Bukan Adam Hawa

7 1 0
                                    

"Jadi lo udah ketemu dia, terus dia udah nikah, tapi masih ngajakin lo jalan. Ini gimana coba maksudnya? Dia mau jadiin lo madunya gitu? Lo jangan macem-macem, deh, By! Mending kawin sama gue aja, jelas jadi satu-satunya."

Sejak kedatangannya dari Luar Negeri, Calvaro langsung menuju flatku. Mulutnya nggak berhenti ceramah dari tadi. Memang dia pikir aku senang apa diposisi ini? Jelas, nggak lah! Aku masih waras.

"Lo dari tadi nggak ada berhentinya perasaan makan itu es krim. Jangan banyak-banyak, By! Ntar mencret," Sergah Calvaro yang langsung merampas box es krim vanilaku. Otomatis bibirku mencebik sempurna. Dia selalu saja begitu. Memang dia pikir aku bocah 5 tahun yang tiap makan es krim kebanyakan bakalan batuk atau mencret? Ah, nggak seru!

"Varo! Gue butuh sesuatu yang dingin buat otak gue! Tolong, balikin!"

"Mau yang dingin? Noh, masukin, dah kepala lo kedalam freezer! Awet dinginnya." Sebuah bantal sofa sudah melayang menuju kepala Calvaro.

Ini, nih kebiasaan Varo, selalu bikin aku kesel. Kalau kita nikah, bisa-bisa tiap hari kita baku hantam kali. Rumah tangga bakalan berubah jadi rumah tinju. That's not the married life I want ever!

"Sumpah, gue butuh solusi, Var! Gue kudu gimana?" Rengek ku ketika Varo mulai mengambil duduk tepat disebelah ku.

Varo menyamping kan duduknya sampai leluasa menatapku. "Menurut gue, sih, ya. Mending lo tanya sama dia, maunya gimana? Tapi, lo juga harus mikirin perasaan istrinya. Lo cewek, suatu saat lo juga bakal jadi seorang istri, pasti lo nggak akan mau, kan, kalo suami lo berhubungan apa pun itu sama mantan gebetannya. Intinya, diluar urusan kerjaan lebih baik kalian jaga jarak aman. Gue nggak mau lo terkenal gara-gara jadi pelakor," Nasihat Varo panjang lebar, sementara aku hanya bisa menunduk dan berpikir sampai kepalaku sakit.

"Lo jangan kebanyakan pikiran! Let it go aja. Yakin kalau semua bakal baik-baik aja, asal lo nggak main api. Gue percaya sama lo!" Varo kembali berucap diiringi gerakannya mengelus kepalaku dengan nyaman.

Sepertinya benar apa kata Varo, aku harus istirahat. Kepalaku sudah sakit dan badanku capek.

Calvaro meninggalkanku saat aku mulai tertidur karena lelah merengek meminta es krim ku kembali. Badan dan jiwaku capek banget, butuh istirahat. Berharap saat bangun tidur aku merasakan perasaan yang ringan, yang ku dapat justru keringat yang membanjiri dahi ku dan nafas yang ngos-ngosan. Aku bermimpi didatangin istri Juan dan setelah itu di gampar di depan orang banyak. Demi apa pun, aku takut banget! Aku nggak mau jadi pelakor.

Tiba-tiba ponselku berdering. Nama Viviane tertera disana. Aku mengangkatnya setelah meminum segelas air putih yang terbiasa ku letakkan diatas nakas tempat tidurku. Berusaha menormalkan suara juga emosiku.

Seakan semesta ingin menguji untuk kesekian kalinya, Vivane menyuruhku untuk ke luar kota besok pagi bersamanya. Ada beberapa pekerjaan yang harus kami selesaikan di Surabaya. Naas nya, disana juga bakal ada Juan. Mengingat ini adalah proyek kerjasama perusahaan mereka berdua. Sepertinya aku harus mandi kembang tujuh rupa dan menyiapkan berbagai macam sesajen untuk membuang sial pada diriku.

Pagi-pagi sekali dengan wajah yang masih muka bantal, aku menuju kearah bandara menggunakan taksi. Semua urusan penerbangan ke Surabaya sudah diurusi oleh Lusi, anak bagian admin. Aku bersyukur Viviane mengerti kondisi mentalku yang agak kurang waras akhir-akhir ini.

Beruntung, didalam pesawat hanya aku dan Viviane, tidak ada Juan maupun asisten pribadinya yang sering mengikutinya kemana-mana itu. Kata Viviane mereka naik pesawat pribadi mereka sendiri nanti siang. Mereka masih harus menyelesaikan beberapa urusan penting terlebih dahulu di Jakarta.

"Kalau dia bisa berangkat nanti siang, kenapa coba kita berangkat pagi-pagi gini? Masih pusing kepala gue," Keluhku pada Viviane. Bukannya bersimpati, Viviane justru menjitak jidatku keras. Aku sampai mengaduh.

Shabyna AmithyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang