Tiga Roti

4.5K 751 83
                                        

David mencium aroma obat-obatan yang menusuk hidungnya, membuat tidurnya terusik—iya, sebenarnya dia pingsan cuma setengah jam. Setengah jamnya lagi tidur—ia langsung membuka matanya perlahan. Yang ia lihat pertama kali adalah ruangan bernuansa putih, bertirai, dan dirinya berada di atas ranjang tepos yang menyakiti punggungnya.

"Gue di mana?" tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.

"Anjir!" Bukannya mendapat jawaban, ia yang tengah pusing justru kepalanya ditempeleng oleh telapak tangan seseorang.

"Gas, buset!" Suara yang David kenal menatap si pelaku penampolan dengan tak percaya.

"Siapa yang nampol gue, bangsat?!" maki David sembari memegang kepalanya yang sakit.

"Sok-sokan nanya di mana. Kek sinetron lu!" omel lelaki yang paling kecil di antara dua lelaki basket tersebut. "Tadi ngatain gue lemah, baru kena bola aja udah pingsan. Cemen lu!"

"Lo tuh emang dendam ya ama gue?" tanya David seraya menatap Bagas sengit.

"Lho? Baru sadar?" Bagas memasang wajah polosnya. "Ya menurut lo aja gue nggak dendam dikatain lemah sama cowok yang kena basket aja langsung pingsan. Mendingan gue lah cuma jongkok doang, tapi sadar," tawa Bagas menguar.

"Bagas, nggak boleh gitu," peringat Albert.

"Ya abisan ...," cicit Bagas memalu saat dibilangi begitu oleh Albert, persis seperti perempuan jaga image di depan gebetan.

"Iya, nggak pa-pa." Albert tersenyum sambil menapakkan tangannya di atas kepala Bagas, menggusak rambut Bagas pelan.

David yang berada di tengah-tengah adegan cheesy tersebut malah mengernyitkan dahinya heran. "Sejak kapan kalian akrab?"

"Kepo lu!" jawab Bagas judes.

"Udah, udah," lerai Albert. "Nih, lo mending minum dulu," lanjutnya sambil memberikan teh hangat pada David.

Lelaki yang di atas ranjang itu pun menerima pemberian Albert pelan. Ia menyesap tehnya dengan perlahan.

"Udah mendingan?" Bagas bertanya.

"Kepo lu!" Wow, balas dendam yang bagus David.

"Tai!" umpat Bagas, "Tau gitu nggak nanya gue. Tuh, Kak ... temennya tuh dibaikin malah gitu," rengek Bagas sok imut.

"Vid, lo nggak bisa agak baikan apa? Bagas tadi ampe panik liat lo pingsan."

"GUE NGGAK PANIK!" sentak Bagas dengan suara cemprengnya, membuat David dan Albert menggusah telinganya pelan.

"Iya, iya. Gue nggak pa-pa. Udah mendingan gue gegara ini teh."

The power of teh anget.

"Bagus deh," ujar Bagas. "Kalo lo udah mendingan, gue mau balik ke kelas. Nggak mutu banget bolos mapel buat lo."

"Heh, ke mana lu? Tanggung jawab!" kata David sambil memegang pergelangan kecil Bagas.

"Gue nggak ngehamilin lo!" tukas Bagas. "Lepasin tangan gue, nggak usah ngedrama lo."

"Enak aja mau ke kelas. Pala gue pusing nih!"

"Lho? Anda pikir saya peduli?" Songong emang, ya namanya juga Bagas.

"Mending lo di sini ampe istirahat biar bisa dapet roti keju Pak Dullah. Kan cepet dari sini, tinggal nyebrang udah kantin belakang."

Bagas menggigit bibir bawahnya, tanda ia sedang berpikir. Tapi benar juga, hari ini praktik Biologi di laboratorium yang jauh banget. Pasti susah ke kantin. Dia sudah empat hari berturut-turut enggak makan roti keju Pak Haji Dullah, nggak kebagian. Lidahnya sudah terlalu rindu merasakan lembutnya roti dan lembutnya keju yang lumer di mulutnya.

Ah ....

Lidahnya mengecap tanpa sadar memikirkan roti keju kecintaannya. Dan tanpa keraguan, ia mengangguk mantap. "Ya udah, gue di sini."

Lemah banget emang, baru dibilangin roti keju aja langsung iya.

"Lo ke kelas aja, Bert. Biarin gue ditemenin sama ni sendok semen," tutur David menatap Albert.

"SIAPA YANG LO SEBUT SENDOK SEMEN, HAH?!" Lagi, suara melengking Bagas keluar merusak gendang telinga kedua lelaki-lelaki tampan sekolah ini.

David meringis, "G-gue. Gue sendok semen."

"Ya udah, kalo gitu gue tinggal ya, Gas, Vid. Kalo ada apa-apa hubungin gue aja," pamit Albert sembari menepuk bahu David dan mengacak surai Bagas, meninggalkan keduanya tanpa beban.

Entah mengapa melihat hal itu, David tak suka. Mungkin ia tak suka temannya bersikap baik dengan rivalnya? Mungkin saja.

"Sejak kapan lo deket sama Albert?" tanya David sinis.

"Kepo ah." Bagas menjulurkan lidahnya, membuat David kesal setengah mati akan sikap kekanakan Bagas. "By the way, gue di sini nggak niat nemenin lo, ya. Gue cuma mau stand by demi roti keju!"

"Iya, bawel!" respons David datar. Rasanya ditemani Bagas bukannya sehat, dirinya malah nambah penyakit. Bawaan emosi mulu kayak orang darah tinggi.

"Nanti beliin gue roti keju juga, ya?" pinta David.

"Nggak bisalah! Kalo gue beliin lo, guenya nggak dapet dong!" Bagas menolak mentah-mentah.

Pasalnya, Pak Dullah yang tahu kalau rotinya menjadi primadona membuat peraturan bahwa satu murid cuma boleh beli satu roti. Karena dulu ada yang langsung memborong banyak, maka jadi banyak yang tak kebagian pula. Lalu, selain itu Pak Dullah tahu betapa ketatnya persaingan mendapatkan rotinya sampai titik darah penghabisan. Maka ia mau setiap pembelian didapatkan dengan usaha yang sama. Sungguh bijak sekali ketentuan Pak Haji Dullah.

"Iya, iya. Kalo gitu nanti lo ngebantuin gue buat dapetin rotinya, ya? Lindungin gue. Kan gue masih pusing, tapi gue pengen banget makan tu roti."

"Ngidam lo?"

"Sembarangan amat punya congor!" David tak terima. Ia lelaki sejati, tak ada kamus ngidam apalagi hamil dalam hidupnya.

-

Meminta perlindungan hanyalah tinggal kenangan.

Lihatlah sekarang, dirinya yang berpesan untuk dilindungi, justru dirinya yang melindungi.

Melihat tubuh kecil Bagas terombang-ambing membuat hati kecilnya merasa agak kasihan. Catat, hanya agak. Oleh sebab itu, ia memasang kuda-kuda di belakang Bagas, tangannya pun memegangi bahu Bagas sebagai benteng pertahanan agar si mungil tidak terdesak.

Dan bagaimana dengan Bagas? Bagas yang mengetahui hal itu pun sedikitnya merasa terenyuh. Ia langsung mengambil dua roti begitu ia sudah di jajaran terdepan, menatap kumis Pak Dullah. Salfok.

"Woy, tong! Satu orang satu, ye. Kagak bisa lu beli dua," protes Pak Dullah si pedagang cassanova.

"Saya satu, partner saya yang di belakang saya ini satu, Pak," jawab Bagas.

Oke, rasanya mereka sudah menjadi partner in crime roti keju Pak Dullah. Lain kali bisa dicoba lagi.

"Oke, ceban jadinye, ye!" kata Pak Dullah.

Baru saja Bagas merogoh sakunya, ia sudah didului oleh David yang memberikan uang sepuluh ribu pada Pak Dullah. "Ini, Pak. Ambil aja kembaliannya." Kemudian David menarik pergelangan tangan Bagas untuk keluar dari kerumunan siswa.

"Woalah, edan! Duitnya pas, ambil kembaliaan apaan?! Dasar anak muda jaman sekarang," gerutu Pak Dullah. "Woy, jangan berebut napa! Aliando pusing jadinye ni!"






—Bersambung—

Roti Keju Pak HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang