Mentari terbit menampakkan kemerahannya ketika baru saja sampai disepertiga laskar yang masih tertutup oleh kapas tipis yang berarak kearah barat, sedikit demi sedikit menampakkan langit berwarna biru tanda hari akan cerah diakhir musim gugur.
Mentari terus menanjak, hingga pesona kemerahannya pun perlahan menghilang tergantikan oleh jingga yang begitu terang menyusup pada celah dedaunan berwarna coklat kering disana.
Namun, jingga itu tak mampu menyusup melewati tirai pada sebuah kaca besar dengan ruangan yang tampak begitu gelap, tak ada suara yang terdengar walaupun mentari semakin menanjak begitu tinggi.
Apartemen itu tampak begitu rapi seolah tak pernah tersentuh dan menghasilkan aroma lavender disetiap sudut ruangan dengan lilin aroma terapi yang tampak masih penuh dan tak pernah dinyalakan.
Ceklek
Suara pintu itu terbuka dari luar, diujung lorong dengan puluhan bunga musim dingin yang menempel pada dindingnya, setiap kenangan yang dilewatinya ketika musim dingin itu tiba.
Suara langkah kaki itu terdengar begitu tegas memasuki ruangan sunyi hingga menimbulkan suara gema diikuti oleh lampu yang menyala ketika dilewati dan kembali mati ketika ditinggal, hanya lorong itu, lorong yang dipenuhi bunga musim dingin.
Pria itu, dengan manik tajam dan rahang yang begitu tegas serta tubuhnya yang berdiri begitu tegap, dada bidang yang ditutup oleh jas berwarna navy yang kini tengah dibuka olehnya ketika memasuki ruang utama dengan tirai yang tertutup dan enggang menampakkan sinar paginya.
Jemari yang tampak lentik nan panjang itu membuka dasi beserta satu kancing atas kemeja putihnya, lalu menggulung bagian lengan dan memperlihatkan lengan kekar berwarna tan.
Namun, manik elang itu tak teralihkan pada tirai tertutup dengan tatapan tajam dan juga sendu secara bersamaan.
"Open—"
Hingga, suara barithone yang terdengar berat itu terdengar disetiap penjuru ruangan, dengan tirai yang kini terbuka perlahan, menampakkan mentari yang mulai menyinari pahatan wajah yang begitu sempurna.
Mentari itu menyelusup masuk begitu semangat, diikuti sudut mata elang yang kini berkerut, mencoba menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk kedalam kornea matanya.
Lengannya kini terdiam begitu tenang disamping tubuh dengan kaki jenjang dan badan tegap, bersama aroma lavender bercampur keringat yang menguar melalui setiap inchi pori- pori tubuhnya.
Aroma lavender itu juga menyeruak melalui rambut yang kini terlihat sedikit basah karena telah melalui malam yang panjang, rambut hitam itu menutupi keningnya dengan sedikit celah yang tersisa dalam helaian, warna coklat gelap dan juga sedikit noda merah disana.
Kaki itu kembali melangkah, setelah puas menatap mentari yang tak lagi berwarna kemerahan, dan menjadi mentari biasa menurutnya. Ia berbalik, membelakangi sinar dengan manik yang tak pernah terlihat lembut dalam menatap, raut wajah datar, bahkan sudut bibirnya pun tak terangkat.
"Close—"
Suara barithone itu kembali memerintah pada sensor tirai hitam yang kembali tertutup begitu cepat. Kaki dari pemilik suara itu pun kembali melangkah, memasuki ruangan dibalik pintu yang tampak begitu gelap.
Tak ada lagi yang bersuara, hanya suara air yang mengalir, suara lemari yang terbuka, dan suara pintu kearah balkon yang kemudian kembali tertutup. Ya—pria itu mungkin tak akan memejamkan matanya, dengan lentera yang menyala disampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
WINTER FLOWER
RomanceUntukku, cahaya putih yang menyebar dilangit musim dingin itu adalah mentari yang bersinar begitu cerah dah indah. Dingin, namun tetap membuatku mekar--walaupun dalam sepi dan menyedihkan dibawah jejak kaki yang kemudian tertimbun lalu mati. Namun...