~ Chapter 1 ~

6.6K 166 6
                                    


Hari ini 40 hari setelah kepergian mas Grasto keharibaan Yang Maha Kuasa, mas Grasto benar, kami memang dipersatukan, namun kami belum berjodoh. Saat ini kandunganku sudah masuk bulan kedua, rumah yang aku tempati terasa sangat sepi.

Biasanya ada yang aku tunggu pulang, tapi sekarang tidak ada lagi.

Aku mencoba mengisi waktu dengan mengikuti penagajian di Majelis Ta'lim, karena secara spiritual aku memang sangat membutuhkannya. Ini adalah wujud dari rasa syukurku kepada Tuhan yang sangat menyayangiku, sehingga aku bisa lepas dari perbuatan maksiat dan dosa yang dulu pernah aku jalani.

Dipertemukannya aku dengan Mas Grasto, tidak terlepas dari rencana-Nya, dari Majelis Ta'lim pulalah, akhirnya aku ingin mengubah cara berpakaianku, kalau sebelumnya aku berpakaian biasa saja, sekarang aku mencoba berpakaian yang lebih syar'i.

Banyak yang mencibir cara berpakaianku sekarang, aku dianggap munafik.

Tapi In Sha Allah, aku akan menyesuaikan cara berpakaianku, dengan perilakuku, aku akan tetap istiqomah dengan segala perubahan ini.

Setelah wafatnya mas Grasto, banyak sekali laki-laki yang ingin menikahiku, karena merasa simpati dengan keadaanku, namun semua aku anggap sebagai sesuatu yang biasa saja, aku belum bisa mencari pengganti mas Grasto begitu saja.

Secara kebutuhan hidup, aku sudah cukup dari apa yang ditinggalkan mas Grasto. Jadi kebutuhan secara materi, aku tidak terlalu memikirkannya. Hanya saja kadang aku butuh teman untuk berbagi masalah, bersyukurnya, hal seperti itu pun bisa aku dapatkan di Majelis Ta'lim.

Saat ini orang yang bisa aku percaya untuk berbagi masalah hanyalah mas Todhy, sahabat karib mas Grasto, juga Dimas stafnya mas Grasto. Mas Todhy sering menanyakan kabarku, juga kesehatan kehamilanku, perhatian seperti itu bagiku sudah cukup.

Ada seorang lelaki, yang juga temannya mas Grasto, dia seorang pengusaha yang sukses, statusnya duda dengan dua anak, namanya Tyasto Subroto. Mas Tyasto juga cukup punya perhatian, dan rasa simpati terhadapku, pernah menawarkan berbagai bantuan secara materi, namun aku belum bisa menerimanya.

"Seruni, aku minta nomor rekening kamu."

"Untuk apa mas?"

"Ini sebagai bentuk perhatian saya, dan simpati saya pada kamu."

"Maaf mas, aku tidak terbiasa menerima belas kasihan seperti itu."

"Ini bukan belas kasihan Runi, ini bantuan aku untuk kamu."

"Tapi, aku tidak lagi butuh bantuan mas, almarhum sudah mencukupi kebutuhan aku."

Akhirnya, karena aku tidak merespon semua tawaran yang diberikan mas Tyasto, dia malah menjadi sungkan sendiri sama aku. Aku memang tidak ingin membuka peluang bagi seseorang yang ingin menanamkan kebaikan seperti itu. Air yang biasanya cepat pasang, akan lebih cepat surutnya, begitulah filosofi yang pernah ditanamkan mas Grasto padaku.

Aku bukan tidak ingin menerima kebaikan orang lain, karena banyak pelajaran hidup yang sudah aku alami. Orang yang terlalu cepat dan mudah memberikan sesuatu, biasanya akan cepat pula meminta apa yang pernah diberikannya, ketika keinginannya tidak terpenuhi.

Yang lucunya lagi ada seorang Ustad yang menawarkan padaku untuk berpoligami, dia ingin menjadikanku isteri ketiganya, namun tawaran tersebut tidak bisa aku terima, alasannya karena aku bukan tipe wanita yang suka dipoligami, meskipun agama membolehkannya.

Aku sendiri sebetulnya merasa aneh, kok tiba-tiba banyak kaum lelaki yang atas dasar simpati ingin menikahiku. Hampir semua alasannya karena ingin menyelamatkanku, tapi sementara aku sendiri masih merasa aman-aman saja, hidupku tidak ada yang kurang, semua sudah tercukupi oleh mas Grasto.

Aku tetap melihat kriteria seorang suami yang baik itu, berpatokan pada almarhum mas Grasto, karena bagiku mas Grasto adalah lelaki yang sangat luar biasa, sampai-sampai aku tidak pernah peduli dengan kekurangannya.

Dengan status janda saat ini, memang mengundang berbagai pandangan negatif dari orang lain, kalau aku tidak pandai-pandai membawa diri, maka pandangan negatif akan terus menghampiriku.

Berbeda dengan mas Todhy, yang memberikan perhatian sewajarnya saja, tidak pernah berlebihan, dia lebih kepada mengemban amanah almarhum mas Grasto, sebagai orang yang merasa dititipkan untuk ikut menjaga dan mengawasku. Aku sendiri sangat senang dengan adanya mas Todhy, bagiku semua perhatiannya sudah cukup.

Seperti dia mengingatkan soal jadwal kontrol kedokter, dan memperhatikan menu makanan yang sehat, demi bayi yang ada di dalam kandunganku, hal itu dia sampaikan via telepon,

"Runi, hari ini jadwal kamu kontrol ke dokter, kamu gak lupa kan?" 

"Wah untung mas ingatkan aku, aku tadinya mau ke Ta'lim nanti sore."

"Mas juga baru ingat sih, makanya ngingatin kamu, oh ya kamu soal menu makanannya juga harus diperhatikan ya."

"Ya mas, terima kasih mas perhatiannya, aku senang banget, serasa mas Grasto masih ada aja."

"Mas menjaga amanah almarhum Runi, mas gak mau jadi dosa karena tidak menjaga amanah."

Perhatian mas Todhy itu biasa aja, tapi sangat aku butuhkan, tidak pernah berlebihan dalam memberikan perhatian, semua terasa sangat wajar-wajar saja.

Itulah sekadar catatanku hari ini, yang aku tuliskan menjelang aku tidur. Kebiasaan menuliskan semua peristiwa yang aku alami setiap hari, membuat aku lega, aku seakan-akan sudah curhat tentang semua yang aku alami dan aku rasakan.

Seruni, Catatan Isteri Seorang PolitisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang