Keluarga adalah ruang lingkup pertama bagi manusia. Waktu dan tempat yang tepat untuk berpulang dan menumpahkan keletihan. Kemudian meninggalkannya di pagi hari, saat telah bugar kembali. Lalu pulang lagi dalam keadaan buruk. Begitu seterusnya.
Begitu juga dengan Nissa, ia sampai di rumah dengan keadaan letih. Ia tak sabar menyiapkan makanan untuk ayahnya. Kemudian segera beristirahat. Ia memasuki rumah dan melihat keadaanya. Tidak ada yang berubah, semuanya sama seperti pagi tadi, saat ia meninggalkannya.
Ia segera menuju ke dapur dan menyiapkan makanannya. Kemudian ia pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri. Karena ayahnya belum ada di rumah ia menunggunya di ruang televisi. Tidak lupa dengan teman cemilannya.
Selang beberapa waktu, ayahnya pulang. Seperti biasa hanya melihat putrinya sekilas. Kemudian melanjutkan langkahnya ke kamarnya. Nissa hendak menyapanya, namun ia sudah terlalu hapal dengan ayahnya.
Ayahnya keluar dari kamarnya. Melihat keadaannya, sudah segar kembali. Kalau Nissa pikir-pikir, ayahnya itu masih terlihat tampan. Walaupun umurnya sudah mencapai lima puluhan. Merasa diperhatikan, ia melihat sekilas putrinya. Dalam benaknya ia ingin bertanya 'kenapa?'. Namun, ia sudah terlanjur menaruh kebencian terhadap putrinya. Ia pun segera menuju ke dapur. Mengambil makanan dan duduk di sana. Ia mulai menyantap makanannya.
Nissa menghampirinya, mengambil kursi dan duduk di sebelah ayahnya. Nissa bener-bener kagum oleh ayahnya. Bisa-bisanya ia diacuhkan selama empat tahun, tapi masih aman-aman saja dalam rumah.
"Yah. Apa Ayah gak capek cuekin Nissa? Sudah empat tahun lebih Ayah bersikap seperti ini," tutur Nissa seakrab mungkin. Namun ayahnya tidak merespon perkataan Nissa. Ia masih melanjutkan makannya.
"Oh iya. Ayah 'kan sangat kuat, gak seperti Nissa. Lemah sekali, apalagi saat ibu sudah gak ada. Nissa semakin lemah."
BRAKK!!
Ayah Nissa menggebrak meja dengan kuat, hingga Nissa tersentak kaget. Ia mengatur emosinya agar tidak melampaui batas.
Nissa menyesal mengungkit ibunya. Pasti ayahnya akan menyalahkannya lagi.
"Yang membuat ibu gak ada itu kamu. Coba kalau waktu itu kamu tidak minta aneh-aneh. Ibu mungkin masih di sini. Harusnya kamu bangga, hanya kamu yang disayang ibu. Sudah! Jangan cengeng!" Nissa menghentikan kalimatnya, kalau sudah begini Nissa tidak bisa berkata satu kalimat pun. Ia takut akan kemarahan ayahnya.
Walaupun ayahnya tidak membentaknya, namun perkataan yang keluar dari mulutnya mampu membuat Nissa berkaca-kaca.
Ayah Nissa berhenti makan. Ia pergi meninggalkan rumah. Dari raut wajahnya terpancar kesedihan bercampur marah. Namun, ia tak mungkin memperlihatkan pada putrinya.
"Jangan cengeng," kata Nissa mengingat pesan ayahnya. "Iya Ayah Nissa tidak akan cengeng lagi. Nissa akan berusaha agar bisa sekuat Ayah." Tidak ada pelukkan. Tidak ada belaian kasih sayang. Tak ada tuturan kata lembut. Ia merindukan semua itu.
Tangisannya pecah tapi segera berhenti karena teringat sesuatu.
Harusnya kamu bangga, hanya kamu yang disayang ibu.
Memangnya ada yang lain? Batin Nissa bertanya-tanya.
Nissa tidak mau tau dan memutuskan untuk mengurung diri di kamar. Ini sudah menjadi kebiasaannya. Ayahnya akan marah jika Nissa mengungkit ibunya. Kemudian pergi meninggalkannya seperti tadi. Tapi, semua itu mudah cepat berlalu. Besok ayahnya akan pulang dan keadaan sama seperti awal.
Di dalam kamar, Nissa menumpahkan kesedihannya di depan poto sang ibu. Dalam poto itu, ibunya tengah tersenyum dengan kedua matanya yang sipit. Sangat berbeda dengan keadaan Nissa saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE MEMORIES
Teen FictionNyaman dengan sendiri, namun ingin memiliki kenangan. Bukankah itu sulit?