6. Vergadering (Pertemuan)

351 73 16
                                    

J U W I T A

Fonograf yang terletak di samping meja rias menggemakan alunan spring waltz milik Frederic Chopin. Menyatu bersama aroma sisa hujan yang menguar dari jendela kamarku. Membuatku enggan keluar dari kamar hanya untuk menemui sesi sarapan keluarga. Adriaan memberikan piringan hitamnya sebagai hadiah usai kepulangannya dari Samarang. Dia terkadang berpergian bersama Ayahnya memantau usaha yang mereka miliki di Samarang saat masa libur.

Aku sedang berjuang di tingkat tiga HBS sementara Adriaan di tingkat akhir. Dia satu klas dengan Garritt, Abangku yang cerewet dan menyebalkan. Namun, mereka memang tidak begitu akrab. Tidak seperti Adriaan dengan dua teman setianya, Rajendra dan Espen yang selalu bersama ke mana pun. Tetapi bukan berarti Garritt membenci Adriaan atau sebaliknya, mereka mungkin tidak memiliki topik pembicaraan yang cocok.

Detik jam seolah menggerutu melihat kemalasanku pagi ini. Biar saja, kubuat dia tahu bagaimana rasa lelah dan kesalnya menunggu. Bahkan suara ketukan di pintu tidak membuatku beranjak untuk membukanya.

“Fleur, ini Garritt,” kata seseorang di balik pintu.

Senyumku mengembang. Bukan apa-apa, ketika Garritt mengetuk pintu kamarku, berarti dia membawa sesuatu dari Adriaanku. Gaun tidur yang kukenakan sengaja kubiarkan menyapu lantai, aku pun membuka pintunya dengan riang. Kami tidak pernah terlihat jalan berdua di lorong sekolah, Adriaan bilang itu pilihan baik. Beberapa teman dekat saja yang tahu kalau Adriaan adalah kekasihku. Koning Willem III school te Batavia bukan tempat yang menyenangkan untuk bercumbu hingga senja. Kami lebih suka berbaring di atas hamparan rumput menebak bentuk awan. Ya, tempat yang jauh dari hiruk-pikuk.

“Dasar manja, sudah siang bolong begini masih memakai gaun tidur!” seru Garritt secara berlebihan.
Aku hanya menadahkan sebelah tangan, menatapnya penuh senyum madu.

Membuat Garritt malah mendengus kasar. “Aku tidak tahu sejak kapan aku menjadi tukang pos tanpa bayaran untuk kalian,” gerutunya. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. “Biarkan aku masuk.”

Usai mundur dua langkah, aku membiarkan Garritt masuk. “Mana... Cepat!”

“Sabar.. kita berdua bisa digantung Papa kalau masih berurusan dengannya.” Dia merogoh saku jasnya, mengambil sepucuk surat dan setangkai mawar tanpa duri yang hampir layu. Hampir. Kurasa dia menyimpannya semalaman. “Kau tahu benar seberapa bencinya Papa dengan Adriaanmu.”

Mendengar itu senyumku perlahan meluntur, namun tanganku tetap menyambar semua barang dari tangan Garritt. “Aku tahu benar itu! Tak perlu kau ingatkan! Macam tidak rela membantu adik sendiri,” sahutku ketus.

Garritt berdecak sebelum berujar, “Kecilkan jeritanmu itu.. bisa habis dipukuli nanti aku, karena masih jadi tukang posmu.”

Kalimatnya membuat bibirku semakin mengerucut. “Haruskah Adriaan membayarmu dengan gulden?”

“Hei, aku bukan pengemis! Nyawaku jelas dua kali lipat lebih penting dari kisah cinta kalian!”

“Kalau Griselda bukan Eropa, kau juga akan mengalami hal yang sama!”

1/2 Sendok Teh ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang