14. De Poort (Gerbang)

331 79 36
                                    

Suara ketukan yang menggambarkan emosi itu terdengar dari pintu kamarnya. Fleur tetap bergeming di depan meja belajarnya. Menuliskan sebuah surat lagi untuk sang kekasih. Jarak mereka tidak seluas samudera, hanya perlu naik kereta kuda lalu sampai. Namun orang-orang sialan yang seperti rantai, telah mengikat mereka di tempat masing-masing. Apa yang menjadi masalah utama mereka? Tidak ada. Mereka tidak bermasalah, tapi dua laki-laki yang menjadi kepala keluarga itu yang bermasalah. Meneer van Denveer menggantikan posisi ayahnya di NHM. Dan sebagai seorang nan ambisius, Meneer Jansen tidak dapat menerima fakta tersebut.

Tidak jarang Meneer Jansen kerap menyindir dan menjatuhkan nama Adriaan van Denveer yang jadi pusat kebanggaan sang lawan. Hingga Meneer van Denveer murka dan perang dingin mereka terkenal di kalangan bangsawan.

“Mijn Dochter, buka pintunya!” Suara menggelegar itu menggema di telinga Fleur.

“Jangan berteriak pada anakku!” Kali ini Mama yang berteriak di balik pintu.

“Lies, bawa Mevrouw ke kamar. Aku butuh bicara dengan Fleur,” kata Meneer Jansen.

“Jangan membentaknya! Kau sudah memaksanya seperti hewan peliharaan! Jangan memaksanya untuk apa pun itu!”

“Diam! Aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu!”

Tidak tahan dengan perdebatan orang tua di depan pintunya, ia beranjak. Disentaknya pintu tersebut hingga terkuak. Wajah Mama dihiasi jejak air mata, sementara wajah Papa dihiasi murka yang tak terelakkan.

“Apa lagi, Pa?”

“Kenapa kau membuang secara sembrono semua hadiah dari Espen?”

“Apa nasih perlu ditanya? Aku tidak membutuhkan itu.” Nada bicaranya mendadak naik satu oktaf tanpa terkontrol tiap kali mereka membicarakan laki-laki itu.

Gemuruh dalam benak menjadi pemicu utama. Dan Papanya adalah alasan kenapa ambang pintu kamarnya terasa seperti gerbang neraka.

Kobaran api di mata ayahnya menyalang. “Jangan bersikap seperti orang yang tidak bertata krama, Fleur. Papa tidak pernah mengajarkan itu!”

“Papa? Orang yang memaksaku seperti hewan peliharaan harus kusebut Papa?” Kali ini suara Fleur bergetar. “Saya tidak pernah meminta apa pun yang membebani anda. Saya hanya ingin anda berhenti campur tangan dengan apa pun yang saya pilih. Kalau memang saya benar nyatanya sebagai putri anda.”

Tangan Meneer Jansen yang terangkat di depan wajah Fleur itu tertahan. Wanita paruh baya di sebelahnya yang menjegal. “Kau tampar Fleur, sama saja dengan menamparku.” Kalimat itu sarat akan penekanan di setiap katanya.

Meneer Jansen berdecak sembari mengembuskan napas kasar. “Apapun yang terjadi, pernikahan itu akan tetap berlangsung.” Kemudian laki-laki paruh baya itu melenggang begitu saja.

Diembuskannya napas yang tertahan sejak tadi bersamaan dengan kaki yang mendadak tidak memiliki tulang. Fleur jatuh bersimpuh di ambang pintu. Ia terbelenggu dalam ambisi ayahnya. Kebebasan sebagai manusia yang sesungguhnya mendadak layaknya omong kosong.

Adriaan, aku ingin bebas..

Napasnya perlahan teratur, seiring dengan bulir yang juga jatuh teratur di pipinya.

“Juffrouw!” Lies memegangi bahunya di susul Mama. Wanita yang telah melahirkannya itu, memeluk erat setiap titik kerapuhan dalam raganya.

“Aku dan Garritt hanya boneka dari keegoisannya..”

“Maafkan Papamu. Mama tidak tahu sejak kapan dia berubah menjadi begitu..”

***

“Terima kasih, Lies.” Fleur menggenggam kedua tangan juru rawatnya itu.

1/2 Sendok Teh ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang