ketakutan

697 69 43
                                    

Aku menangis seorang diri setiap malam. Begitu juga malam ini. Tidak beda dari malam-malam sebelumnya. Aku berpikir mungkin akan meneteskan air mata hingga pagi. Aku berpikir untuk berangkat ke sekolah lebih dini, ketika Mori masih tertidur.

Tapi dengan keberadaan pria itu di kamarku, aku tidak akan bisa bersiap-siap tanpa membangunkannya. Aku mengusap air mataku dan beranjak dari dapur. Menangis tidak akan menyelesaikan apapun. Mungkin aku masih harus  bertahan dengan perangai Mori untuk keesokan harinya. Dan keesokan harinya lagi. Memikirkan hal itu membuat kepalaku pening.

Aku menghela napas, keluar dari tempat persembunyianku. Aku berharap Mori sudah menyerah dan kembali ke kamarnya sendiri. Permintaanku itu terwujud. Mori sudah tidak berada di kamarku lagi. Aku naik ke atas ranjang, menarik selimu hingga menutupi tubuhku. Aku mencoba untuk tidur, juga merenungkan perkataanku pada Mori tadi.

Apakah aku salah karena telah mengungkapkan perasaanku? Aku benar-benar ingin Mori kembali menjadi yang dulu, Mori yang memperhatikanku layaknya seorang ayah. Aku ingin memulai hidup baru dengan Mori sebagai orangtuaku, sebagai orang yang akan melihatku berhasil suatu hari nanti. Aku tidak ingin Mori menjadi seseorang yang menghancurkan hidupku.

Dengan segala pikiran dalam benak, aku mencoba memejamkan mata. Aku ingin segera tidur agar tidak perlu mengantuk di kelas besok.

Tapi belum sempat aku terpejam, suara sirine mobil terdengar dari bawah. Aku merasa gusar, tidak dapat tidur lagi. Tanpa berpikir panjang aku membuka jendela, melihat Dazai juga melakukan hal yang sama. Aku melongok ke bawah melihat beberapa petugas ambulan dan mobil polisi.

"Dengan ini, kau tidak perlu dilema lagi, Chuuya," suara Dazai memecah kebingunganku.

Aku mendongak, menatap lelaki yang tengah tersenyum ke arahku itu. Aku berpikir apa hubungannya dilemaku dan peristiwa yang terjadi di bawah sana. Dan bagaimana Dazai bisa mengatakan itu?

Tanpa sadar, aku berhambur keluar dan  berlari ke kamar Mori. Di sana tidak ada siapapun.

"Mori-san?" Aku memanggil.

"Mori-san!" Lagi.

Aku berlari ke kamarku lagi dan melongok ke bawah panik.

"Tanpa Mori-san, aku bisa semakin dekat denganmu, bukan?"

Aku tertegun dengan ucapan Dazai. Kata-kata itu terdengar sangat egois. Bukan berarti aku berpikiran negatif, hanya saja itu bukan hal yang akan diucapkan Dazai apabila orang yang diangkut ambulan itu benar-benar Mori.

Aku mendongak, menatap lelaki yang tengah bertopang dagu di belakang jendela itu. Kulitnya berubah pucat. Aku menemukan garis lebam di lehernya. Juga darah yang mengalir dari matanya ketika aku menelusuri fitur wajahnya.

"Apa kau takut padaku, Chuuya?"

Aku melangkah mundur ketika Dazai menanyaiku—tidak—aku bahkan tidak yakin sosok itu benar-benar Dazai yang selalu mendengar keluh kesahku setiap malam. Aku juga tidak percaya orang yang diangkut ambulan itu adalah Mori. Ini tidak mungkin nyata.

Tidak.

Tidak.

Aku hampir saja hilang kesadaran kalau saja tidak ada suara ketukan dari depan pintu. Aku segera berhambur, berharap bahwa pelakunya adalah Mori. Namun semua itu pupus ketika melihat bibi pemilik gedung di depan pintuku.

"Chuuya? Kau baik-baik saja?" sapanya dengan sedikit nada sendu.

Aku menatap gamang, mencoba membaca air muka wanita itu.

"Aku harus memberitahukan hal ini padamu," ucapnya lagi.

"A-apa yang terjadi, Bibi?" Jantungku bergedup kencang. Aku merasa tidak siap dengan apa yang mungkin akan kudengar nanti.

"Mori Ougai, pria yang menjagamu telah meninggal."

.

.

.

The end

Kerasa gak sih?

Saya nggak tahu, kan saya yang bikin. Yang jelas ini beneran twisted menurutku. Nggak Mori sama Dazai sama-sama parah.

=_=

Sebenernya Pitik mau bunuh Chuuya aja soalnya di ff-ff angst sebelah yang mati Dazai mulu. Chuuyanya kapan? Tapi karena Pitik sayang Chuuya, jadi dia tetep hidup.

Tapi kok menderita =_=

[√] behind the window | bsdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang