16. Een Belofte (Sebuah Janji)

359 95 34
                                    

Cahaya matahari yang tembus dari tirai jendela membuat lelapnya terusik. Dengan gerakan perlahan, sebelah tangannya meraba bagian kasur di sampingnya. Tidak ada siapa pun di sana. Adriaan tersentak begitu gemuruh dalam benaknya muncul. Rasa khawatirnya bertambah ketika tidak menemukan gadis itu di tiap penjuru kamar yang dijelajahi pandangannya.

"Fleur," panggilnya begitu menyentuh gagang pintu kamar. Pandangannya kembali menjarahi tiap sudut kamar untuk memastikan sekali lagi.

Saat sudah yakin bahwa ia tidak menemukan Fleur di sini, Adriaan bergegas menuruni tiap anak tangga. Ditemuinya Asep yang sedang berdiri mengawasi pekerja.

"Apa tadi ada orang berbondong-bondong kemari dan saya tidak tahu sama sekali?" tanya Adriaan tanpa bisa menyembunyikan kilat penuh khawatir dari sorot matanya.

Lelapnya di waktu menjelang pagi memang senyenyak itu. Sebab lelah dan kantuk telah menekan dalam-dalam kesadarannya. Tidak ada yang mereka lakukan selain bercerita dan mendengarkan. Fleur yang bercerita dan ia yang mendengarkan. Meski isak gadis itu sudah menjadi lagu pengantar mereka, ia sudah memastikan bahwa Fleur terlelap lebih dulu darinya.

"Tidak ada, Tuan," jawab Asep. Mulutnya memang menjawab namu raut wajahnya menyiratkan pertanyaan. Memandangi Tuan Mudanya yang memang terlalu kentara baru saja bangun tidur, Asep bertanya, "Apa ada tamu yang Tuan tunggu?"

Pertanyaan Asep menghentikan kegiatannya memanggil salah satu pekerja untuk menyiapkan kuda. "Bukan, kau lihat temanku yang diantar Sujono kemari?"

Tidak perlu berpikir terlalu dalam untuk Asep memahami bahwa kata teman yang Adriaan sebut sebenarnya memiliki arti lebih dari itu.

Melihat Tuan Mudanya bisa kalut secara berlebihan, padahal yang biasa orang normal cari ketika bangun tidur adalah segelas air. Asep berujar, "Noni ada di dapur bersama istri saya, Tuan."

Sempat mengerutkan kening, Adriaan berlalu tanpa meninggalkan sepatah kata pun pada Asep. Dugaannya benar, yang dapat membuat Tuannya kalang kabut memang dara jelita yang diantar Sujono menjelang dini hari tadi. Ia tidak banyak tahu tentang putra semata wayang Meneer van Denveer itu. Karena rumah ini memang hanya tempat singgah, ketika keluarga tersebut sedang mengunjungi perkebunan. Asep hanya tahu Adriaan adalah setengah pribumi yang sangat manusiawi terhadapnya dan para pekerja di sini. Akan tetapi, ia dapat menerka bahwa Tuannya dan si noni memiliki masalah rumit.

Entah masalah yang semacam apa.

***

Buitenzorg dan udara dinginnya dapat menyegarkan pikiran siapa pun yang menyambanginya. Namun bagi Adriaan, menemukan Fleur bercengkrama dengan istri Asep jauh lebih membuatnya baik-baik saja dan waras. Gadis itu berdiri membelakanginya, tengah antusias menceritakan tentang kekonyolan Griselda dan Lies. Mendengar tawa terlontar dengan mudah dari bibir Fleur tentu lebih membahagiakan daripada mendengar isakannya semalam. Akan tetapi, apa Adriaan mampu menjaga tawa itu tetap menghiasi hari-hari Fleur Jansen? Bagaimana jika ternyata ia yang berani bersumpah mempertahankan senyum namun yang terjadi adalah sebaliknya?

Fleur dengannya atau tidak akan sama saja.

"Goedemorgen!" Fleur mengecup sekilas pipinya. Senyum di bibir ranum gadis itu mengembang kala mata mereka bersipaku.

"Kau tidak ingin membalas sapaku?" Gadis itu bertanya lagi karena ia hanya mengatupkan bibir.

Alih-alih langsung menjawab tanya Fleur, ia menganggukkan kepala saat istri Asep pamit undur diri. "Goedemorgen, Fleur.." balas Adriaan ketika mereka sudah benar-benar berdua di ruang makan.

1/2 Sendok Teh ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang