Lebih dari empat bulan sudah Hinata berada di sarang iblis. Selama itu pula ia selalu mendapat perlakuan tak menyenangkan setiap harinya. Di setiap jam, menit, bahkan detik, seolah Hinata tak diperbolehkan bernafas secara bebas. Ada saja yang dilakukan oleh keenam laki-laki itu padanya.
Hinata berjalan pelan menuju tempat duduknya di deretan paling belakang. Sengaja memang memindahkan tempat duduknya di sana. Belum sampai Hinata duduk di kursinya, cairan kental dengan aroma menyengat, serbuk putih dan sebuah benda bertekstur lembek dan berbau amis secara hampir bersamaan tumpah mengenai tubuhnya. Mengotori rambut dan seragam sekolahnya.
Hinata terdiam di tempatnya. Sampai ia mendengar suara gelak tawa enam laki-laki yang selama beberapa bulan ini menguji mentalnya secara terus-menerus. Hinata tahu apa yang mereka inginkan sebenarnya. Anggota GS4T itu menginginkan Hinata keluar dari kelas mereka.
Hanya saja, sulit bagi Hinata untuk keluar. Baginya, masuk kelas unggulan dan mendapatkan beasiswa penuh adalah keberuntungan yang tidak akan datang dua kali. Ibu dan ayahnya juga sangat senang mendengarnya bisa masuk kelas unggulan, sehingga mereka tidak akan mengeluarkan biaya lebih untuk sekolah Hinata.
Ibu dan ayah, dua sosok yang membuat Hinata bertahan sampai detik ini. Mengabaikan semua perlakuan buruk siswa-siswa SMA Konoha, menghiraukan tindak perundungan yang dilakukan anggota GS4T yang semakin hari semakin parah. Hanya saja, kini Hinata telah sampai pada batasnya. Ia tak mampu lagi bertahan menghadapi mereka semua. Apa yang ia rasakan sangat menyakitkan.
“Kenapa kau masih bertahan?”
“Sampai kapan kau akan bertahan?”
“Semampu apa dirimu untuk tetap berada di sini?”
Pertanyaan dari Sasuke, Shikamaru, dan Gaara itu menusuk telinga hingga hati Hinata. Dirinya bahkan tak tahu jawabannya. Mengapa Hinata masih bertahan di Kelas Neraka itu? Sampai kapan Hinata harus bertahan dengan perlakuan buruk mereka berenam?
Yang Hinata inginkan adalah belajar dengan baik. Ia ingin masuk perguruan tinggi dengan beasiswa penuh. Tapi mengapa semua itu harus dibayar dengan perlakuan buruk mereka?
“Aku tidak mengerti, kenapa orang tuamu menyuruhmu sekolah di sini?”
“Antara kau yang memiliki ambisi, atau orang tuamu yang terlalu berharap?”
“Tak tahukah mereka kalau sekolah di sini perlu uang untuk bisa mendapatkan tempat?”
Toneri, Sai, dan Sasori mungkin tanpa sadar telah membuat tusukan lebih dalam pada hati Hinata. Mereka sudah menyinggung nama orang tua Hinata. Membuat gadis itu menangis.
Hinata menundukkan kepala. Tubuhnya mulai bergetar. Menggigit bibir bawahnya agar tak mengeluarkan isakan. Dalam hati Hinata terus mengucapkan maaf untuk ibu dan ayahnya. Hinata lelah. Hinata sudah tak mampu bertahan lebih lama. Terlebih, hal yang Hinata jadikan titik berat sudah disinggung.
Dengan masih menahan tangisnya, Hinata menegakkan kembali tubuhnya. Tatapan matanya mengarah pada keenam laki-laki itu. Pancaran matanya menunjukkan amarah yang begitu nyata.
“Aku akan keluar,” kata Hinata akhirnya.
Shikamaru tersenyum puas. “Bagus.”
“Jadi kami tidak perlu repot memikirkan bagaimana lagi caranya membuatmu pergi dari sini,” ujar Toneri sambil melirik teman-temannya.
“Kami tidak perlu lagi menghabiskan waktu berharga kami, demi untuk menindasmu,” kata Gaara sinis.
Sai duduk di salah satu meja, yang jaraknya masih dekat dengan Hinata. “Kenapa tidak dari dulu saja kau keluar dari kelas kami?”
KAMU SEDANG MEMBACA
TSP (The Six Prince): A Story of Konoha High School (KHS)
FanfictionKisah SMA Hinata bersama enam pangeran sekolah berwajah tampan, bermulut pedas, berperilaku kejam, dan berhati dingin.