Ruangan 3 x 4 m2 yang kutempati nampaknya cukup nyaman setidaknya untuk beberapa bulan kedepan. Zahara langsung kembali ke kantor setelah membantuku menghubungi penjaga kos, mewanti-wantiku tentang anjing tetangga yang sering mengikuti sampai depan pagar kos dan tidak akan berhenti menyalak hingga aku menghilang masuk rumah kos. Aku bergidik. Digigit anjing adalah cara mati yang konyol. Zahara juga membantuku mengangkat koper ke lantai empat. Iya, lantai empat. Aku tidak mungkin sanggup sendiri. Aku dikenalkan pada pembantu kos. Namanya bi siti, perawakannya lebih pendek dariku, lebih berisi, wajahnya jenaka dan hal pertama yang kutangkap dari bi siti bahwa hobbynya adalah bergosip.
Aku sengaja menyetel AC sedingin mungkin, memidahkan posisi koper di sebelah lemari dan menghempaskan tubuh di kasur yang bahkan belum kupasangi sprei. Aku memejamkan mata, menghirup nafas panjang. Masih tercium sisa-sisa bau lavender dari perabot di sekitar kutebak kamar ini baru saja dibersihkan kemarin malam. Ruang kamar kos dicat berwarna kuning gading dengan wallpaper di setengah tingginya. Di sudut ruangan sebuah lemari kayu di cat putih terlihat manis. Tingginya hampir dua meter. Aku takkan bisa menjangkau bagian atasnya. Di depanku disediakan meja tulis kecil dengan ukiran disetiap pinggirannya. Langit-langitnya tinggi menjulang membuatku berpikir bagaimana aku bisa menjangkaunya untuk mengganti lampu? Bagaimaa jika aku ingin memindahkan lemari setinggi dan seberat itu? Ditempatku merebahkan tubuh, tempat tidur yang hangat ditambah jendela disampingnya yang membuat cahaya menerobos lurus tepat di wajahku. Aku membuka tirainya melihat kesibukan kota Jakarta, mendengar bisingnya dari ketinggian. Aku mendadak kesepian. Aku mendadak menyadari bahwa sebelumnya tak kuperhitungkan kenyataan bahwa di kota sebesar ini, aku sendiri. Benar-benar sendiri.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"gak masuk akal ya nih tiket kereta aja udah seharga pesawat" Irin membanting ponsel ke kasur dengan wajah kesal. Kedua tangannya memegang kepala.
"lo jadi balik besok nggak, kak?" tanyanya.
Aku mengangguk "iya. Makasih ya udah nampung gue di Jogja" aku ke Jogja untuk beberapa alasan. Setelah wisuda, aku tidak pernah seharipun tidak merindukan Jogja. Selain rindu aku harus kembali untuk membantu paper Pak Candra berhubung aku belum bekerja kupikir kenapa tidak.
"gue penginnya sih balik bareng elo" Irin merubah posisinya berbaring menghadapku yang tengah sibuk packing.
"yaudah ayo"
"ih gila lo. Gue kan masih skripsi biaya penelitian gue gede banget sampe nggak punya duit beli tiket mudik" aku tertawa
"jadi gimana? Lo ga balik?"
"enggak deh kayaknya"
Bisa ya, Irin tidak mudik. Kalau aku, pasti sudah dipaksa Ibu. Mau semahal apapun pokoknya harus mudik. Mudik lebaran adalah prinsip tidak terbantahkan Ibu.
Aku sedang menyetrika beberapa bajuku saat notifikasi dari aplikasi travel muncul di layar ponsel.
"kak, hp lo bunyi tuh"
"iya paling reminder buat berangkat ntar malem" aku santai.
"yaudah pinjem hp buat telpon nyokap ya"
"iya"
"kak"
"apa lagi sih?" aku gak kesal
"kereta lo direschedule jadi besok malem"
Aku menghentikan pekerjaan menyetrika "HAH?!"
"tolong dong mbak. Saya butuh banget pulang hari ini" aku memohon hampir putus asa.
"bener-bener nggak bisa, mbak. Kita bener-bener cuma bisa bantu keberangkatannya paling cepet tanggal 30 pagi"
Aku mulai panik. Harusnya aku berangkat hari ini.
"ini ada apa sih mbak? Kok direschedule gini?"
"masalah operasional mbak. Mohon maaf ya. Jadi gimana? Mau saya bantu jadi besok pagi atau besok malam saja?" aku sudah pasrah. Ibu pasti marah-marah lagi walau aku sih sebenarnya senang-senang saja di Jogja toh Irin juga tidak mudik aku masih bisa menginap.
"besok pagi deh biar saya nyampe jakartanya siang"
Aku berjalan pelan di sepanjang jalan malioboro. Belum ingin pulang, belum ingin pergi dari kota ini. Langit jogja sedang teduh kali ini seperti mengerti aku butuh suasanya syahdu untuk mengiringi sisa-sisa waktu berpisah dengan jogja. Langit Jogja teduh seperti tengah menahan hujan seperti perasaan sedih tapi berusaha tidak menangis barangkali. Aku duduk di kursi kosong yang baru saja ditinggalkan ibu-ibu dengan plastik belanjaan "Ramayana". Aku bersandar lemah, kedua tangan kumasukkan ke saku jaket jeansku. Tangan kananku masih menggenggam ponsel sehabis menelpon Ibu dan memasrahkan telingaku mendengar rentetan omelan "kan sudah Ibu bilang, kamu harusnya pesan tiket pulang tanggal 26 aja". Semenit kemudian ponselku bergetar.
Achernar:
Aku di Jogja nih. Beneran di Jogja sekarang
Aku terbelalak. Berlari cepat sekuat tenaga hampir di tabrak becak, diteriaki bapak-bapak yang kusalip dengan tidak sopan demi mengejar Transjogja yang hampir berlalu.
YOU ARE READING
Kepada Achernar
Ficção GeralTanpa sempat memulai Begitu saja Kita usai Kepada Achernar, bolehkah kuminta hatimu barang separuh?