"lo ngapain sih?" Irin baru saja memarkirkan motornya saat mendapatiku mondar-mandir di depan rak sepatu
"lo punya sepatu cewek nggak?"
"hah? Sepatu cewek? Gue kan cewek, sepatu gue ya sepatu cewek"
"bukan..."
"apaan sih?" Irin menggaruk kepala heran "udah ah gue pusing nih penelitian gue udah cukup bikin emosi hari ini" gerutunya sambil melangkah masuk kamar.
"ASTAGAAA APAAN NIH BERANTAKAN BANGET? KOPER LO KOK DI BONGKAR LAGI?" Irin bertolak pinggang menatapku minta penjelasan
"gue bingung mau pake baju apa trus nggak bawa sepatu bagus juga gue duh gimana ya"
"lo mau ngapain sih?" Irin mendesakku. Terakhir kali aku panik tentang baju dan sepatu adalah ketika songket wisudaku tidak muat dan aku lupa membeli sepatu untuk wisuda.
"ke toko buku, rin" terangku sekenanya
"HAH?!" aku mengerti Irin pasti akan bereaksi seperti ini "toko buku macem apa yang mau lo datengin sampe lo mikirin baju segala? Lo mau ke toko buku bareng siapa deh? Pak Jokowi? Ratu Elizabeth?"
"beda rinnn bedaaa ini gue ke toko bukunya beda" Irin menganga. Achernar lebih penting dari Pak Jokowi.
"ah bodo ah" aku meraih tas dan dompetku melangkah terburu meninggalkan Irin yang masih terheran. Aku baru saja membuka gembok gerbang ketika menyadari sesuatu dan berbalik menuju kamar "Rin, gue pinjem motor" aku tidak menunggu persetujuan Irin saat merogoh saku jaket yang baru saja digantung Irin. Irin semakin terlihat frustasi. Aku tidak peduli, menuju motor Irin, menstarter dan melaju cepat.
Ambarrukmo Plaza terasa lebih padat sore ini. Aku mengaktifkan layar ponsel menghitung sisa waktu yang kumiliki untuk membeli semua yang kubutuhkan. Tiga puluh menit sebelum berbuka puasa dan satu jam sebelum waktu janjiku dengan Achernar.
Aku menelusur setiap deretan pakaian, mencoba hampir dua puluh pasang baju bolak-balok hingga kakiku rasanya ingin kutanggalkan saja saking pegalnya. Waktuku tinggal 15 menit sebelum berbuka puasa. Aku hampir menyerah sebelum kuputuskan memilih sebuah kemeja berwarna navy dengan hiasan motif bunga-bunga kecil orange-pink kupikir ini tidak berlebihan. Aku bergegas menuju deretan sepatu yang di pajang berderet tepat di sisi kananku. Aku panik diburu waktu. Aku harus menentukan pilihan secepatnya, menyempatkan berbuka puasa dan bersiap sebelum Achernar datang. Aku tidak mau Achernar menunggu lama jika harus ada yang menunggu diantara aku dan Achernar, maka itu adalah aku.
"mas, saya ambil yang ini" aku menunjuk sepasang sepatu dengan aksen garis dan pita yang menyilang dilengkapi hak sekitar tiga senti agar setidaknya aku terlihat lebih tinggi. Eh apakah ini membantu?
Aku baru saja akan menuju parkiran ketika kusadari aku melewatkan waktu berbuka. Kenyataan bahwa aku akan ke sebuah toko buku—yang sangat biasa dengan Achernar membuatku lupa bahwa aku sedang berpuasa dan aku harus berbuka agar setidaknya aku tidak pingsan. Kalaupun aku pingsan, aku tidak akan memilih pingsan di depan Achernar tentu saja.
Aku berusaha secepat kilat mandi, shalat dan bersiap secepat yang aku bisa. Aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 18.15 yang membuatku sangat panik bertemu Achernar rasanya seperti sedang akan sidang kelulusan. Aku melatih senyum di depan cermin memastikan tidak ada hal-hal yang terlewatkan saat waktu menunjukkan tepat pukul 18.30 dan Achernar mengirimiku pesan whatsapp
Achernar:
"Ntar aku pompa ban dulu ya. Kamu siap-siap aja dulu"
Aku tersenyum
Aoranos:
"iya ini lagi siap-siap kok"
Aku bohong. Aku sudah siap sedari tadi.
"lo mau ke toko buku apa mau interview kerja deh rapi amat?" Irin menatapku dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku tersenyum lebar penuh misteri. Kubiarkan Irin tetap bertanya-tanya. Pun kujelaskan Irin tidak akan mengerti bahwa acara ke toko buku yang akan kulakukan hampir kupastikan akan menjadi kunjungan menuju toko buku paling menyenangkan yang pernah kurasakan selama hidupku. Ah, Irin tidak mungkin mengerti perasaanku. Malam ini aku akan ke toko buku! Aku berteriak dalam hati.
Achernar:
Aku udah di depan
Kyaaaaa!!
Aku melempar senyum lebar-lebar pada Irin sebelum mematut diri di depan cermin sekali lagi dan bergegas menuju Achernar.
Aku gugup bukan main—aku selalu gugup di depan Achernar tapi kali ini rasanya berkali lipat mengingat aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Sudah lama tidak menatapnya diam-diam dari balik laptop yang kubuka hanya agar terlihat seperti mengerjakan sesuatu; melihatnya tertawa dengan teman-teman; melihatnya menyilangkan kedua tangannya didepan dada menatap laptop dengan ekspresi serius; melihatnya berbincang dengan dosen; melihatnya tersenyum. Jika saat ini aku hanya punya sekantung bahagia dari Tuhan maka akan kuberikan semua pada Achernar agar aku tak kehilangan senyum itu. Jika aku hanya punya satu permohonan tersisa selama sisa hidupku dari Tuhan maka hal yang kupinta hanya agar tak hilang senyum itu. Jika ditawarkan padaku ribuan bahkan jutaan dollar agar aku rela melupakan senyum itu takkan kulakukan. Takkan kutukar senyum Achernar dengan apapun.
Achernar menghentikan motornya didepanku, tersenyum padaku. Lihat kan? Sudah kukatakan, kawan. Tidak ada tandingannya senyum itu. Siapapun di dunia ini boleh berlomba mencarikan aku senyuman lain takkan ada yang berhasil membuatku luluh, waktuku terhenti, darahku berdesir dan semua penyakit di tubuhku menguap seketika. Cari kalau ada. Tak ada! Hanya Achernar. Senyum itu satu-satunya hanya milik Achernar.
"kok balik ke Jogja? Kamu di Jogja sampai kapan?" aku bertanya sambil memasang helm dan menempatkan tubuhku di motor Achernar.
"ada urusan tadi. Sampai nanti malam paling"
"oalah kirain nginep. Urusan apa?"
Achernar diam, memutar setengah tubuhnya kearahku "ada deh" jawabnya dengan nada menyebalkan. Aku memutar bola mata memasang wajah kesal—tidak, aku tidak kesal aku hanya pura-pura. Ayolah aku tak mungkin kesal pada Achernar.
"aku pengin minta temenin milih buku tapi takut kemalaman deh kayaknya. Serem juga kamu balik jam sembilanan malam nanti sampai rumah jam berapa kan" cerocosku.
"nggak apa-apa ayo kalau mau" Achernar menstarter motornya "santai lah. Udah aku kuasai daerahnya" sambungnya.
"tapi adanya kayaknya di toko buku yang agak jauhan, Nar. Di Ambarrukmo tadi ku tanya udah nggak ada. Gimana?" jika Achernar keberatan dan tidak jadi menemaniku malam ini, maka kisah cintaku kutamatkan sampai sini.
"nggak apa-apa. Sejauh apa sih Jogja itu?" aku menahan senyum demi mendengar jawaban Achernar. Malam ini perjalanan menuju toko buku rasanya jauh lebih menyenangkan dari perjalanan menuju tempat indah manapun di muka bumi.
Aku beraharap setidaknya untuk malam ini saja jalanan Jogja menjadi jauh lebih panjang. Tapi tidak, sekarang aku dan Achernar berada di depan toko buku besar di jalan jendral Sudirman. Achernar mengambil karcis parkir, motornya melaju perlahan menuju parkiran.
"Aoranos" Achernar membuyarkan lamunanku
"ya?"
"karcis parkir di aku ya" Achernar menunjukkan karcis parkir dan memasukkannya ke saku celana kirinya
"hahaha masih ingat aja sih Nar. Biar nggak di putusin ya?" kataku.
Aku dan Achernar tertawa. Hatiku hangat. Aku tidak peduli lagi apakah aku akan mendapatkan buku Andrea Hirata atau tidak.
YOU ARE READING
Kepada Achernar
General FictionTanpa sempat memulai Begitu saja Kita usai Kepada Achernar, bolehkah kuminta hatimu barang separuh?