5. Enak Bisa Pacaran

467 66 6
                                    

FAJARHILMA – 5. Enak Bisa Pacaran

Penulis : Uniessy

Dipublikasikan : 2020, 11 Maret

-::-



Layar ponsel di tangan Hilma berganti-ganti menampilkan bayi laki-laki mungil yang baru saja lahir ke dunia atas izin Allah dari rahim Nurul, sahabat Hilma yang sekaligus adalah istri dari Shiddiq, sahabatnya Fajar.

"Lucu banget ya, Jar," kata Hilma pada suaminya yang baru selesai mengambil wudhu sebelum tidur.

Fajar mengacak rambutnya yang basah dengan kedua tangan.

"Aa mah kan emang lucu, Yang," kata Fajar. "Baru tahu yaaa?"

Fajar menjawil dagu Hilma dengan raut wajah penuh goda. Membuat Hilma berjengit dan menggeser duduknya.

"Jangan deket-deket. Ada orang haid galak!" kata Hilma dengan wajah mau ngomel.

Fajar tertawa hingga terjungkal di atas kasur mereka. "Ini udah haid tapi masih galak aja, duh, alhamdulillaah dikasih rasa sayang sama gusti Allah ya, hehe..."

"Ini loh, Jar, si Zaid, lucu-lucu ya fotonya? Tuh yang dia mangap, lucu, kayak Nurul!" Hilma heboh lagi dengan layar ponselnya.

Fajar terdiam, lalu mengikuti arah telunjuk Hilma di atas layar ponsel istrinya tersebut. Ada foto Hilma menggendong Zaid di sana.

Nurul baru melahirkan tadi malam, dan siang tadi mereka berdua mengunjungi sahabat mereka di rumah sakit. Hilma beruntung karena Zaid baru saja diperbolehkan keluar oleh pihak rumah sakit. Jadi Hilma bisa ikutan gendong dan foto-foto bareng bayi mungil tersebut. Fajar yang memerhatikan kebahagiaan Hilma melihat Zaid, diam-diam paham juga, bahwa Hilma pasti pengen lah, punya anak lucu kayak gitu. Mereka sudah menikah nyaris setahun, tapi Hilma belum ada tanda-tanda hamil.

Fajar-nya sih santai. Tapi Hilma kayaknya tertekan dengan pertanyaan orang-orang di sekitar mereka perihal buah dari cinta mereka; Kapan isi? Halah, ngga beda perihnya dengan ditanya kapan nikah kayaknya.

"Kamu pengen ya, Yang?" tanya Fajar tanpa basa basi lagi.

"Pengen apa? Dibilangin lagi haid," balas Hilma singkat.

"Pengen punya yang kayak gitu. Lucu ya?"

"Ya pengen lah, Jar... Emang lo ngga pengen?"

"Pengen sih, tapi biasa aja."

"Ih, pengen tapi biasa aja tuh apaan deh?"

Fajar bergerak, lalu tangan kanannya melingkari perut istrinya, memeluk dengan caranya.

"Ya kan belom dikasih sama Allah," kata Fajar, "dulu-dulu kalau lagi ngumpul tuh dibahas tentang tauhid bareng anak-anak. Yakin wae ke Allah kitu, Yang."

"Ya gue sih emang yakin ke Allah, Jar. Tapi pengen mah tetep."

"Aa mah nih yah," kata Fajar, pelukannya terlepas. Dia bangkit duduk dan menghadap Hilma. Diambilnya sepuluh jemari sang istri, digenggam erat dengan sepuluh jarinya sendiri. "Bersyukur banget kamu belum hamil..."

"Yah, kok gitu sih?"

"Ya iya, kan bisa pacaran dulu gitu sama kamu, hehe..." ucap Fajar. "Jalan berdua, malem mingguan berdua. Nyobain kafe-kafe instagramable berdua. Menuhin laptop sama foto-foto kita berdua," jelasnya. "Waktu di kampus kan kita ngga pacaran atuh hahaha! Aa nungguin momen buat pacaran sama Ayang tuh berapa tahun coba? Enak sekarang mah, bisa pegang-pegang. Bisa cubit-cubit. Ya?"

Mau tak mau, Hilma tertawa dan menjewer telinga kiri suaminya.

"Gombaaal!"

"Dih, beneran lah!" Fajar menarik ujung hidung istrinya. "Tuh, dulu mah pas naksir Ayang di kampus, ngga bisa narik-narik hidung begini. Bisa kena karate! Sekarang kan bisa. Tuh! Tuh!"

"Aaah, aduh, ih!" Hilma meraih tangan Fajar yang menarik hidungnya barusan. "Terus nanti kalau gue hamil, kita udah ngga pacaran lagi? Ngga mesra-mesraan lagi? Iya?"

"Ya tetep atuh!" tukas Fajar cepat. "Enak aja, pacaran itu harus. Tapi ya lebih hati-hati aja, hehehe... Nanti insyaaAllah yak, kita umrah bareng kalau udah punya anak umur setahun. Biar sekalian, anak sulung paham tanah suci, gitu."

Hilma menarik dua pipi Fajar dengan dua tangannya. "Iya, iya, hiiih," katanya gemas, seiring dengan suara ceret air berdenging menandakan air yang dimasak sudah matang. "Matiin kompor dulu ya, Ayang Beb... Nanti lanjut lagi."

"Tar pijit-pijitan aja ya, hehe," kata Fajar begitu Hilma menurunkan kedua kakinya, menjejak lantai kamar mereka.

"Wah, pemijit profesional bayarnya mahal, Pak!" balas Hilma sembari berjalan ke pintu kamar mereka.

"Nih, kubayar pakai cinta. Fuh..."

Fajar melayangkan flying kiss ke arah istrinya yang hendak keluar kamar. Tertawa, Hilma mengikuti arah flying kiss yang ditiupkan suaminya tadi, menghadang laju flying kiss tersebut dengan daun pintu, kemudian berlagak menginjaknya ketika flying kiss tersebut seolah terjatuh setelah menubruk pintu.

"Yah, cinta dari bapak nubruk pintu tuh, tuh, jatoh kan?" Hilma tertawa-tawa melihat Fajar memberengut sebal.

Denging ceret air di dapur makin memekakkan telinga.

"Tuh dipanggil si ceret!" kata Fajar, pura-pura marah. "Awas ya kalau balik lagi nanti..." ucapnya.

Hilma merespons dengan dua tangan pada kedua pipinya, lantas mulutnya menganga dan matanya melotot. "Aauuw, tatuuut!" ledeknya lalu keluar kamar untuk mematikan api kompor.

Fajar tertawa melihat tingkah perempuan yang sejak dulu masuk dalam daftar doanya di sepertiga malam. Dia benar bersyukur mendapati takdir bahwa mereka belum dititipkan kepercayaan anak sampai saat ini. Baginya, diberi kepercayaan untuk menuntun Hilma masuk ke SurgaNya saja adalah hal yang luar biasa. Maka soalan punya anak cepat atau lebih cepat, maka biar Allah saja yang mengurusnya.

Bukankah tugas mereka hanya bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla?

[]

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 21, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FAJARHILMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang