Hari ini pekerjaanku lebih sibuk dari biasanya. Aku harus menyiapkan materi rapat sendiri dan memikirkan konsep marketing dengan batas waktu yang gila-gilaan. Aku menatap tumpukan berkas di samping kiriku. Mataku perih sejak semalam dan kepalaku rasanya mau pecah. Aku muak sampai mau muntah.
"nih kopi" Zetta, Lazetta Anna Pivoth. Gadis blasteran Jawa-Australia rekan kerjaku yang paling cantik memberiku dukungan moril dengan segelas Americano pada mug berlukiskan pemandangan Vienna.
Zetta berpostur tinggi seperti kebanyakan orang blasteran lainnya, hidungnya tinggi, rambutnya bergelombang agak pirang, warna bola matanya seperti hazelnut dan kulitnya kecoklatan. Zetta lebih tampak seperti orang latin dan dia bangga sekali bahwa ia bisa secantik itu. Sebuah percobaan penggabungan gen yang lebih dari kata berhasil. Jika diibaratkan sebuah perkawinan silang, maka Zetta adalah temuan bibit unggul.
Americano di samping kananku masih mengepulkan asapnya. Aku menyeruputnya selagi masih belum dingin lalu tertunduk lesu. Ku sandarkan keningku pada ujung meja dengan tangan yang ku lingkarkan memeluk tubuhku sendiri.
"capek banget gue, Ta"
"istirahat dulu.. lo udah kerja keras banget beberapa hari ini" Zetta memberi tatapan prihatin.
"Lo tadi pagi ngaca nggak? Nyadar nggak muka lo udah kayak zombie gitu?" aku memejamkan mata. Keningku masih tersandar pada ujung meja. Jam kerjaku memang tidak main-main. Aku sudah harus berada di kantor tepat jam 8.30 pagi dan setiap hari harus pulang jam 8 malam karena pekerjaan yang brutal.
"Ta"
"mm?" Zetta menjawab hanya dengan gumaman.
"Lo pernah kangen nggak sama orang? Kangen banget. Sampai dada lo rasanya mau pecah. Sampai sakit banget rasanya disini" Aku menunjuk jantung. Aku menatapnya lalu sejenak kupejamkan mataku. Iya, rasanya sakit sekali sampai harus kuelus berkali-kali. Dadaku sesak, air mataku menggenang. Aku berusaha menahan gejolaknya. Selama ini, setidaknya selama ini aku telah berusaha sebaik mungkin.
"gue kangen, Ta. Sekarag rasanya makin kangen"
"sama siapa?"
Aku tertegun. Hatiku ngilu. Perih. Sesak sekali tak bisa kugambarkan. Bibirku bergetar menyebut namanya.
"Achernar" aku memeluk Zetta. Zetta menepuk pundakku, mengelus punggungku lembut. Tangisku tumpah ruah.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudah 5 kali putaran tapi aku masih belum mau berhenti untuk istirahat barang sejenak. Jogging track pagi ini tidak seramai biasanya. Jalan yang kulalui juga masih setengah basah. Aku berlari sambil menengadah memejamkan mata dan menghirup dalam-dalam udara pagi yang bercampur bau jalanan basah. Aku sesekali mengalihkan pandangan ke arah kursi kayu di samping pohon sirsak. Agak lembap terkena hujan semalam ditambah embun pagi ini. Disana Achernar tengah duduk meluruskan kakinya dan sesekali meneguk air minum yang kubawa dengan botol plastik biru laut. Achernar melambaikan tangannya padaku yang membuatku memutuskan untuk berbelok mengubah arah menghampirinya. Achernar menepuk-nepuk tempat di sebelahnya memberi isyarat untuk aku duduk. Nafasku berat, aku meluruskan kakiku mengikuti Achernar. Achernar memberiku botol minum.
"semangat banget sampai begitu keringatnya"
Aku meneguk minumanku "mumpung sepi" jawabku.
Matahari mulai terlihat naik. Cahayanya menembus celah-celah daun pohon sirsak menyorot setengah wajah Achernar. Aku duduk memeluk lutut menekuri tiap sudut wajahnya. Binar bola mata hitamnya yang selalu berhasil menyihirku, cahaya matahari menyentuh kulitnya yang kecoklatan dan tentu saja sudut-sudut bibirnya yang menyunggingkan senyum Achernar yang hangat. Selalu menyenangkan menatap Achernar dari jarak sedekat ini.
"gimana beasiswamu? Keterima?" aku baru saja mendaftar beasiswa untuk melanjutkan studiku. Achernar adalah satu-satunya teman yang kuberi tahu. Aku cukup tertutup tentang rencana-rencana masa depan yang kuambil. Tapi kepada Achernar, apa yang tidak untuk Achernar?
"gak lulus" jawabku singkat.
"terus? Rencanamu gimana?"
"aku udah bilang ke supervisor kampusnya kalau aku nggak bisa tahun ini soalnya aku masih nunggu beasiswa yang sama tahun depan. Beasiswa yang lain nggak cukup dana buat risetku. Ya kali bayar sendiri"
"syaratnya apa aja sih? Ada TOEFL nya pasti kan?"
"iya TOEFL, bikin rencana studi ntar ada tes wawancaranya juga. Kamu tertarik emang?"
"tapi kemampuan linguistik ku rendah, Nos"
"belajar lagi dong.. coba-coba aja dulu. Sering-sering nonton Harry Potter makanya hahaha"
"kurasa aku emang nggak bakat Bahasa Inggris. Padahal aku pinter tapi nggak bisa Bahasa Inggris" Achernar menjulurkan lidahnya dan tertawa kecil
"percuma juga S2 kalau pulangnya nganggur, Nar"
"jangan menghawatirkan masa depan, masa depan bukan di tangan kita" tatapan matanya seolah serius. Aku memukul keningnya pelan.
"tumben bijak biasanya nyebelin"
"hahaha kenapa semua orang sebel sama aku sih?"
"kamu itu nggak peka jadi nggak sadar kamu nyebelin" aku merespon sambil sibuk memijati kakiku. Ternyata pegal juga lari sejauh itu.
"gitu ya? Detektorku perlu diganti nih biar peka"
Achernar diam. aku ikut diam masih menunggunya bicara.
"gini lah rasanya hidup kalau cita-cita kita bisa berubah-ubah secepat perasaan dia ke aku hahaha" aku memaksakan senyum.
"ini dia yang mana lagi? Dia mu banyak banget udah kayak asrama putri" candaku.
"dia nya..."
Aku menunggu kata-kata selanjutnya. Jangan Achernar, tolong jangan cerita kalau kamu sedang menyukai orang lain.
"dia nya beda -beda" aku lemas.
"hahah enggak lah sok kecakepan betul" sambungnya. Ia sadar aku menganggapnya serius. Achernar menunduk sepersekian detik lalu mengangkat kepalanya, melihat lurus ke arah kolam kecil di tengah taman.
"enggak ada dia nya. Dianya fiksiku" hatiku masih tak karuan. Aku menatap ke arah yang sama dengan Achernar.
"dianya fiksiku..." bisikku lirih.
Hidup manusia sebenarnya berisi berupa-rupa drama seperti cerita fiksi yang ditulis Tuhan di buku khusus yang disimpan pada tempat khusus. Aku percaya semua orang punya seseorang yang dijadikan tokoh utama pada ceritanya. Achernar adalah tokoh utama dalam ceritaku. Achernar menjadi warna pada buku hitam-putihku. Pada semua cerita yang tertulis, pada setiap doa, pada setiap mimpi dan harapan, selama ini tidak pernah tentang orang lain. Orang itu selalu Achernar. Achernar yang paling kusayang sedunia. Kenyataan bahwa Achernar menghiasi harapanku selama ini membuatku takut bahwa bagaimana jika ternyata Achernar hanya mimpi? Alasanku untuk tetap menyimpan cintaku, menguncinya rapat-rapat di sebuah kotak yang kutanam di bagian terdalam hatiku bahwa aku takut ia menghilang. Aku kepada Achernar Nandana Prasaja hanya berani bermimpi. Sungguh tak bisa kuhitung berapa kali aku bermimpi tentang Achernar. Di saat seperti ini, berada di sampingnya dan berpura tidak mencintainya seperti menikam jantungku berkali-kali dan kulakukan dengan sukarela. Dianya fiksiku, Achernar adalah dianya fiksiku...
YOU ARE READING
Kepada Achernar
General FictionTanpa sempat memulai Begitu saja Kita usai Kepada Achernar, bolehkah kuminta hatimu barang separuh?