Setelah pengumuman untuk beristirahat dan sholat dzuhur bagi yang menjalankan, siswa baru mulai berhamburan keluar aula. Ada yang sekadar duduk disekitarnya. Ada yang langsung berlari ke kantin. Ada yang pergi ke musholla menunggu sampai adzan dzuhur berkumandang.
Aku membawa buku orientasiku sambil mengelilingi aula, karena masih ada beberapa orang didalamnya. Jadi setiap siswa baru memiliki satu buku orientasi. Isinya tentang tata tertib sekolah dan kolom tanda tangan panitia dan teman satu angkatan.
Aku menyerahkan bukuku pada Hasan, teman satu SMP. Hasan mengambilnya dan dengan cepat menandatanganinya. Ia juga menyerahkan bukunya. Aku duduk didekatnya sambil memberikan tanda tangan.
"Sekalian saja, San. Teman-temanmu disana" kataku menyuruhnya memutar bukuku sekalian, biar penuh isi kolomnya.
"Oke" sahutnya sambil menyerahkan bukuku ke Yoga yang duduk disampingnya.
Aku duduk sambil mengedarkan pandanganku keseluruh aula mencari sosok yang mampu mencuri seluruh atensiku. Aku menghela nafas kasar ketika tidak kutemui batang hidungnya. Rasanya setiap detik tidak ingin kulewati tanpa melihat matanya.
"Sudah, Din" kata Hasan membuyarkan lamunanku.
"Makasih ya" aku mengambil bukuku kemudian berjalan menjauhi Hasan.
"Radina," panggilku pada Radina yang sedang mengobrol dengan teman satu regunya. Radina mengarahkan tangannya memintaku untuk menunggunya selesai berbicara, aku hanya mengangguk. Untuk kesekian kalinya aku mengedarkan pandanganku keseluruh penjuru aula, mencari laki-laki itu.
Radina memegang lenganku, "Hey" katanya.
"Mau nyari makan, apa sholat dulu?" Tanyaku pada Radina.
"Terserah deh" sahutnya seperti biasa.
"Yaudah, sholat dulu deh, nanti nyari makan diluar aja."
Setelah selesai sholat dzuhur berjamaah, aku dan Radina memutuskan untuk belanja makanan diluar sekolah. Ya seperti yang pernah aku bilang, sekolahku punya kantin utama. Tapi jajan diluar sekolah itu lebih mantep. Radina berjalan menuju abang-abang yang jual roti bakar sedangkan aku dengan gesit menuju Kang Cilok. Aku berdiri didepan Kang Cilok dan mengantri dengan tenang. Sebenarnya ingin sekali rusuh, tapi melihat kakak-kakak kelas yang ada didepan membuatku mengurungkan niatku.
"Kang, ciloknya lima ribu" kataku pada Kang Cilok yang dibalas dengan anggukan.
"Duain, Kang" kata seseorang membuatku menoleh kesamping.
"Wah," tanpa sadar aku mengucapkan kata itu ketika melihat laki-laki ini berdiri disampingku. Tubuhnya yang tinggi dan berbeda jauh dariku membuatnya terlihat semakin mengagumkan.
"Kenapa?" Tanyanya tanpa ekspresi apapun. Dia yang pernah kuceritakan itu.
"Gak papa! Gak papa!" Kataku kembali fokus memperhatikan Kang Cilok yang sedang menuang saos kacang kedalam plastik.
Setelah mengambil cilokku dan membayar, aku segera berlari kearah Radina yang masih menunggu roti bakarnya. Rasanya benar-benar gila!. Astaga! Suara laki-laki itu benar-benar membuat aku kehilangan kesadaran. Dan jangan pernah lupakan bibir merah mudanya. Ya ampun, Dinar! Sadar! Sadar!.
"Dinaaa!" Teriakku pada Radina yang dibalas dengan tatapan bingung.
"Jantungku mau copot. Aku mau mati saja" rengekku padanya.
"Kenapa sih? Kenapa?" Tanya Radina meminta penjelasan.
"Ketemu, Din!. Ya ampun! Dia ganteng banget dari segi manapun!. Dari dekat apalagi. Aku gugup banget nih. Seneng juga tapi!." kataku dengan irama yang sangat cepat. Entah Radina paham atau tidak.
🍑🍑🍑
Dan benar aku bahkan masih bisa mengingat dengan jelas wajahmu hari itu
Bagaimana wajahmu jika dilihat dari sini
Bagaimana suaramu melewati rongga pendengaranku
Bagaimana kamu berjalan melewati kerumunan orang-orang
Dan bahkan pada saat itu, aku dapat mengenalimu
Dan bahkan hingga kini, aku masih mengenalimu.
Kamar Sempit, Agustus 2027
ND🍑🍑🍑
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME NEVER HEALS
Teen FictionKatamu, waktu dapat menyembuhkan luka. Kataku, waktu tidak akan pernah menyembuhkan apapun. Buktinya, sampai hari ini, bahkan ketika hari-hari menjelma menjadi tahun-tahun sepi. Rasanya masih sama. Masih menyakitkan. Namira Dinar.