Pepatah mengatakan 'Sudah jatuh tertimpa tangga' benar-benar menimpa Alya kali ini.
Sudah dipecat, listrik mati, dan sekarang ia tak punya uang, sudah dua hari ini ia mengandalkan Jessica untuk membeli makanan. Ia tak enak hati. Meski Jessica bilang, jangan sungkan.
Rosa menatap lilin yang kian mengecil. "Kak?" panggilnya pada Alya yang sedang melamun.
Alya menoleh dan tersenyum pada adiknya. "Rosa mau tidur?" tanyanya pelan.
Gadis kecil itu mengangguk. Ia mengusap keningnya yang bercucuran keringat. "Ayo ke kamar yuk." Alya menuntun Rosa agar mengikutinya. Tangannya membawa lilin yang mengecil di atas piring.
Hatinya teriris melihat keringat yang membasahi rambut adiknya. Rosa sama sekali tak mengeluh panas, padahal Alya tahu, adiknya ini paling tidak tahan jika kepanasan. Inisiatifnya mengambil kipas bambu, keduanya berbaring di kasur lantai yang sama, tangan Alya terus memutar kipas agar menghasilkan angin.
Rosa adalah harta satu-satunya yang ia miliki. Ia tak memiliki siapa-siapa lagi selain Rosa. Alya berusaha agar Rosa tak susah, Alya tak ingin Rosa merasakan perih hidupnya sejak kecil. Alya ingin Rosa bahagia, dan bermain seperti teman-teman sebayanya. Cukup Alya yang dikucilkan orang lain. Rosa jangan.
Tak terasa, air matanya menetes, dipeluknya Rosa dengan lembut. Ia bertahan di atas segala rasa sakit, semua untuk Rosa.
Waktu bergulir cepat. Saat pagi hari, Alya sudah siap dengan seragamnya. Pekerjaan rumah telah selesai, mungkin pulang sekolah ia akan kembali mencari pekerjaan, apapun itu asal bisa membeli token listriknya dan makan siang untuk Rosa.
Senyum Rosa mengembang melihat betapa cantik kakaknya. "Kak. Kakak cantik banget loh." Ia terkekeh seraya mengusap pipi Alya.
Alya mengernyit bingung. "Tiba-tiba bilang gitu? Ada apa?"
Rosa kembali terkekeh. "Rosa tuh muji Kakak tau. Cantik banget soalnya."
"Rosa juga cantik, cantik banget malah. Sini kakak iket rambutnya," kata Alya seraya mengambil sisir serta ikat rambut warna merah muda dan duduk di belakang Rosa.
Dengan telaten ia menyisir rambut panjang adiknya. Setelah selesai, keduanya segera berangkat sekolah. "Yuk!" Tangan Alya terulur tentu saja Rosa langsung menyambutnya.
Tangan keduanya bertaut, menandakan kasih sayang yang tulus antar saudara. Setelah mengantongi kunci, Alya menuntun Rosa berjalan bersamanya. Menyusuri jalanan ramai dengan berjalan kaki menuju sekolah Rosa.
Sekitar 10 menit sampai, Rosa mencium tangan Alya kemudian melambaikan tangannya. Baru saja hendak beranjak, langkahnya tertahan. "Ini uang jajan buat Rosa. Gapapa, kan, cuma empat ribu?" Alya setengah menunduk di hadapan adiknya.
"Kak Alya aja, Rosa gak pengen jajan, kok." Alya tersenyum.
"Gapapa, buat Rosa aja."
"Gini aja, Rosa dua ribu, Kak Alya juga dua ribu."
"Rosa ambil aja jajannya. Kakak udah ada kok, jangan jajan sembarangan ya. Gih, masuk." Rosa mengikuti senyum kakaknya. Ia kembali mencium tangan Alya dan memanyunkan bibirnya.
"Cium pipi Kakak dulu!" Alya terkekeh, ia menunduk membiarkan Rosa mencium kedua pipinya, dan ia pun mencium kedua pipi adiknya yang bulat itu.
Setelah Rosa sudah tak terlihat lagi dari gerbang, Alya segera berbalik badan. Menarik napasnya panjang, kemudian membuangnya perlahan. Waktu masuk kelasnya tinggal dua puluh menit lagi. Langkah kakinya ia perlebar dan dipercepat. Ia tak boleh telat.
***
Gerbang sekolah sudah ramai dimasuki oleh murid SMA Unfero. Diantaranya adalah Gio dan Jian. Setelah menyimpan motor masing-masing. Keduanya berjalan ke arah pos satpam yang tepat ada di samping gerbang sekolah. "Pagi, Babeh!" sapa Jian semangat. Gio hanya tersenyum kecil kemudian mencium tangan satpam sekolah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GIONINO
Teen FictionMereka saling memendam rasa, yang satu tak punya keberanian untuk mengungkapkan, dan satu lagi merasa tidak pantas bersanding. Hingga diary merah itu ditemukan oleh Gio dan menunjukkan fotonya. Alya menuliskan rangkaian kata indah untuknya di buku i...