CHAPTER 10

373 25 4
                                    

Aku membuka mataku,entah kenapa rasanya kepalaku seakan ingin pecah. Kulihat disampingku ada beberapa obat - obatan dan segelas air. Pintu kamarku terbuka, dengan pelan - pelan aku menuju ke bawah.

"Liam?" 

Aku melihat Liam sedang memasak di dapur.

"Sha, kamu udah bangun?"

"Kok bisa disni?"

"Aku mau ngajak kamu keluar, tiba tiba kamu pingsan di kamar. Mama kamu tadi udah manggil dokter, trus katanya kamu banyak pikiran."

Aku hanya diam, tidak menjawab. Ingin rasanya aku lontarkan semua, namun akankah Liam percaya?

"Li" Panggilku lagi

Liam yang sudah selesai memasak nasi goreng pun mendekatiku.

"Kenapa? ada yang kamu belum cerita ya?"

Aku menarik nafas panjang lalu mulai menceritakan semuanya, perkata demi kata. Aku harap dia akan percaya dan mengerti.

***

"Astaga Shareen, percaya sama aku itu pasti cuman orang iseng. Kamu terlalu berlebihan, bahkan sampai gak memperhatikan kesehatanmu." 

Aku memikirkan kata kata Liam. Sejujurnya aku sangat kecewa dengannya. Sekarang ia sudah pulang. Aku merasa tidak dipercayai oleh pacarku sendiri.

Aku kembali mengingat tentang valerie dan Fidela. Aku harus melakukan sesuatu, aku tak mau sahabatku terluka. Dengan sekuat tenaga aku mengambil kunci mobil, lalu turun kebawah, menyalakan mobil, dan membawanya ke suatu tempat.

Aku menambah kecepatan mobilku di jalan yang sepi, hari sudah mulai gelap, namun aku tak peduli. 

"Mengorbankan sedikit untuk keselamatan semuanya gapapakan?" batinku.

Aku berhenti tak jauh dari sebuah rumah yang familiar, rumah Fidela. Fidela memang selalu pulang malam karena harus menjaga toko ibunya. Seperti dugaanku, tak lama Fidela terlihat dengan membawa dua kantong besar.

Aku memenjamkan mataku sejenak, aku mulai mempersiapkan diri, aku menekan gas sekencang mungkin dan menuju ke arah sahabatku yang tidak melihat ke arah mobilku. Sahabat? apa aku masih bisa disebut sahabat?

1 , 2 , 3 ...

Nyittttttt

Aku langsung menekan rem karena tiba tiba ada motor yang menghalangi jalanku. Fidela pun melanjutkan perjalanan tanpa melihat apa yang terjadi, lalu ia masuk rumah.

Aku menetralkan deru nafasku dan melihat orang yang ada mengendarai motor itu.Ia turun dari motornya, dan melepas helmnya, lalu menghampiri mobilku.

"Alex lagi?" Batinku

Tanpa ingin dikenali akulangsung memundurkan mobilku dan kabur. Terlihat bahwa Alex, naik kembali ke motornya dan mengejarku. Aku merasa seperti buronan.

Namun sayangnya, Alex mampu mengejarku dan memberhentikan mobilku.

Aku pun turun dari mobil dengan muka menegang bercampur takut.

"Mau lo apa sih?" tanyaku

"Lho Shareen? Jadi tadi yang mau nabrak orang itu lo?"

Aku tidak menjawab, hanya berusaha menghindari matanya yang kini menatap tajam ke arahku.

"Lo mau bunuh orang tadi?" Tanya Alex

Aku menuju ke bangku dekat taman, dan kemudian duduk. Alex mengikutiku, dan duduk di sebelahku.

Lalu tak lama, air mataku mulai mengalir. Aku dapat merasakan pipiku basah, karena air mata yang membanjiri.

Alex hanya diam, menunggu sampai emosiku tenang.

"Lo pasti kira gue gila." Kataku, masih disertai dengan isakan.

"Gak, kalau lo mau cerita, gue pasti dengerin." kata Alex, "Karena gue percaya lo bukan orang kek gini." 

Ia melanjutkan lalu menatapku, aku tersenyum kecil.

"Gue diteror."

Alex terlihat sangat kaget. Lalu, aku menceritakan semampu yang kubisa, Alex mendengarkannya dengan sesekali mengangguk dan terkejut.

"lo pasti pikir gue lagi halusinasi kan?"

"Engga kok." Jawab Alex

Aku hanya diam, Tidak tau harus berbuat apa. Lalu, aku mengeluarkan henponku dan menunjukan semua pesan yang dikirimkan oleh sang peneror.

"Astaga, ini udah keterlaluan!" Bentak Alex, "lo gamau lapor ke polisi?"

"Enggak dulu, gue takut kalau ternyata ini cuman pesan iseng. Dan gue gak punya bukti yang jelas."

"Bukannya, Valerie itu buktinya?"

"Tapi, belum tentu polisi akan percaya. Valerie saja tidak mau diwawancarai oleh siapapun."

Alex hanya mengganguk setuju, lalu aku juga hanya diam sambil menatap langit yang gelap.

"Mau jalan - jalan di sekitar taman? Untuk menenangkan pikiran lo." Tanya Alex

"Hmm, Boleh." Jawabku

Kami pun jalan - jalan di sekitar taman, sambil sesekali Alex masih bertanya tentang sang peneror. Sementara aku, hanya menjawab pertanyaanya dengan seadanya.

Jujur saja, aku merasa lega karena Alex percaya dengan ceritaku. Sementara Liam, masih menganggap bahwa aku berlebihan.

"Gue kayaknya harus pulang, ini udah terlalu malem." Kataku, sambil melirik ke arloji yang sudah menunjukan pukul sepuluh malam.

"Oke, lo naik mobil?" 

"Ya" Kataku, sambil menunjuk ke arah mobil.

"Oke, hati - hati."

"Ya. Oh iya, soal yang tadi tolong dirahasiakan ya."

"Oke." Jawab Alex

Lalu aku menyalakan mesin mobil, dan melaju meninggalkan Alex dan motornya.

***

Sudah lebih dari seminggu, tidak ada pesan maupun teror. Dan, dapat kusebut sebagai minggu yang damai.

Walaupun aku belum mencelakai Fidela, namun sang peneror tidak melakukan apa apa. Berbeda dengan kejadian saat aku disuruh untuk menjauhi Valerie.

Aku tengah meminum segelas teh di kanti, bersama Fidela dan Mila. Lalu, tiba tiba Liam menghampiriku.

"Hai, Sha!"

"Hai Li, gimana lomba basketnya?" Tanyaku

"Hmm, lumayan." Jawabnya "Hari ini aku anter kamu pulang ya!"

"Oke"

Bel pulang sekolah berbunyi, aku sedang menunggu Liam yang sedang dipanggil untuk urusan basket. Pikiranku tiba tiba terbayang dengan sang peneror, dan aku merasa takut tanpa sebab.

Aku segera menepis pikiran pikiran yang buruk, sambil sesekali berusaha menenangkan pikiranku.

"Sha, Sha!" 

Panggilan Liam membuatku terkejut, aku segera bertanya apa yang terjadi. Raut wajah Liam tampak sedih, lalu ia mengatakan,

"Valerie bunuh diri"

***

UNPREDICTABLE - (COMPLETED ✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang