Derit suara bising itu kembali terdengar, rungunya menajam, aroma membekas di benaknya sangat mencandu sekali, meskipun dalam jarak sedikit jauh, ia pasti akan tahu, kalau itu adalah prianya.
"Ah, dia sudah pulang rupanya."
Semakin bising, semakin dekat rasanya, sekian tahun, jantung ini masih merasakan debar, padahal presensi pria itu belum muncul di daun pintu.
Banyak sekali pertanyaan retorik ingin kulemparkan kala raut cerahnya berseri. Bertanya perihal kecil pun sangat menyenangkan apabila itu tentangnya.
Duduk berpangku di sofa saja sudah membuatku cukup kepayang, membaui aroma khas yang selama ini selalu kusuka, kunikmati hingga rasanya hatiku terisi penuh kembali, dan merasakan banyak memori jangka panjang yang kusimpan lamat.
Bahkan hanya sekedar tangan besar itu melingkupiku saja rasanya nyaman sekali. Rengkuhan hangat yang memabukkan, dengan alunan piano menyejukkan,
Ah, aku bahagia sekali bersamanya.
Lingua merah nan menggoda itu terjulur, rasanya ingin menerkam pria itu— oh akalku sedang tak waras memikirkan pikiran gila itu.
Dia selalu saja menggoda, dan aku tetap saja tergoda. Iblis kau, Kimtae.
"Aku mencintaimu Nay, selalu." kecupan ringan dengan bibir basahnya, membuat hormon nyaman itu kian meningkat.
Pelukan itu semakin memberat, terdengar lenguhan ringan dibahu kanannya.
Gelisah, pelipisku mulai banjir keringat, "Tidak. Kau mulai lagi, Kim. Aku tidak bisa membencimu, tidak. Tidak akan lagi."
"Nay, aku terbakar— rasanya tubuhku kian membara, aku harus pergi, Dia menungguku, mungkin bagimu Dia murka, — pria itu tertawa kecil, tapi bagiku itu malah menunjukkan kesedihan terbesarnya. "—duniaku rusak oleh diriku sendiri,"
dengan mudahnya kehangatan itu menguar, layaknya lengkungan manis yang kusuka itu kian memudar.
"Jangan! Aku tak suka, biarkan Dia. Kau telah lama dibuang. Biar saja aku yang mengurusmu—" kuraih erat jemari panjangnya, menciumnya lembut, merasakannya dengan tatapan penuh kasih setengah nanar dan khawatir.
"Cukup, Nay. Sudah terlalu lama aku membiarkanmu menjadi rusak, kotor dan terkutuk hanya demi diriku, aku—" rasa panas itu mulai membakar diriku perlahan, kueratkan dekapan itu, mengutuk semua larangan agar ia bersama pria itu.
Bahkan kata selamanya selalu jadi impian terbesarnya untuk menjadi nyata, faktanya malah mengabu. Dan, sayangnya peristiwa ini datang lagi.
"Nay, pastikan kamu makan dengan baik, karena semua akan berlalu—" ia terpejam memberi kecupan hangat di seluruh indra wajahnya; mata, hidung, telinga, hingga memperlama tempo di bagian lembut dibawah hidungnya.
Rasa panasnya itu kian membakar hingga sesak sekali, bodohnya matanya memproduksi air sialan itu lagi. Percuma Nay, yang kuingin hanya presensinya saja, selamanya didekapan pria itu, ia bertaruh akan aman sampai dunia ini runtuh dengan sendirinya.
"Kau berhak bahagia, Nay." lenguhan itu kembali memenuhi rungunya, semakin kesakitan, semakin menyesakkan, semakin pula ia meronta.
"Persetan. Kalimat itu bahkan lebih menyakitiku. Tak bisakah, hanya kalimat aku mencintaimu, itu saja akan membuat duniaku aman Tae, cukup kalimat itu."
Hingga desakkan air itu kembali tumpah ruah, mengalir hingga ia merasakan jemarinya basah akan air di pipi prianya.
Kilatan ungu kehitaman mulai membesar, hingga sesak itu tidak terasa lagi, sebuah sinar terang entah datang darimana membuat pancaran itu kian beradu. Namun, tetap saja segel itu kembali terbuka.
Klan kami berbeda, dan prianya pergi lagi, tapi yang ia yakini ia pasti akan kembali, lagi. Karena seorang Kim Taehyung sudah terikat janjinya pada Im Nayeon.
***
A. N : Jadi, karya yg satu ini bakalan aku jadiin cerita random Nay dgn berbagai pria. Meski konsep awal nih karya ttg kesepian dan hal kesendirian, tapi udh stuck bgt ide:')
So, yah. Sekali lagi, Selamat menikmati tulisan saya :)