Ponselku tidak berhenti bergetar sedetik setelah kuaktifkan.
Isinya sama "kamu udah landing belum?" dari Ibu. Aku menghela nafas Panjang agak tidak nyaman masih diperlakukan seperti anak SD. Maksudku, aku sudah cukup untuk dikatakan dewasa.
"halo? Assalamualaikum Ibu, aku udah di Jakarta. Ini lagi nunggu bagasi" kuputuskan menelpon saja.
"oke? aman ya bu. Habis ini aku dijemput temenku terus langsung ke kos. Kosnya udah disiapin temenku kok" aku berusaha menjelaskan sebelum ditanya.
Ibu masih berbicara di seberang sana sedang aku mendengar sekenanya sambil sibuk mengangkat koper dan menuju pintu keluar, mencari Zahara rekan kantor yang ditugaskan menjemputku hari ini. Aku mencari sosok Zahara di sepanjang terminal hingga mataku mengarah pada kursi tunggu didepan KFC postur tubuh Zahara cukup mudah dikenali. Aku melambaikan tangan pada Zahara, ia bergegas menujuku membantuku membawa koper. Zahara membetulkan posisi kacamatanya, tubuhnya lebih tinggi dan lebih berisi dariku tidak heran dia bisa lebih mudah memindah-mindahkan koper seberat dua karung goni ini
"welcome, nos" ia tersenyum "delay ya?"
"iya nih agak delay" aku mengikutinya menuju taksi, berbincang basa-basi dengan Zahara bercerita tentang beberapa teman di kantor. Zahara bercerita dengan semangat seperti anak kecil yang baru pertama kali merasakan sekolah, seperti orang yang pertama kali ke dufan, seperti anak remaja yang pertama kali merasakan kencan. Aku tidak terlalu peduli mengingat aku lelah sekali namun atas dasar menghargainya maka kudengarkan saja sampai tamat episode ceritanya dan kami menikmati keheningan di jalan menuju kosku. Aku menatap barisan tanaman berjejer disamping jalan toll, menyandarkan tubuhku pasrah di kursi mobil, memejamka mata. Ragaku sedang berada di Jakarta namun jiwaku rasanya tertanggalkan dari jasad, melayang terbang menuju sebuah kota. Kota yang begitu ku rindukan.
Yogyakarta.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bau cat menyengat menembus indera penciumanku dari langit-langit kamar kos yang baru saja di renovasi. Kipas angin di sudut sebelah tempat tidur seakan enggan berputar, aku menatap langit-langit kamar mengumpulkan niat untuk melanjutkan essay-ku. Menikmati hening di kamar kos berlindung dari teriknya jogja siang ini. Aku melirik ponselku dan melihat notifikasi dari dosen pembimbing.
Pak Candra:
Aoranos, bagaimana essay nya?
Aku menutup wajah dengan bantal
"Aaaaaaaaa!!!!" teriakku dari balik bantal.
Sumpah demi Thor, karakter marvel paling ku cinta, aku tidak punya ide apapun untuk kutulis di essay ini.
Sesaat kemudian ponselku berbunyi. Aku setengah memaksa diriku membukanya "paling ibu, atau terror 'bagaimana essay' lainnya dari Pak Candra" batinku.
Aku melihat nama yang tertera di layer ponsel. Mataku terbelalak. Sekonyong-konyong aku bangkit. Bukan ibu. Bukan Pak Candra.
"Achernar" aku setengah tak percaya.
Achernar:
Dirimu sudah pulang kampung kah?
Aku meloncat dari tempat tidur
Aoranos:
Belum, aku masih di Jogja. Nggak jadi balik tanggal 26. Besok malem jadinya.
Entah kenapa aku merasa perlu menjelaskan kapan aku pulang. Tentu saja Achernar tidak peduli.
Achernar:
Hlah kenapa nggak bilang? Wkw
Karena aku takut kamu tidak peduli, bodoh.
Aoranos:
Ya kamunya nggak nanya ngapain aku tiba-tiba bilang
Achernar:
Ya ngapain aku nanya kalau sebelumnya udah dikasih tau
Oh iya, Aoranos Delima Insani, kamu ini bodoh sekali ya kenapa kemarin buru-buru bilang akan pulang tanggal 26 Maret yang artinya tiga hari yang lalu. Baiklah, sebenarnya aku menanyakan kapan Achernar pulang ke Magelang karena aku ingin sekali ketemu. Aku rindu melihatnya. Puas? Aku mengaku lho ini. Seharusnya aku pulang tiga hari yang lalu tapi hatiku berat sekali maka kumundurkan jadwal pulangku. Ibu marah-marah, aku beralasan "kan mau lebaran bu, harga tiket naik tiga kali lipat. Aku nggak kuat" Ibu maklum. Aku bohong. Hehe.
Aoranos:
Ya tanya aja sih kan nggak dosa juga. Kamu udah di Magelang?
Achernar:
Ya kasih tau aja sih kan nggak dosa juga. Iya aku di Magelang
Kenapa Achernar mau kuberi tahu? Tidak. Aku tidak boleh ke geeran. "Aoranos, dia tidak sepeduli itu padamu" bisikku. Dia hanya basa-basi.
Aoranos:
Yah nggak ketemu. Padahal aku lagi nyari temen ke toko buku. Mau beli buku Andrea Hirata.
AAAAA GOBLOK. APA-APAAN KENAPA NGOMONG GINI?! mau ku hapus tapi terlanjur dibaca. aku pasrah
Achernar:
Yah nggak dari kemarin ngomong
Aku menelan ludah.
Aoranos:
Yah kamu sih
Achernar tidak membalas. Percakapan berakhir.
Denting jam di dinding menyadarkan 30 menit lagi buka puasa. Aku harus buka puasa agar aku tidak mati maka kusegerakan ganti baju dan menuju masjid kampus. Untuk megaji? Bukan. Ngaji adalah tujuan sekunder. Tujuan primerku adalah buka puasa gratis dari masjid. Aku tahu ini salah tolong jangan judge aku. Oke?
"kakaaaakkk" beberapa anak -anak sekitar masjid yang mengenalku menyapa dengan riang. Aku yang sedetik yang lalu masih melamunkan Achernar agak kaget juga dipanggil berjamaah.
"haaaai gimana ngajinya?"balasku.
"kata kakak yang disana aku sudah pintar kak" Lara pamer padaku, senyumnya lebar sekali. Aku mengusap kepalanya "waaaah hebat ya".
"aku nanti pas buka puasa mau berdoa kak. Biar besok bisa hafal At-Tin. Kata Abi kalau kita berdoa saat berbuka puasa itu mustajab" aku tidak tahu, tapi atas dasar pemahaman bahwa Abi-nya adalah pemuka agama maka sudah pasti lebih paham agama dariku maka kupercayai kata-kata anak kecil ini.
Aku duduk bersila menunggu waktu berbuka sambil bercengkrama dengan beberapa adik kelas dan jamaah masjid hingga waktu berbuka datang. Aku sudah melirik nasi bebek didepanku sejak tadi, aku sudah tidak tahan. Sesaat sebelum tanganku menyentuh teh manis di depanku, aku teringat kata-kata lara "Kata Abi kalau kita berdoa saat berbuka puasa itu mustajab" tanganku terhenti. Aku diam sejenak. Lalu entah setan apa eh atau malaikat apa? Aku tak begitu paham maka aku menatap ke arah mimbar tepat pada kiblat lalu kupejamkan mataku dan berbisik dalam hati "Tuhan, bolehkah aku bertemu Achernar? Sekali lagi saja? Ya?"
YOU ARE READING
Kepada Achernar
Genel KurguTanpa sempat memulai Begitu saja Kita usai Kepada Achernar, bolehkah kuminta hatimu barang separuh?