sampah berfantasi #1 : prajurit baja

134 9 2
                                    

"Happy Birthday, My Majesty, Lim Nayeon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Happy Birthday, My Majesty, Lim Nayeon."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Gadis belia itu membaca judul buku yang terletak di nakas kakaknya, "Perkumpulan bawah tanah." bergidik ngeri seraya menatap pria yang sedang mengepulkan cincin asap nikotinnya.

"Kak, kau membacanya? Kau tahu bukan, kau bisa dihukum atas penyelundupan buku seperti ini. Kau mau bernasib sama seperti tetangga kita yang kepalanya putus pada saat eksekusi malam hari oleh prajurit milarris."

"Diam Hana," aku berseru keras membalas perkataannya. "Baiklah, terserah kakak. Tapi jangan melibatkan kakek dan merepotkanku jika kau tertangkap. Oh ... iya aku lupa, kau masih ada kartu kesempatan bangsa melarris bukan? Kak Naya kan kekasihmu-"

"Dia bukan kekasihku lagi." aku memotong ucapannya. 

"Benarkah? Kenapa bisa, kupikir kalian akan berakhir bersama, dan kau bisa saja diangkat menjadi prajurit baja, bukan menjadi pengangguran seperti sekarang- atau jangan bilang kau ini akan menjadi pembelot bangsa ya?

"Tutup mulutmu Hana, kakak tidak ingin menanggapi, jika yang kau tanyakan perihal perempuan itu dan prajurit baja yang baunya tak lebih dari sekedar besi berkarat."

.
.
.
.
.

"Kak Nayaa??" aku berhenti, mematung. Mulutku terborgol kata, bau besi berkarat ini menusuk rongga hidungnya. Lehernya merasakan pedang scimitar itu menyentuh nadinya dengan dingin.

"Berani sekali seorang hamba dari bangsa musuh memasuki teritori terlarang dan memanggil permaisuri dengan bahana bisingmu?!" sang prajurit baja dengan emosi seperti mayat, aku menyadari dibalik topeng perak baja itu tidak akan bisa terbaca satu garis ekspresi pun.

Aku mengalihkan pandangan, mata mangkuk hitamku dihadapkan pada perempuan dengan gaun biru laut menyentuh tanah, lengkap dengan mahkota bermata, klasik dengan batu ruby menghiasi. Serta sekelompok prajurit baja yang mengelilingi. "Permaisuri? Kak Naya ... Kakak-," tercekat, dingin pedang scimitar itu terhunus kembali ke leherku hingga ke tenggorokan yang rasanya ada batu kecil yang mengganggu untuk membebaskan kata untuk berbicara.

"Diam. Kau sangat bising."

"Lepaskan scimitar-mu. Aku perlu bicara berdua dengannya. Kalian tunggulah disana." bahananya tegas, emosi dan rautnya tidak terbaca, sangat berbeda dengan Kak Naya yang kukenal sebagai kekasih kakak. Nalurinya menolak diam untuk berasumsi. Telah berapa dekade ia melewati sejarah, kenapa ia tidak mengetahui perubahan yang ada disekitarnya bahkan secuil informasi yang selalu ia curi tiap akhir pekan tidak cukup mengetahui bahwa bangsa melarris sudah sangat berubah. Permaisuri telah dipilih. Dunia baru sudah terlahir. Dan perang dua bangsa yang bersaudara ini akan dimulai.

"Hana, kau kenapa bisa berada di perbatasan?" masih terlihat ada sebongkah aroma keramahan dan emosi kemanusiaan di sorot matanya yang mulai berubah. Mata karamelnya masih ekspresif, meski raut dan emosinya seperti mayat.

VFTS 682 (random short story) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang