tempat untuk kabur

618 69 1
                                    

[ and the rape saga continues ]

Biasanya anak sekolah akan sangat menyukai waktu pulang. Mereka bisa kabur dari berbagai mata pelajaran yang sulit. Namun aku tidak termasuk di dalamnya. Belakangan ini pulang menjadi hal yang sangat kutakuti.

Biasanya aku dengan senang hati membersihkan rumah dan memasak makan malam. Namun sekarang sekujur tubuhku gemetar begitu menginjakkan kaki ke dalam.

Ingin sekali aku mengunci pintu dan membiarkan pria itu tidur di luar. Tapi aku tahu ia memiliki akses lebih. Ia bisa saja memanggil Bibi pemilik apartemen dan menjebol pintu. Kemudian ia bisa menghukumku lebih parah. Walaupun semua itu masih mungkin, tapi aku tidak berniat mencoba.

Asalkan aku menurut, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sekolah, tempat tinggal, dan makanan akan terpenuhi. Aku hanya perlu berpikir bagaimana cara menghadapi rasa sakit dan malu yang kurasakan setiap malam.

"Apakah aku boleh masuk?" ucap Mori mengintip dari balik pintu.

Aku menoleh. Malam ini ia datang lebih cepat dari biasanya. Aku yang masih mengerjakan tugas sekolah, menutup buku mematikan lampu belajar.

"Benar. Aku tidak perlu meminta izin untuk hal itu," ujarnya lagi seraya masuk ke dalam kamar.

Ia berjalan menghampiriku dan menutup bibirku dengan sebuah ciuman. Aku membencinya, namun bila menolak, kupikir itu akan melukai harga dirinya. Mori tidak perlu repot menutup pintu ketika menahanku di atas meja. Hanya ada kami berdua di apartemen ini.

Ia tidak perlu khawatir tetangga akan mempermasalahkan, karena aku tidak akan berani mengeluarkan suara kencang. Aku tidak akan berteriak. Karena sekalipun melakukannya, aku tidak tahu siapa yang akan menolong. Aku tidak memiliki tempat untuk kabur.

"Mori-san," panggilku.

"Ya?" Pria itu menyahut, namun aku tak dapat membalas lagi. Aku menggigit bibirku sendiri, menahan perih yang kemudian terasa di tubuhku. Mori melakukannya lagi, membuat lututku lemas hingga enggan untuk berdiri—jika ia tidak memegangi pinggul dan menekan punggungku.

"Aku beruntung memiliki anak yang penurut," bisiknya di telingaku seraya mendorong lebih dalam. Tubuh bawahku terasa amat perih. Luka tempo hari mungkin sebentar lagi sembuh, namun Mori membukanya lagi.

"Aku menyukaimu, Chuuya."

Tanpa kusadari, air mataku keluar, mengalir membasahi meja. Aku memejam erat-erat, berharap malam ini akan segera usai.

.

.

.

to be continued

oke, tujuanku yang cuma mau ngasih efek creepy berubah dikiiiit, jadi mungkin ff ini akan berakhir 2 atau 3 chapter lagi :)

[√] behind the window | bsdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang