0.2

5 2 0
                                    

"Ayame chan, apa kau sudah gila? Bagaimana bisa kau menyukai Kaiga yang ketus itu, huh?" Rin tentu tak terima jika Ayame menyukai Kaiga karena kepintaran gadis itu. Ya, meskipun Kaiga sangat pintar, namun dia sangat penyendiri.

"Memang apa salahnya jika aku menyukai Kaiga? Bukankah dia sangat sempurna? Dia begitu indah di mataku. Ah, atau jangan jangan kalian sakit mata ya? Hmm, sepertinya kalian terlalu memperhatikan penjelasan sensei sehingga kalian lupa dengan pesona seorang Kaiga, hehe."

"!!!!!!!"

"Apa lagi sih?" Balas Ayame tak kalah ketus

"Lupakan saja."

Shea POV

Seperti biasa, apa yang dilakukan anak anak di depanku itu pasti berkaitan denganku. Meskipun aku tak sekalipun menguping pembicaraan mereka, sudah terlihat dari bola mata mereka jika mereka selalu memperhatikan apapun yang kulakukan. Terutama Ayame. Dia yang paling terkesan fanatik menurutku. Dia sendiri pernah mencoba bicara denganku, namun entah karena pengaruh teman atau memang dia yang takut, akhirnya dia mengurungkan niatnya dan memilih diam. Ya, kuakui aku ketus, cuek, dan pemurung. Aku hanyalah gadis biasa seperti mereka. Tak punya teman, bahkan tak sedikitpun dekat dengan siapapun.

"Seperti yang kita tau, ujian akan segera berlangsung. Saya harap kalian melakukan dengan sebaik mungkin demi nilai yang akan kalian dapat. Karena itu berpengaruh besar dalam kehidupan kalian nantinya." Sensei yang tak henti hentinya menasehati kami dengan kata katanya. Ya meskipun kurasa dia terlalu sering mengatakan hal yang sama, tapi dia tetaplah yang terbaik. Dia masih memikirkan anak didiknya, karena baginya kami adalah anak kedua setelah putra putrinya yang pertama.

Kriiiiinnngggggggg......

Hal yang kurasa biasa saja, mungkin akan dianggap istimewa atau bahkan sangat menakjubkan bagi banyaknya anak di sekolah. Padahal mereka tak tau banyak, tapi seolah mereka telah paham benar dengan apa yang terjadi.

Sepanjang koridor, yang kudapati hanyalah mereka yang tak berani menatapku langsung. Padahal aku takkan mengusir mereka jika merena menyapaku. Aku takkan keberatan jika mereka mengajakku bicara atau sekadar bergurau tentang hari ini. Seperti kebanyakan anak gadis pada umumnya, aku tentu merasakan kesepian.

"Tadaima."

Tak ada sahutan sedikitpun. Bahkan sejak aku melepas sepatuku, tak sedikitpun ada suara yang membalas ucapanku. Tanpa berpikir panjang, aku langsung berjalan menuju kamarku di lantai dua dengan sedikit gontai. Rupannya tas di punggungku ini lumayan berat untukku, pantas saja tubuhku sering nyeri.

"Sudah kubilang kan, dia bukan anak kita! Kenapa kau terus berbaik hati pada gadis pungut itu?" Suara itu-

"Tapi dia anak kita untuk saat ini. Jika bukan karenanya, kita takkan pernah punya anak perempuan." Aku hanya melihat kedua orantua yang bertengkar di kamar mereka. Pintunya sedikit terbuka, jadi aku bisa melihatnya secara langsung apa yang mereka lakukan. Mereka hanya saling adu mulut tanpa tau aku sudah pulang disini. Padahal mereka tak biasa berkata demikian saat aku dirumah.

"Cih, aku bahkan tak pernah berpikir ingin memungutnya waktu itu. Jika saja kau tak memaksaku menolongnya, maka aku pasti telah meninggalkannya di mobil itu."

Itulah aku. Gadis pungut yang berhasil mereka selamatkan sejak kecelakaan 6 tahun yang lalu. Kuakui merekalah penyelamatku sampai sekarang, namun kuakui juga aku memang bukanlah anak kandung mereka.

Tak kupikir panjang, aku semakin terpukul ketika mereka terus membicarakan bagaimana mereka mendapatiku waktu itu. Air mataku tiba tiba langsung terjun tanpa kuminta. Kakiku semakin lemas untukku berjalan, bahkan berlari.

"Eh? Shea sudah pulang?" Seorang asisten rumah tangga di rumahku tiba tiba saja datang mendekatiku sambil membawa segelas susu untukku. Itu kebiasaanya. Dia selalu memberiku minuman setiap kali aku baru pulang sekolah. Dia bahkan lebih baik dari kedua orangtua itu. Dia lebih perhatian, layaknya akulah anak kandungnya.

Aku sengaja hanya diam tanpa menjawab ucapan lembutnya. Namun tanpa kuduga dia kemudian melirik tepat ke dalam kamar yang masih saling beradu mulut itu. Dia melotot saat mendengar pernyataan yang sama berulang ulang. Meskipun itu telah menjadi makanan sehari hari untukku. "Shea, mau makan dulu? Aku sudah menyiapkan sup kesukaanmu."

"Shea?"

Tasku terjatuh. Tanganku semakin lemas. Meski air mataku telah berhenti, tapi tetap hatiku masih sesak. Ibu yang barusan melihatku hanya tersenyum tipis menyembunyikan perdebatannya dengan ayah. Dia berniat mendekatiku, namun aku lebih dulu pergi meninggalkannya. Maafkan aku ibu.

"SHEA!!"

Gadis itu hanya berlari sekuatnya. Menuju tempat kemanapun asalkan dia bisa pergi jauh dari rumah. Meskipun air matanya tak lagi mengalir, pikirannya masih saling bersahutan. Ketahuilah, dia hanyalah gadis biasa seperti pada umumnya. Hanya saja, sifatnya yang dingin begitu mudah diketahui daripada kelembutan hatinya yang lemah. Sekali lagi, Shea hanyalah gadis biasa.

Shea berhenti tepat di bawah pohon dengan hamparan yang cukup luas untuknya berteduh.

Ia terus menatap sekelilingnya. Penuh pepohonan indah yang selalu ia lihat. Pemandangan inilah yang membuatnya lebih hidup. Keindahan pohon berwarna oranye kemerah merahan itu sangat menarik untuknya.

"Maple." Selembar daun jatuh tepat di pangkuannya. Warnanya yang indah, sangat menenangkan bagi Kaiga. Ia begitu menyukai daun itu sejak kecil. Bahkan bisa dikatakan ia akan sangat bahagia jika bisa hidup di dekat pohon Maple.

Kau tau? Aku bahkan lebih menyukai berada disisimu daripada kembali ke rumahku.

Gadis itu menunduk dalam. Menenggelamkan kepalanya di lekukan lututnya, hingga rambutnya yang sebahu ikut terjatuh. Angin yang sangat menenangkan sangat serasi baginya. Meskipun hatinya sedang tak baik, namun ia akan tetap menyukai suasana ini.

♬♬♪♬♫♪♪♪♭♭

Sebuah alunan musik yang begitu indah. Ballad. Sangat menyentuh dan menenangkan.

Seseorang tak jauh dari sana memainkannya dengan tenang. Di tengah hamparan luas, ia meniup serulingnya santai seolah ia menguasai tempat itu. Melodi yang senpurna dengan penjiwaan yang sepadan sangat indah didengar. Dia memainkannya dengan setengah merasakan deru angin di sekelilingnya. Benar benar menyatu dengan alam.

Kaiga mengangkat kepalanya kembali. Menatap orang itu dalam diam sambil berusaha meresapi instrumen yang dibuat. Tanpa sadar, ia menyunggingkan senyumnya simpul. Rupannya ia sedikit tenang mendengar lagu tersebut.

Merasa seseorang memperhatikannya, ia lalu berhenti memainkan serulingnya. Ia menatap Kaiga yang memperhatikannya sedari tadi. Kedua matanya menyipit, menghasilkan sebuah senyuman indah yang sengaja ia tujukan untuk membalas Kaiga.

Ia kemudian menghela napas lembut. Menjauhkan kembali seruling yang menutupi sebagian wajahnya. Kembali ia menatap langit di atasnya yang begitu merona. Ya, warnanya sangat indah seolah menyatu dengan perasaanya sekalipun. Sekali lagi, ia menghela napasnya dengan sedikit kasar. Kembali ia melihat ke arah Kaiga, namun gadis itu tak ada disana. Ia sudah pergi.

Akhirnya ia hanya bisa tersenyum miris melihat tempat Kaiga duduk. Jika dipikir ulang, ia mungkin akan terus mengingat moment ini selamanya.

Selama waktunya masih terus berlanjut.

TBC

There or NoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang