Pasti aku terlihat bodoh sekali saat ini.

Dia hanya mengangguk sambil mengambil pensil yang kusodorkan. "Disini," tunjukku pada kolom terakhir yang masih kosong. Untunglah rasa gugup ini sedikit demi sedikit mulai dapat kukendalikan.

"Arigatou" kataku dengan cepat setelah mengambil buku yang sudah ditanda tanganinya, bersiap untuk berlari menuju aula.

"Domo" langkah kakiku terhenti ketika samar-samar kudengar kata itu meluncur entah dari siapa. Aku membalikkan badanku mencoba mencari tahu dari siapa kata itu terlontar.

"Domo" kata laki-laki itu, lagi, dan sekarang sambil tersenyum.

Tuhan! Baru kali ini aku melihat senyum yang semanis ini. Rasanya semua penatku hilang. Perutku juga mendadak menjadi taman bunga yang dipenuhi kupu-kupu. Sepertinya aku telah benar-benar jatuh cinta.

TBC

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 01, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TIME NEVER HEALSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang