berandai-andai

518 65 5
                                    

"Tidak apa-apa, Chuuya," ucapan itu terus terngiang di kepalaku. Malam ini Mori melakukannya lagi—dengan alasan yang tak kupahami.

Pria itu tidak mengatakan apapun padaku—soal apa yang terjadi sehingga ia berubah segila ini. Aku segan padanya, karena itu aku menyimpan rasa frustasi ini seorang diri.

Sampai seseorang bernama Dazai Osamu muncul. Ia mau mendengarkan keluh kesahku setiap malam—sangat larut hingga aku harus merelakan waktu istirahatku. Walaupun begitu, sesi curhat bersama tetangga seberang apartemenku ini sangat berharga. Aku bisa menangis sepuasku, juga mengumpat sepuasku. Namun akhirnya aku bisa merelakan semuanya, berharap akan ada hari yang lebih baik esok.

"Dazai," panggilku setengah mengantuk.

Ia balas berdehem, masih tetap memandangiku dan menopang dagu dari kamarnya.

"Apa kau tidak mengantuk? Aku tidak bisa fokus di sekolah karena terlalu banyak bercerita denganmu," ucapku pelan.

Lelaki itu terkekeh pelan. Ia tersenyum karena kata-kataku.

"Aku tidak perlu istirahat. Memperhatikanmu tidak akan membuatku lelah."

Entah hanya perasaanku atau Dazai memang sebaik itu—atau juga selembut itu. Melihatnya membuatku merindukan sifat lama seseorang.

"Seandainya Mori-san tidak berubah. Semua pasti..."

"Pasti?"

"Pasti tidak serumit ini. Aku tidak akan perlu menangis setiap malam, berpikir bahwa aku harus kabur dari sini."

"Kau tidak membencinya?"

Aku tersentak dengan ucapan Dazai, juga menghentikan pengandaianku. Ekspresi Dazai berubah masam mendengar nama Mori. Biasanya aku memang membicarakan hal buruk tentangnya, namun aku masih berharap ia akan berubah seperti dulu.

"Aku membencinya," jeda sejenak dalam perkataanku, "Tapi setelah memikirkan lebih jauh, aku tidak bisa melakukannya semudah itu."

"Tapi pria itu—,"

"Benar," potongku sambil pura-pura menguap dan meregangkan tubuh.

"Aku tidak akan bisa fokus di kelas kalau terjaga lebih malam lagi. Kau juga harus tidur, Dazai," ujarku seraya menutup jendela perlahan.

Dazai terlihat memaksakan senyum namun masih melambaikan tangan ke arahku. Aku balas melambaikan tangan dan menutup tirainya perlahan.

Baru saja aku mengendap-endap ke atas ranjang, terdengar suara pintu terbuka. Aku seharusnya menarik selimut dan menutup seluruh tubuhku, namun aku malah terbangun, menemukan Mori sedang mengintip dari celah sempit yang ia buat.

"Dengan siapa kau bicara Chuuya?"

Aku terdiam. Aku tidak mungkin mengatakan bahwa aku membuka tirai. Aku tidak mungkin bercerita soal Dazai dan apa yang kubicarakan bersamanya.

"Apa kau benar-benar merindukanku yang dulu?"

Aku juga tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Aku tidak bisa mengatakannya langsung. Aku merasa membuatnya terbebani. Aku sendiri merasa diriku adalah beban yang tidak boleh menuntun macam-macam. Menjawab pertanyaan itu, menurutku juga sebuah tuntutan.

"M-Mori-san tidak perlu memikirkannya. A-aku baik-baik saja. Aku h-harus segera tidur," ucapku terbata seraya menarik selimut.

"Aku mendengar suaramu, samar-samar di depan pintu," ucap pria itu seraya masuk dan duduk di lantai kamar. "Kau sering bicara sendiri belakangan ini, Chuuya."

Sekujur tubuhku mendadak gemetar setelah pertanyaan Mori tadi. Ia tidak mengira aku membuka tirai, bukan?

"Apa kau bergumam karena tugas sekolahmu belum selesai?" tanyanya.

Aku merasa harus terjaga lebih lama untuk menjawab pertanyaan itu.

"Sekarang sudah selesai. Mori-san tidak perlu mencemaskannya," balasku pelan sambil mengalihkan tatapan.

"Tapi tas sekolahmu masih ada di luar bahkan sebelum aku bercinta denganmu," ujar Mori seraya mendongak, mengarahkan tatapan tajam padaku.

"Di dalam sana ada alat tulismu dan kau tidak mungkin mengerjakan tugas tanpa alat-alat itu, bukan?"

.

.

.

to be continued

Semoga chapter depan segera berakhir karena bulan sebentar lagi bergantehhh 

[√] behind the window | bsdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang