Catatan Hati Seorang TKW ( Tenaga Kerja Wanita)

814 22 1
                                    

Catatan_Hati_Seorang_TKW ( Tenaga Kerja Wanita ) Part 1

Namaku Risma. Aku merantau menjadi Tenaga Kerja Wanita disalah satu negara kaya Timur Tengah, Kuwait tepatnya. Bukan karena keinginanku untuk menjadi pembantu rumah tangga di negeri orang, tetapi keadaanlah yang memaksa, karena kehidupanku di sebuah desa di kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, tepatnya di kecamatan Carita, yang merupakan daerah wisata terkenal di ujung barat pulau jawa ini sebenarnya tidaklah susah-susah amat.

Suamiku adalah seorang pedagang ditepi pantai Carita. Penghasilannya cukup lumayan, apalagi jika akhir pekan dan banyak wisatawan yang datang berkunjung, omset 2 hari itu bisa untuk kehidupan keluargaku seminggu, meskipun kami memiliki 3 anak, tetap saja penghasilan dari berdagang dihari sabtu minggu terbilang cukup, bahkan berlebih dan kami bisa menabung dari hasil jualan pakaian dan cinderamata khas pantai Anyer dan pantai Carita.

Keadaan jadi berubah ketika tsunami menerjang Aceh , salah satu Provinsi di ujung barat Indonesia di penghujung tahun 2004, orang-orang jadi takut untuk berwisata kepantai, imbasnya adalah pantai Anyer dan Carita menjadi sepi pengunjung, bahkan meski kejadian tsunami Aceh sudah setahun berlalu, tetap saja kondisi pantai Anyer dan Carita sepi. Hal ini membuat toko suamiku bangkrut karena tak ada pembeli.

Hari demi hari kami jalani, tak ada keluhan, hingga berbilang bulan, kondisi tak berubah sedang tabungan makin lama makin menipis, akhirnya dengan sisa tabungan yang ada, suami berinisiatif membeli sebuah becak agar bisa mencari nafkah untuk menghidupi kami sekeluarga.

Meski hidup kami tak berlebihan, namun kami juga tak kekurangan, hanya saja lama kelamaan aku tak tega melihat suami yang bekerja keras menarik becak, pergi pagi pulang malam hanya demi bisa menafkahi aku dan ketiga anakku. Masalah pun hadir ketika masyarakat semakin mudah untuk memiliki sepeda motor dengan cara kredit, pelanggan becakpun semakin lama semakin berkurang karena mereka satu-persatu telah memiliki sepeda motor. Mulailah kehidupan ekonomi kami bermasalah.

Akhirnya aku meminta ijin pada suami untuk bekerja sebagai TKW seperti para umumnya wanita didaerah tempatku tinggal.

Setahun setelah aku bekerja di Kuwait, tabunganku sudah cukup lumayan, hingga suatu saat aku dapat telephone dari suamiku.

"Yang, kirimin aku uang dong, aku capek narik becak terus, mau beli sepeda motor untuk ngojek" pinta Radi, suamiku. Karena aku kasihan tanpa banyak pikir, aku langsung kirim uang seharga motor bekas untuk suami ngojek.

Setelah permintaan ia yang pertama aku kasih, bulan-bulan berikutnya ia selalu meminta kirim uang dengan berbagai alasan, biasanya alasan yang paling sering dipakai adalah untuk biaya sekolah anak-anakku. Tanpa banyak pikir aku selalu langsung memberinya.

Setelah hampir dua tahun aku bekerja di kuwait, aku dapat sms dari salah seorang teman baikku di Pandeglang, ia bercerita bahwa sesungguhnya, Radi, suamiku sudah menikah lagi beberapa bulan yang lalu. Sebelum ia menikah lagi, ketiga anakku dititipkan kerumah orang tuanya, dan ia lebih memilih tinggal bersama istri mudanya. Saat itu ketiga anakku masih kecil-kecil.

Aku syok, perasaanku hancur, tapi aku tak begitu saja percaya dengan cerita teman, aku hubungi Ayahku, beliau tinggal di Parung, Kabupaten Bogor. Provinsi Jawa Barat. Aku meminta tolong beliau untuk mengecek kebenaran cerita temanku, tak lama berselang Ayah pun berangkat ke Pandeglang untuk mencari tahu perihal kabar pernikahan suamiku.

Hatiku terasa gelisah, sepanjang hari aku resah dan gundah, handphone tak pernah lepas dari tanganku, kawatir jika aku tinggalkan, Ayah tiba-tiba nelphone dan tak terangkat. Untunglah saat itu hari minggu, aku sedang libur, jadi tak mengganggu pekerjaan.

Petang hari waktu Kuwait, handphone ku berdering, kulihat nama Ayah tertera dilayar handphone, segera saja kuangkat dan bertanya tentang kabar pernikahan suamiku pada Ayah tanpa sabar. Dan jawaban Ayah membuat jantungku serasa berhenti berdetak, ternyata selama ini Radi, suamiku, membiayai pernikahan dan hidup bersama istri mudanya dari uang bulanan yang rutin aku kirimkan, bahkan menurut Ayah, Radi menelantarkan anak-anaku dengan cara menitipkannya pada orang tuanya tanpa memberi uang sepeserpun pada mereka. Hatiku hancur, jiwaku luruh, nafasku serasa berhenti, tak percaya rasanya, orang yang selama ini aku sayangi tega mengkhianatiku, bahkan tega menelantarkan anak-anakku yang juga merupakan anak-anaknya.

Catatan Hati Seorang TKW (Tenaga Kerja Wanita)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang