0.4

4 1 0
                                    

Bahkan hingga bel pelajaran ketiga berbunyi, gadis itu tetap tak sedikitpun mengedarkan pandangannya ke arah lain. Ia hanya sibuk dengan pikirannya. Hah, lagipula untuk apa ia memenangkan piala itu jika ia sendiri tak pernah bahagia? Untuk apa menjadi unggulan di sekolah, jika ia sendiri tak pernah mendengar kata 'SELAMAT' dari suara kedua orangtuanya. Apa prestasi akan seindah kehidupannya jika ia sendiri masih terlihat muram? TENTU TIDAK!!.

Pria paruh baya itu masih saja sibuk dengan buku tebalnya. Terlihat dari mimiknya, ia ingij bicara, hanya saja selalu ia perpanjang lebar.
"Baiklah, untuk minggu depan saya ingin kalian telah menyiapkan tugas itu sebagai proyek. Untuk pembagian kelompok, kalian bisa mencari pasangan sendiri. Saya hanya mengharapkan solidaritas kalian."

"Hai' sensei." Jawab seisi anak dengan serempak. Terkecuali Kaiga tentunya.

Setelah pria paruh baya itu meninggalkan kelas, suasana yang tadinya sepi kini berubah lebih ramai, gaduh dan berisik. Itulah kebiasaan ketika guru keluar kelas.

Shea yang tampak fokus dengan earphone nya, rupanya tak sedikitpun terusik dengan suara gaduh di sana. Bagaimana tidak? Telinganya bahkan tersumpat benda itu di kedua telinganya. Tentu saja ia takkan peduli.

Ia menyenderkan punggungnya di kursi. Menatap langit langit kelas dan tetap fokus dengan musik. Kembali ia menempatkan posisinya duduk. Diambilnya sebuah pena di meja lalu mengambil sebuah buku kecil dari dalam tas. Mungkin ia ingin menulis sesuatu. Tangannya terus bergerak menggetarkan isi hatinya. Menyalurkannya di sana, sampai seseorang benar benar menghentikan pergerakannya. "Ano, Kaiga san?"

Tau dia siapa?

Itu Ayame. Si gadis otaku.

Seisi kelas menatap Ayame kaget. Paslanya gadis itu bahkan tak pernah seberani ini bicara, termasuk pada Kaiga Shea. Apa yang membuatnya begitu berani yang bahkan semua anak tak pernah berkomunikasi dengan gadis misterius itu. Apa mungkin semalam gadis itu menamatkan episode anime kesukannya? Mungkin saja.

"Soal kelompok yang diminta sensei, maukah kau berpasangan denganku?"

Shea hanya menatap kaget. Ia lalu melepaskan earphone nya dan kambali menatap gadis bertitel Mizuki itu. "Maaf, kau tadi bicara apa?"

Ayame sedikit tersentak mendengar jawaban Shea. Bukan karena ia marah karena Kaiga tak mendengar ungkapannya, namun ini kali pertama ia berhasil membuat Kaiga Shea bicara padanya. Bahkan ia adalah satu satunya anak di kelas yang paling beruntung.

Dia menjawabku?? Heh~ kami-sama, tetap buat diriku tenang. Jangan buat aku melayang disini.

"Berpasanganlah denganku." Ulangnya dengan sungguh berani. Bahkan saking groginya, tangan Ayame sampai bergetar memegangi rok pendeknya. Ia membungkuk, membuat Kaiga sendiri tak habis pikir dengan gadis di depannya ini. 'Jiwa jiwa yang meyakinkan'. Itu kata yang pas untuk Mizuki.

"Akan kupikirkan nanti." Kaiga tak sedikitpun tersenyum atau bahkan melihat reaksi gadis itu. Dia bahkan langsung melangkah pergi dari kelas tanpa aba aba. Mungkin mau ke toilet. Itu pikir Ayame.

"Lihat kan? Dia takkan mau berpasangan denganmu. Bukankah dia sangat sombong?" Celetus Rin dengan tiba tiba. Tentu itu disambut hangat oleh Tsumeda yang tak ingin tinggal diam.

"Cih, gadis macam apa itu. Dia pikir hanya dia sendiri yang terkenal disini?"

Mereka berdua menyadari satu hal. Ayame tak berkedip sedari tadi. Tunggu! Apa gadis itu sakit?. Tanpa aba aba, Rin lebih dulu memegangi dahi Ayame untuk memastikan apakah gadis itu demam. "Doushite Mizuki?"

Tsumeda hanya mengerjap polos. Ia tak paham dengan keadaan saat ini. Ditatapnya Rin yang sepertinya berpemikiran serupa. Mereka berdua hanya saling bertatapan tanpa tau pikiran masing masing.

"Ka, ka- kawa-iii." Akhirnya gadis itu bicara juga. Tapi tunggu!! Apa dia bilang?

"????"

"Daijoubu?" Ulang Rin sekali lagi. Tetap, ia memastikan apakah Mizuki baik baik saja.

"Kalian lihat kan? Dia bicara denganku. KAIGA BICARA DENGANKU!!! APA KALIAN SEMUA LIHAT?? Haha, aku adalah satu satunya orang paling beruntung se-dunia."
"Dunia- lihatlah seorang Mizuki Ayame. Gadis tangguh yang berhasil bicara dengan seorang Kaiga Shea."

Sungguh, kedua gadis di sampingnya ini ingin mual sekarang. Bagaimana mungkin Mizuki dengan bangganya bicara tanpa menyadari seisi kelas menatapnya mencekam.

'Apa menurutmu dia gila?'

'Bisa jadi sih. Obsesinya berlebihan.'

'Gadis aneh.'

Shea POV

Aku menatap bayangan diriku di cermin. Setelah membasuh wajahku dengan air dingin, rasanya lebih nyaman. Ya, tadi aku memilih menuju toilet setelah gadis bernama Ayame itu menyatakan pernyataanya. Jujur, aku sedikit tersentak mendengar keberaniannya. Bahkan ia yang tak terbiasa bicara pada banyak orang, kini menjadi orang pertama yang berhasil bicara denganku. Tak pernah kuduga.

"Na, kudengar sensei memilih Kaiga lagi untuk ikut olimpiade. Apa menurutmu gadis itu akan kembali menang?"

"Um, aku tak yakin. Tapi dia begitu hebat bagiku. Lihat saja, tatapan matanya yang sungguh mengerikan, siapa yang berani menatap matanya lekat tanpa takut diterkam olehnya."

"Tapi kenapa harus dia yang dipilih? Bukankah masih banyak siswa yang lebih pintar darinya? Ah, kau tau Akabane Sakura kan? Dia juga sangat pintar menurutku. Bahkan sosialnya juga bisa dikatakan cukup baik. Lantas kenapa harus dia?"

"Akupun berpemikiran serupa. Kurasa aku takkan ikut olimpiade tahun ini." Imbuhku dengan datar. Tetap, aku masih tak menatap wajah mereka. Aku hanya melanjutkan aktivitasku, lalu melenggang pergi dari sana.

"Baguslah. Itu artinya kau-"
"SHEA??!!"

Dia bicara padaku?

"Ka- kau, bicara padaku?" Lagi, dia tak hentinya menatapku takjub. Apa ini suatu keanehan?

Sekilas, aku sedikit menatap kedua anak ini. Kupandangi wajah mereka sesaat sampai aku benar benar pergi dari sana. Ya, mungkin mereka sedikit tersentak mendengar jawabanku yang didengar asing bagi mereka. Pasalnya, aku memang jarang bicara saat di sekolah.

Kembali aku ke kelas. Duduk di bangku ku yang terakhir dan membaca buku. Tetap, aku mengabaikan suara bising. Meskipun itu adalah asupan harianku, aku tetap takkan ingin bicara pada siapapun. Aku tak butuh mereka. Aku tak butuh teman.

Gadis itu melepas pelan sepatunya. Meletakkannya di rak sepatu. Kemudian berjalan menuju lantai atas, tepatnya ke arah kamar. "Ah, Shea chan. Mau makan dulu?" Ia tersenyum, dan menggangguk. Membuat wanita itu balas tersenyum senang padanya.

Sekilas, mirip keluarga bahagia. Namun, dia masih saja tak sepenuhnya senang. Untuk apa harta melimpah, jika hidupnya bahkan tak pernah mendapatkan kebahagiaan? Itu yang selalu ia katakan berulang ulang dalam lubuk hatinya.

"Makanlah yang banyak. Kau terlalu sibuk dengan sekolah hingga tak peduli pada keadaanmu."

"Daijoubu desu." Jawabnya sambil tersenyum simpul. Diambilnya sumpit di meja dan mengambil sepotong sushi di atas piring datar. Enak. Itu yang ia pikirkan. Rasa yang begitu ia sukai. Nyatanya ia akan lebih suka jika ini dibuatkan seseorang. Setiap hari, hanya pembantuNya lah yang menyiapkan semua kebutuhannya. Mulai dari sarapan, bekal(tapi Kaiga jarang membawa bekal), bahkan jika ada rapat wali murid, hanya pembantu setianya yang datang. Sekalipun tak pernah diperlihatkan seorang ayah ataupun ibunya yang mewakili. Pasti selalu saja alasan lain demi menghindari pertemuan mata dengan guru Kaiga.

Selalu saja begini.

TBC

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

There or NoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang