Hallooooo ....
Aku baru ingat belum update dan belum nulis lanjutannya :((Bab kali ini ditulis oleh kakakku tersayang, kak bluebellsberry, jangan lupa kunjungi lapaknya, ya!
================================
Cewek lugu dua puluh dua tahun itu menarik napas panjang, matanya terpejam dengan tangan mekar dan jemari jumpalitan di atas tungku api kecil kompor masak-masakan. Ada kendi kecil berisi air mendidih ditaburi kembang tujuh rupa yang berbuih karena mendidih. Bibir tipis cerinya komat-kamit asal.
"Gimana, Yong, bisa enggak?" Seorang cewek berwajah cantik tapi ngaku pas-pasan menunggu dengan gelisah.
"Sssttt!" Iyong berdecak, mantera yang dia komat-kamitkan ambyar semua. "Ron, lo jangan ganggu konsentrasi gue, dong!" Protesnya. "Ambyar, nih, jinnya enggak mau keluar!"
Cewek bermata belo dan berbibir seksi itu mencebik, "Yah, terus kuda gue gimana?"
"Kuda apaan Kutilang Darat?!" melotot tiba-tiba, kebingungan dengan kalimat tanya Eron yang tak semestinya.
"Bukannya lo kemari mau minta ajian pelet?" Dukun yang merupakan bocah kemaren sore itu malah balik bertanya.
"Iya, gue mau minta jaran goyang!" Eron sewot. "Pokoknya BangKu harus nurut sama gue!"
"Enggak pake nge-gas, keles!" Iyong mencibir tak kalah sewot. "Ya, terus apa hubungannya sama kuda, woy!"
"Jaran bukannya bahasa jawanya kuda?" Eron berdecak dan mendengkus sekaligus. "Ah, enggak canggih, maneh teh, Yong!"
"Kalo gue canggih, udah jadi nyi pelet, woy!" Iyong menaburkan lagi kemenyan di kendi kembang tujuh rupanya. "Kalo gue canggih, gue … pasti enggak jomlo lagi."
Hening. Mendadak suasana suram. Eron dan Iyong sama-sama meratapi ke-jones-annya. Rupanya Eron ... cewek cantik tapi kurus tinggi langsing dada rata, mau melet Mas Kulin. Dasar Kutilang Darat!
Ditengah kemuraman durja dua anak perawan tercetar di komplek Metro Ambyar itu, Mak Ipeh, Enyaknya si Iyong Mar Kiyong malah heboh di depan rumah.
"Iya, iya, iya! Eh, buset dah ini, sapa yak nyang naro kontener gede banget di mari?!" Mak Ipeh berkacak pinggang sambil gigitin kacang. "Eh, Iyong, ini langganan lu bukan nyang parkir treg di mari?!"
"Apaan, sih, Nyak?" Iyong teriak dari dalam, Eron ikut-ikutan keluar. "Kan Iyong di dalam, Nyak!"
"Lha, terus ni sapa parkir di mari? Kaga tau apa ini tanah dulu-nye punya Engkong lu? Sembarangan aje naro beginian segede gaban depan rumah Enyak!"
"Mak, rodanya ada enam belas." Eron mengerjap kikuk.
"Gue kagak nyuruh lu ngitungin roda, Neng Eron, buset dah!" Mak Ipeh makin heboh tak karuan, rasanya gendang telinga Iyong mau pecah. "Cariin, dah, orang-nye! Nutupin jalan, tau enggak!"
"Iye, Nyak, iye." Iyong mengalah. "Entar si Eron yang nyari, ye?"
Eron auto syok, "Elah, Yong, kok gue?!"
Cewek itu mengeloyor masuk tanpa menggubris suara mistis, eh, protes dari Eron. Padahal Iyong sudah mendengar suara Mak Ipeh yang cetar sejak dalam kandungan, tapi tetap saja dia merasa budek dadakan setiap Emak heboh begini. Begitu pula Eron yang sudah tinggal di komplek Metro Ambyar sejak dua puluh tahun lalu, cewek kutilang darat itu yakin suara Mak Ipeh bisa banget buat alternatif kalau toa masjid rusak.
"Assalamualaikum." Seorang cowok tiba-tiba turun dari kendaraan besar yang terparkir di depan rumah Iyong. "Bu'e, Maryana Inge ono po ora, yo?" (Bu, Maryana Inge ada apa enggak, ya?)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cendol Dawet - Komedi Goyang
HumorCendol dawet, bukan sembarang kisah. Di sinilah penulis yang melampaui kegesrekan, menyatukan pikiran dan ide di Metro Ambyar yang terkenal diisi oleh warga-warga dengan tingkat keabnormalan yang haqiqi. Tahan senyum, tahan tawa, karena ini bukan t...