Gio memasukkan motornya ke dalam kontrakan. Tak ingin kecolongan lagi sampai kehilangan motor karena ia terlalu nyenyak tidur siang hari. Setelahnya, ia membuka seragam dan menggantinya dengan kaos biasa.
"Gi, laper gue."
Gio memejamkan matanya sejenak, ia melupakan kehadiran Jian di kontrakannya. Dengan segera ia berbalik menatap sahabatnya itu. "Laper makan, jangan laporan."
Decakan pelan terdengar jelas dari Jian. Dirinya memang harus ekstra sabar menghadapi makhluk seperti Gio. "Traktir dong. Nasi Padang," katanya pelan.
Mendengar nada bicara Jian yang terkesan mendayu membuat Gio mengeluarkan tatapan tajamnya. Tangan kanannya terangkat dan membuat gerakan melambai agar Jian menghampiri. Tentu saja dengan senang hati sahabatnya itu mendekat.
Bukan mendapat hal manis, dikasih uang untuk membeli nasi padang, contohnya. Justru Jian mendapatkan jeweran keras di telinga kirinya.
"Awwwhh ... aduh, Gi. Lepas, iya ampun-ampun. Sakit." Sebelum melepaskannya, Gio terlebih dahulu menariknya ke atas.
"Kebiasaan minta traktir mulu, kan duitnya banyak lo, kenapa minta sama gue yang cuma ngontrak? Nih otak pake bentaran. Buat jajanin Amel aja ada, makan minta traktir terus."
Jian menunjukkan jejeran giginya pada Gio menandakan perdamaian. "Ya udah, gue numpang tidur siang deh. Ntar makan sore aja di rumah," kata Jian seraya melepaskan sepatunya.
Baru saja hendak naik ke kasur Gio. Seragamnya ditarik kembali.
"Makan dulu, ntar maag lo kambuh," gumam Gio. Tentu saja Jian mendengar, ia terharu, baru saja hendak mengeluarkan pujian, Gio kembali bersuara, "gue gak mau repot-repot bawa lo ke klinik. Soalnya lo gak bawa motor, males nganterin ke rumah."
Jleb
Ucapan Gio langsung menusuk ke pankreas Jian.
"Sana beli, jalan kaki aja ke warteg depan." Meski sempat mengoceh, Gio tetap memberikan uang lima puluh ribu pada Jian.
Tak perlu dipaksa lagi. Jian langsung tertawa. Ia segera bangkit, menggunakan sendal Gio. "Lo emang sahabat gue yang paling baik, Gi. Gue doain tambah ganteng dah."
Gio hanya bergidik geli. Lama-lama ia merasa bisa tertular anehnya Jian. Setelah Jian keluar, laki-laki itu merebahkan tubuhnya di kasur. Memejamkan matanya. Baru beberapa detik tenang, ponselnya yang ia simpan dalam tas bersuara nyaring.
Dengan malas, ia menarik tasnya dari meja dan mengambil ponselnya. Tertera nama 'Mama' serta emoji hati di layarnya.
"Assalamualaikum, Ma."
"Iya nanti."
"Gak janji, Ma. Gio lagi banyak bimbel."
"Iya. Assalamualaikum, Ma."
Sesingkat itu. Gio menatap layar ponselnya. Ia mengirimkan pesan ke Mamanya.
To : Mama❤️
'I love u, Mama🌹.'***
Sore ini harus benar-benar Alya lalui dengan susah payah. Setelah mengirim makanan ke pelanggan, motor restoran yang ia bawa tiba-tiba mati. Ia sudah mencoba dengan berbagai cara sesuai protokol menyalakan motor pada umumnya. Tapi motornya tak kunjung hidup.
Bingung, akhirnya Alya hanya duduk melamun menatap Rosa yang juga tengah menatapnya.
Alya berpikir untuk mendorong motornya saja, tapi melihat Rosa, tidak mungkin ia mendorong motor ditambah beban Rosa. Menyuruh Rosa turun pun ia tidak tega.
KAMU SEDANG MEMBACA
GIONINO
Teen FictionMereka saling memendam rasa, yang satu tak punya keberanian untuk mengungkapkan, dan satu lagi merasa tidak pantas bersanding. Hingga diary merah itu ditemukan oleh Gio dan menunjukkan fotonya. Alya menuliskan rangkaian kata indah untuknya di buku i...