Seolah-olah semudah itu tercipta sebuah tradisi, seperti banyaknya hal tak bermutu yang disalah ciptakan.
---
...LYODRA...
"Minggir!"
Sebuah suara tiba-tiba mengagetkanku saat berbarengan seorang waitress yang datang mendadak takut, lalu cepat-cepat menyimpan beberapa pesanan di atas meja. Tiba-tiba, suasana kantin yang bergaya ala kafe dengan makanan bintang lima yang merupakan sebuah spot teramai di sekolah, menjadi hening.
Aku mengusap wajahku dengan kasar, muak, orang yang telah mengganggu itu membuat emosiku tak terbendung.
Kedua temanku, Ziva dan Mahalini mengangkat pesanan mereka masing-masing. Aku menatap mereka berdua tak percaya.
"Kalian takut?"
Tanganku menunjuk mereka tepat di wajah, membuat mereka syok dan tak terima.
"Kenapa aku harus minggir, Ka?!"
Tiba-tiba telapak tangan Mahalini memegang pundakku, berbisik. "Jangan cari gara-gara, Lyo. Kadang-kadang kita harus mengalah."
Tentu saja aku menggeleng, menyibak tangannya, dan kembali menatap semua Kakak kelasku. Perlahan kuteliti. Kubaca name tag dan wajah mereka semua. Akan aku ingat-ingat dengan jelas, dan tak akan aku lupakan.
"Adik kelas harus nurut, ini bagian untuk kelas duabelas!" gerak Elise menatap tajam mataku.
Bukannya aku tak tahu senioritas yang tertanam di SMA High Star, hanya saja untukku yang kurang dari sebulan berada disini. Semua itu terdengar gossip murahan belaka, tidak masuk akal. Tentang kelas sepuluh di kanan, kelas sebelas dikiri dan kelas duabelas ditengah. Termasuk jumlah bangku yang disediakan untuk tingkatan kakak kelas dan adik kelas yang kontras. Semakin bawah kelas (sepuluh) semakin sedikit bangku yang dipersilahkan.
Kalau bangku kantin untuk tingkatan kelas penuh dan ada bangku kosong, kenapa harus dilewatkan?
Aku tak setuju mendengarnya, lalu bersedekap membalas tatapannya. "Ooh begitu ya, emang apa dasarnya ini milik kelas duabelas?"
Aku mencoba bertanya setengang mungkin, ya, walau emosiku sebenarnya sudah hampir klimaks.
Oke, let's play.
"Ini udah jadi tradisi di sini. Apaan sih, Lyodra kelas sepuluh?" Vina tertawa kecil. "Baru masuk udah songong, ngakak."
Ziva, dan Mahalini terlihat tegang juga khawatir dilihat dari cara pandang mereka yang menyiratkan rasa tak nyaman, terutama Ziva yang kini berubah tempat disampingku dan terus menarik lenganku agar mengalah. Tetapi aku abaikan, sama sekali tak peduli oleh seluruh diskriminasi. Adalah seorang Lyodra, penyuka debat dan tidak tertindas.
"Kenapa harus ngelakuin sesuatu nggak guna kayak gini dengan alasan tradisi? Apa seenak itu bikin-bikin tradisi di sekolah ini, ya, Ka?"
"Udah Lyo, besok aja istirahatnya lebih awal," bisik Ziva. "Cepet Lyo, aku takut loh!" dan sayangnya aku tak mau mengalah.
"Anak kemarin sore gitu ya, seneng ngajak berantem?"
Dibanding dengan dua orang tadi yang membalas, Karenina terlihat yang paling tangguh. Senyum dinginnya terlukis di wajah anggunnya, terlihat seperti sebuah silet yang tajam. Tipis, tapi tersirat.
Sejenak aku lari ke belakang kantin dengan terburu-buru, dari belakang Ziva menjerit ketakutan dan Mahalini yang mengusap punggungnya karena temanku itu mulai menangis. Sedikit aku tersenyum, dasarnya emang bocah.
Setelah kembali, kupatahkan beberapa bata merah dengan kepalaku. Sebenarnya ada satu yang fail, salah cara saat mematahkannya dan aku menahan sakit. Itu masih sering terjadi karena aku ceroboh. Tetapi berhasil mmbuat empat Kakak kelas dihadapanku tak bergeming. Berbalik, mereka yang memias.
"Dulu sempet ujian sabuk hitam karate walau nggak diterusin, cuman ya, sekedar satu garis aja. Lumayan lah, ayo Ka. Mau berantem kapan? Dimana?"
Entah mendapat keberanian dari mana, aku bisa berbicara sebegitu santainya. Padahal sejak dulu, emosiku berapi-api. Dengan mood yang cepat berubah.
"Kalau mau berantem pulang sekolah deh Ka, sekarang aku laper. Mau makan dulu!"
Seenak jidat aku memakan bakso yang mulai dingin, menambahkan saos sebanyak mungkin tak lupa menambahkan dua sendok makan sambal tanpa kecap karena aku kurang suka.
Bukannya takut, aku malah ingin membalas mereka. Perlakuan kurang ajar mereka, otoritas yang mereka buat, dan segala hal yang mendarah daging di sekolah.
"Ayo Ziv, Lini. Makan selagi masih anget. Kemarin kata adek beli cimin terus di bawa ke rumah udah dingin dibuang. Katanya alot, gak enak."
Keempat kakak kelasku seperti melihat monster. Ah, mereka sepertinya sangat dendam dan apakah aku tak salah liat, akan mengalah?
"Kok kakak masih disini? Serius deh, pulang sekolah berantemnya. Jangan sekarang."
Diingatkan begitu, keempat kakak kelas itu terpaksa minggat. Berasa disuruh ikut forum debat dan mereka belum menyiapkan materinya. Ya, mati, kan?
"Lyooo! Aku mau nangis tahu nggak? Kamu keren tapi nyebelin ih, gak mau berurusan sama Kakak kelas lagi!" Protes Ziva menggeplak lenganku. Saat aku melotot, Ziva malah tertawa dan menyantap baksonya senang.
...NUCA...
"Lyodra, siapa?"
Mendadak aku penasaran kepada yang sejak tadi membuat suasana kantin hening. Kurasa cukup bingung karena pertama kali melihat. Sebelumnya Lyodra tak pernah terlihat sedikit pun sehingga terasa asing.
"Anak kelas sepuluh. Dia nggak ada pas MOS, tapi pas hari pertama upacara malah telatnya sejam. Walaupun begitu, dia sepupu gue. Sepupu teriblis tapinya."
Samuel tampak kesal dengan Lyodra, sebagai Koordinator Seksi Keamanan OSIS rasanya gagal mendapati adik kelas seperti itu. Menurutnya gaada sejarahnya, siswa SMA se-favorit High Star baru muncul di depan gerbang pukul delapan.
Aku menengadah, menatap langit-langit kemudian mulai berpikir. Ntahlah, pikiranku mulai ramai.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Raja Giannuca (Hiatus Sementara)
FanfictionMimpi Lyodra ingin menjadi murid High Star terkabulkan. SMA terfavorit di kota Jakarta. Meski banyak gosip beredar bahwa High Star terkutuk, Lyodra tak menghiraukannya. Sampai Lyodra mengenal Nuca, seseorang yang mengenalkannya kepada 'deep informat...