20. Een Bewijs (Sebuah Pembuktian)

285 82 8
                                    

J U W I T A

Revan membantuku memungut pecahan cangkir akibat keterkejutan yang luar biasa menyelimuti. Semua ini membuktikan bahwa memang ada hal-hal di dunia ini yang dapat terjadi di luar nalar manusia biasa. Sang Pencipta bebas membuat segala skenario dalam hidup kita, karena kita hanyalah ciptaan-Nya. Cuaca di luar sana mendadak mendung, namun kerongkonganku terasa kering.

“Aku bisa membersihkan ini,” kataku, menghentikan lamunan berkepanjangan yang hendak berjalan jauh.

“Kamu duduk aja di sana.” Revan menunjuk ujung sofa yang jauh dari pecahan cangkir. Sementara dia sibuk mencari sisa-sisa pecahan dengan tisu basah.

Dari keseharian kami selama sekantor, aku baru melihat Revan versi terbaik semenjak ayahku hendak memasuki ruang operasi. Dia biasanya bersikap congkak, pongah dan sebagai macamnya. Intinya Revandio Pranadipa dapat dianugerahi sebagai atasan paling menjengkelkan seumur hidup. Aku memilih pasrah menurutinya. Kembali duduk bergemelut dengan pikiranku sendiri. Rasa kehilangan atas kepergian Papa belum sepenuhnya sirna, namun aku sudah harus mendengar penuturan semacam tadi dari Revan. Aku tidak ingin menyalahkan siapa pun. Lagi pula deja vu itu tidak akan berpengaruh banyak terhadap hidupku. Mungkin memang mempertemukanku dengan sosok yang mirip laki-laki impian adik dari Kakek buyutku. Tapi, tidak akan lebih dari itu.

Entah berapa banyak waktu yang kuhabiskan untuk melamun, tiba-tiba Revan sudah duduk di sampingku menyodorkan segelas air putih.

“Terima kasih.” Aku mengambilnya tanpa ragu dari tangan Revan. Sudah kubilang kan? Kerongkonganku terasa kering.

“Maaf... Aku enggak bermaksud membuat kamu takut.. Aku cuma mau memastikan,” katanya. Sorot mata Revan meniti raut wajahku, aku bisa melihatnya lewat ekor mata.

Aku mengangguk. “Aku... terlalu kaget,” sahutku pelan.

“Iya, dia Kakek Buyutku.”

Aku sempat menahan napas begitu mendengar satu fakta lagi dari Revan. Kebenaran dari istilah doppleganger yang kemarin kucari terbukti. Adriaan van Denveer adalah kakek buyut Revan dan aku? “Garritt Jansen..”

“Iya aku tau..” potong Revan. “Kejadian di pesta pernikahan Papa waktu itu..”

“Aku mengerti. Karena aku juga mengalaminya.” Aku menyela ucapan Revan, namun menghindari kontak mata dengannya.

Ya, insiden ciuman di pesta pernikahan Lesmana Pranadipa dan Paramitha bukanlah keinginan kami. Namun, kami tidak membahas itu lebih jauh. Tidak juga tentang Adriaan dan Fleur. Aku menundukkan kepala, meniti jemariku yang berada dalam pangkuan. Aku sedikit iba pada kisah adik dari Kakek buyutku. Berdasarkan deja vu yang terakhir kualami, dia sudah kembali ke rumah megahnya. Ya, aku memang seperti menjalani dua kehidupan sekaligus. Yakni, kisah Fleur dan kisahku sendiri. Beruntungnya Fleur, dia memiliki Adriaan yang begitu menyayanginya. Juga Garritt Jansen, Kakek buyutku yang rasa sayangnya tidak kalah dengan Adriaan. Sementara aku? Juwita Kaluna hanyalah anak dari pebisnis yang bangkrut dan sekarang sebatang kara.

Sebuah tangan menangkup tanganku. “Jangan takut.. kita hadapi bersama-sama,” katanya.

Alisku menukik tajam. Apa sih yang ingin Revan bicarakan? Begitu mengangkat kepala sekedar menyusuri lautan caramel dalam bola mata Revan, aku tertegun. Sebab ruang tamu apartemen berubah menjadi sebuah ruang tamu khas abad ke-20. Sebuah piano terpajang manis di bawah tangga kayu jati. Lalu dindingnya dihiasi lukisan-lukisan keluarga dan pemandangan. Selain itu terpampang juga lukisan besar Ratu Wilhelmina. Satu-satunya wanita yang hari kelahirannya selalu kami rayakan meski berada di tanah koloni.

1/2 Sendok Teh ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang