Sebenarnya aku sudah menduga hal-hal yang akan terjadi di masa depanmu nanti, bagaimana aku akan bertemu denganmu nanti, bagaimana sikapku ketika melihatmu tertawa hangat bersama kekasihmu. Tapi hal yang terburuk juga sebelumnya harus aku duga. Ah, ini bukan yang terburuk malah ini adalah kado terindah bagimu bukan.
Bersanding indah berdua, menautkan jari, mengikat janji bersama, sehidup semati berdua. Aku masih tidak menyangka semua itu terjadi di bulan kelahiranku sendiri, tak pernah terbayang aku mendapat kado pertama dan terakhir darimu.
Sebuah kertas berpita emas kekuningan, dengan renda silver disetiap ujung pembatasnya. Tertulis nama lengkapmu, bersanding manis bersama nama wanitamu.
Sungguh, demi tuhan aku bahagia.
Aku bahagia demi kebahagianmu.
Hanya saja aku masih tidak bisa memprediksi hal seperti ini, terlalu cepat kabar itu masuk ditelingaku dan terlalu cepat juga otak dan pikiran ku mencerna, memikirkan dirimu dan kebahagianmu.
Tentu saja dirimu akan menjadi sosok paling luar biasa bahagia saat hari itu tiba. Dan aku akan memberikan senyuman terbaikku lagi, kala menemuimu nanti.
Hampir memasuki tahun keempat kita kehilangan komunikasi, aku yang kehilangan kontakmu, atau lebih tepatnya menjauh darimu disaat hari kelam itu.
Rasanya duniaku telah menua, waktuku semakin cepat bergulir, dulu kunamai diriku sebagai ilalang hitam yang pemalu, kekanakan sekali diriku dulu. Sang ilalang yang enggan berinteraksi bersama pohonnya, padahal jauh didalam hatinya ingin menjadi seorang pemilik.
Namun apalah daya, takdir memaksa kita untuk saling melepas, memandang dari kejauhan, hanya dipertemukan sebentar lalu kemudian menjauhi perlahan.
Terlihat jelas jika sedikit presensimu itu sesungguhnya masih ada terletak jauh sekali diakar hatiku, mungkin kalau diperkirakan lewat akumulasi perhitungan persentase yang aku miliki hanya lima hingga sepuluh persen, sepertinya.
Terbenam jauh didalam kubangan memori lama yang aku terapkan untuk tidak mengingatnya kembali walau barang sedetik, kendati kabar tak terduga ini memaksaku kembali memusatkan atensiku lagi padamu.
Meski yang kutahu benar kamu sudah bahagia.
Tapi ketahuilah, meski awal kisah aku dan kamu tidak pernah bermulai, namun kisah lain seperti layaknya kisah sebagai teman itu pernah ada, walau aku ragu kamu masih meninggalkan jejak ingatanmu padaku atau tidak. Yang terpenting, kisah kita sesungguhnya sudah lama dimulai, mengabaikan perihal kisah yang meng-ujungkan pada hubungan romansa. Kendati kisah itu sudah lama bermula saat kalimat sapaan yang kamu berikan padaku di ruang obrolan itu, menempatkan diriku sebagai teman saat itu juga.
Hanya itu memori yang akan kuubah denganmu. Merubah kisah yang katanya tidak bermulai, sebenarnya sudah ada dan bermuara. Karena perawalan kisah kita itu ya untuk pertemanan.
Hanya saja pikiranku saat itu mengatakan lain, oleh karena itu saat ini aku ingin mengenang dirimu sebagai temanku. Teman lamaku yang kini sudah bahagia bersama pilihannya.
Terimakasih ya, dan selamat atas pernikahanmu.
Aku turut bersukacita hanya melihat senyummu merekah cerah dan itu sudah cukup membahagiakan untukku sebagai teman lamamu.
Selamat menempuh dunia dan kehidupan baru, serta menambah satu lagi tujuan hidupmu, membahagiakan orang-orang tersayangmu.
Karena melepas masa lalu itu tidak perlu dilakukan dengan bersikap kekanakan lagi, membuangnya jauh-jauh, memaki dan marah pada masa lalu, hingga berujung tak ingin mengingat, melupakan hal-hal baik yang tersisa. Hanya satu jalan, cukup mengubah pandangan burukmu terhadap masa lalu itu, mengubahnya dengan sedikit menaruh rasa percaya, kalau saja kau berdamai saat itu juga, harimu dan beban masa lalu itu akan meringan seiring waktu.