Malam sudah larut menyelimuti seluruh Bukit Jagal dan sekitarnya. Bahkan Desa Tegalan yang terletak tidak jauh dari bukit itu, juga sudah terlelap dalam buaian mimpi. Kerlip lampu pelita di depan setiap rumah, terlihat bagaikan kunang-kunang dipermainkan angin. Tak ada seorang pun terlihat berada di luar rumahnya. Kesunyian begitu terasa menyelimuti seluruh desa yang terpencil ini.
Dan sementara di dalam sebuah kamar penginapan, terlihat Rangga dan Pandan Wangi masih duduk berdua di depan jendela yang dibiarkan terbuka lebar, membicarakan tentang Satria Seruling Emas yang tewas secara aneh. Mereka masih belum bisa memahami arti kata-kata terakhir yang diucapkan Satria Seruling Emas. Memang sulit dimengerti, sehingga masih menjadi suatu teka-teki yang sulit dipecahkan.
Dan tiba-tiba saja, kesunyian yang mencekam itu dipecahkan oleh terdengarnya jeritan yang begitu panjang melengking tinggi. Rangga dan Pandan Wangi yang belum bisa memejamkan mata di kamar penginapan, kontan jadi tersentak kaget. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat keluar dari kamar ini melalui jendela.
"Hup!"
Pandan Wangi tidak mau ketinggalan lagi. Bergegas tubuhnya melesat mengikuti Pendekar Rajawali Sakti sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya kedua pendekar muda itu melesat, sehingga sulit sekali melihat bayangan tubuhnya. Sebentar saja, mereka sudah jauh meninggalkan rumah penginapan di Desa Tegalan ini. Mereka terus berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh ke arah sumber jeritan yang tadi terdengar begitu jelas.
"Heh...?!"
Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, begitu melihat sesosok tubuh terkapar di pinggiran desa bagian timur. Langsung larinya dihentikan. Lalu dihampirinya sosok tubuh yang tergeletak berlumuran darah itu. Dan belum lagi Rangga bisa menjamah, Pandan Wangi sudah datang. Gadis itu juga terperanjat melihat ada seseorang tergeletak dengan dada terbelah lebar, berlumuran darah segar.
"Kakang! Bukankah dia salah seorang yang ada di kedai tadi pagi...?" desis Pandan Wangi seperti bertanya pada diri sendiri.
"Hm...," Rangga hanya menggumam saja sedikit.
"Ohhh...."
"Oh! Dia masih hidup, Kakang...!" sentak Pandan Wangi.
Rangga buru-buru menghampiri, dan mengangkat tubuh laki-laki tegap dan berotot itu. Ditopangnya tubuh tegap itu dengan sebelah kakinya yang ditekuk. Tampak bibir laki-laki bertubuh tinggi tegap itu bergerak-gerak seperti hendak mengatakan sesuatu. Dan Rangga segera mendekatkan telinganya.
"Mereka.... Penghuni Lembah Neraka...."
"Siapa mereka?" tanya Rangga cepat-cepat
"Mereka harus dicegah sebelum terlambat. Akh...!"
"Tunggu...."
Rangga langsung menghembuskan napas panjang karena belum sempat bertanya, melihat laki-laki yang tidak dikenalnya ini menghembuskan nafasnya yang terakhir. Perlahan diletakkannya tubuh yang sudah tak bernyawa itu ke tanah lagi, kemudian bangkit berdiri. Langsung pandangannya bertemu dengan tatapan mata Pandan Wangi. Dan untuk beberapa saat mereka jadi terdiam, hanya saling berpandangan saja.
"Kau dengar apa katanya tadi, Pandan...?"
"Ya."
"Aku merasa ada satu rahasia tersembunyi di desa ini, Pandan. Sudah dua orang tewas. Dan mereka menyebut Penghuni Lembah Neraka. Hm.... Harus dicegah sebelum terlambat. Apa maksudnya?" nada suara Rangga terdengar setengah menggumam, seperti bicara pada diri sendiri. Sedangkan Pandan Wangi hanya membisu saja. Tapi keningnya terlihat berkerut, pertanda tengah memikirkan sesuatu yang teramat sulit. Cukup lama juga kedua pendekar muda dari Karang Setra itu terdiam membisu.
"Ada yang datang, Pandan. Ayo, kita pergi dari sini," ujar Rangga cepat-cepat mengajak.
Telinga Pandan Wangi yang tajam, cepat menangkap adanya suara langkah-langkah kaki orang banyak menghampiri tempat ini. Dan ajakan Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa lagi dibantah. Segera kakinya terayun mengikuti Rangga yang sudah berjalan lebih dahulu. Ayunan langkah kakinya begitu cepat, disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi tingkatannya. Hingga sebentar saja, mereka sudah jauh meninggalkan tempat itu, dan lenyap tak terlihat lagi dalam kegelapan malam.
Tak berapa lama berselang, terlihat orang- orang berdatangan sambil membawa obor dan segala macam senjata tajam. Dari pakaian yang dikenakan, sudah dapat dipastikan kalau mereka adalah para penduduk Desa Tegalan ini.***
Kematian aneh seorang laki-laki yang kemudian dikenal bernama Ki Somali itu, menjadi perbincangan hangat di Desa Tegalan. Terlebih lagi, kematian Ki Somali yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Tangan Besi itu sangat mengerikan. Bukan hanya dadanya saja yang terbelah, tapi juga kedua tangannya hampir terbabat buntung. Sebelah kakinya juga sudah buntung, terpisah agak jauh dari tempat ditemukannya. Kematian yang sangat mengenaskan bagi seorang pendekar yang sudah ternama, seperti Pendekar Tangan Besi.
Sementara Rangga dan Pandan Wangi yang masih berada di penginapan, bukan membicarakan kematian Pendekar Tangan Besi. Mereka justru tengah diliputi segudang pertanyaan, mengenai kata-kata terakhir yang diucapkan kedua korban pembunuhan itu.
"Semua orang membicarakan kematian Pendekar Tangan Besi, Kakang," kata Pandan Wangi, seraya menghempaskan tubuhnya di kursi dekat jendela.
"Dari mana kau tahu kalau orang yang meninggal semalam itu Pendekar Tangan Besi, Pandan?" tanya Rangga.
Memang bukan hanya Rangga saja yang tidak tahu. Tapi, Pandan Wangi sebelumnya juga tidak tahu, siapa orang yang ditemukan tewas semalam. Dan baru tadi si Kipas Maut itu tahu, kalau orang yang ditemukan tergeletak di jalan tidak jauh dari perbatasan sebelah timur desa itu, adalah Pendekar Tangan Besi. Tentu saja hal ini membuat Rangga jadi heran.
"Ki Carmat," sahut Pandan Wangi singkat.
"Siapa itu Ki Carmat?" tanya Rangga lagi.
"Kepala Desa Tegalan ini. Dan dia juga berjuluk Pendekar Tongkat Hitam," sahut Pandan Wangi kalem.
"Kau menemuinya?" tanya Rangga lagi.
"Aku tidak bicara langsung. Dan hanya mendengar saja dari pembicaraan orang-orang. Katanya, Ki Carmat mengenali orang itu, dan memang sudah terjalin hubungan persahabatan di antara mereka," jelas Pandan Wangi singkat.
"Persahabatan. Hm...."
Pandan Wangi terdiam membisu. Pandangan matanya tidak terlepas dari wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti yang duduk tidak seberapa jauh di depannya. Dan untuk beberapa saat, mereka terdiam sambil sesekali saling melemparkan pandangan.
"Kakang, ada yang ingin kukatakan padamu," Pandan Wangi memecah kebisuan yang terjadi di dalam kamar ini.
"Katakan saja, Pandan. Tentang apa...?" sambut Rangga lembut.
"Kemarin ketika mengejarmu, aku sempat bertarung," kata Pandan Wangi, jadi teringat peristiwa pertarungannya kemarin.
"Dengan siapa...?" tanya Rangga agak terkejut.
Dan memang, Pandan Wangi baru sempat menceritakannya sekarang. Tentu saja hal itu membuat Rangga jadi terperanjat. Padahal, semalaman penuh mereka selalu bersama-sama, tapi sama sekali Pandan Wangi tidak menceritakannya. Lalu secara singkat, Pandan Wangi menceritakan asal mula kejadiannya. Sementara Rangga mendengarkan penuh perhatian tanpa sedikit pun menyelak, sampai Pandan Wangi menyelesaikan ceritanya. Dan Pendekar Rajawali Sakti belum juga membuka mulut, ketika Pandan Wangi sendiri sudah tidak bersuara lagi.
"Pandan! Kau kenal salah seorang dari mereka?" tanya Rangga setelah cukup lama membisu.
Pandan Wangi hanya menggelengkan kepala saja. Memang, dia tidak kenal satu orang pun yang menyerangnya, maupun perempuan tua yang menghentikan pertarungannya. Tapi dari apa yang diketahui, disebutkannya ciri-ciri orang itu tanpa menunggu permintaan Rangga terlebih dahulu. Kembali Pendekar Rajawali Sakti mendengarkan penuh perhatian.
Dan kini kening pemuda berbaju rompi putih itu jadi berkerut saat Pandan Wangi mengatakan tentang perempuan tua yang tiba-tiba saja datang dan menghentikan pertarungannya. Lalu, gadis itu langsung saja menghentikan ceritanya. Pandangannya begitu dalam, menatap langsung ke wajah Rangga. Terlihat jelas kalau Pendekar Rajawali Sakti seperti sedang berpikir keras, atau mungkin juga sedang mengingat-ingat sesuatu. Yang pasti, ada hubungannya dengan kejadian yang dialami Pandan Wangi.
Kembali mereka berdua terdiam. Cukup lama juga tidak terdengar suara sedikit pun. Dan kesunyian itu dipecahkan oleh terdengarnya hembusan napas Rangga yang begitu berat dan panjang. Kelopak mata Pandan Wangi semakin terlihat menyipit, memandangi wajah Pendekar Rajawali Sakti. Dia yakin, Rangga sedang berusaha mengingat sesuatu.
"Coba ingat-ingat dulu, bagaimana ciri-ciri perempuan tua yang menghentikan pertarunganmu, Pandan," pinta Rangga, setelah cukup lama membisu.
"Usianya sekitar tujuh puluh tahun, atau mungkin juga sudah lebih. Bajunya jubah panjang warna hijau gelap, dan membawa sebatang tongkat seperti terbuat dari kayu hitam. Ada semacam batu permata pada bagian kepala tongkatnya. Dan...."
"Nyai Balung Wungkul...," desis Rangga tanpa sadar, membuat Pandan Wangi berhenti seketika.
"Tepat, Kakang...!" sentak Pandan Wangi agak keras suaranya. "Laki-laki yang bernama Suro Gading, memang menyebut namanya begitu. Maaf, aku terlupa."
"Hm.... Kau tahu siapa dia, Pandan?" tanya Rangga.
Pandan Wangi hanya menggelengkan kepala saja. Bahkan semakin dalam memandangi wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Namun yang dipandangi malah mengarahkan tatapan matanya ke luar jendela.
"Kau pasti pernah mendengar julukan Iblis Tongkat Permata...," ujar Rangga terdengar pelan sekali suaranya.
"Iblis Tongkat Permata.... Hm.... Pernah juga aku mendengarnya, Kakang."
"Wanita tua itulah yang berjuluk si Iblis Tongkat Permata."
"Siapa...?!" Pandan Wangi jadi terkejut setengah mati, begitu mengetahui kalau perempuan tua yang memisahkan pertarungannya ternyata Iblis Tongkat Permata.
Seorang wanita yang sudah amat ternama di kalangan rimba persilatan. Tingkat kepandaian yang dimiliki sangat tinggi. Tapi sayangnya, dia berada pada jalan salah, hingga para pendekar tidak ada yang menyukainya. Pandan Wangi benar-benar terkejut, karena sama sekali tidak mengenalinya. Sungguh tidak diketahuinya kalau wanita itu adalah si Iblis Tongkat Permata yang julukannya sudah sering terdengar. Dan memang, antara mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Jadi, tidak heran kalau Pandan Wangi tidak mengenali.***
Malam sudah turun menyelimuti seluruh permukaan Desa Tegalan. Pandan Wangi dan Rangga masih belum juga bisa memejamkan mata. Terlebih lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Entah kenapa, perasaannya jadi gelisah sendiri, seperti ada sesuatu yang akan terjadi pada dirinya.
Kegelisahan Pendekar Rajawali Sakti tentu saja mendapat perhatian yang penuh dari Pandan Wangi. Tapi si Kipas Maut itu tidak berani menegur, kecuali dia hanya memandangi saja dengan kepala dipenuhi segudang pertanyaan yang tentu saja tidak akan terjawab saat ini.
"Hhh...! Panas sekali udara malam ini," keluh Rangga sambil menghembuskan napas panjang-panjang.
"Aku malah merasa sebaliknya, Kakang," ujar Pandan Wangi.
Dan memang, Pandan Wangi merasakan kalau malam ini begitu dingin sekali. Terlebih lagi, kabut begitu tebal menyelimuti seluruh permukaan Desa Tegalan. Tapi sungguh mengherankan melihat keadaan Rangga. Pemuda itu tampak berkeringat seluruh tubuhnya. Dan seakan-akan, memang merasakan kalau udara malam ini begitu panas membakar tubuh.
"Kakang...," terdengar hati-hati sekali nada suara Pandan Wangi.
"Hm...."
"Kau kelihatan gelisah sekali. Ada apa...?" tanya Pandan Wangi agak ragu-ragu.
"Entahlah...," desah Rangga, panjang.
"Ada yang mengganggu pikiranmu, Kakang?"
"Aku tidak tahu, Pandan. Tapi, rasanya...."
Belum lagi kata-kata yang diucapkan Rangga selesai, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti menghentikannya. Dan kepalanya langsung terdongak ke atas, menatap langit-langit kamar penginapan ini. Saat itu juga, Pandan Wangi mendengar adanya suara yang sangat halus, tepat di atas atap kamar penginapan ini. Tapi, suara itu hanya terdengar sesaat saja, karena kemudian menghilang.
Dengan tangannya, Rangga memberi isyarat agar Pandan Wangi tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya. Dan gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut ini hanya mengangguk saja.
Sementara, perlahan-lahan Rangga mulai menggeser kakinya mendekati jendela. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga seakan-akan kedua telapak kakinya tidak menginjak lantai kamar ini. Bahkan tidak terdengar suara sedikit pun dari gerakan kakinya. Sebentar saja, Rangga sudah berada di dekat jendela. Dan baru saja hendak melompat ke luar, mendadak....
Slap!
"Heh...?! Ups!"
Jleb!
Rangga langsung menarik cepat tubuhnya ke kanan, tepat ketika sebuah benda bercahaya keperakan melesat cepat bagai kilat, menembus jendela kamar penginapan yang terbuka lebar itu. Sedikit sekali benda itu lewat di depan dada Pendekar Rajawali Sakti, dan langsung menancap di tiang yang ada di tengah-tengah ruangan kamar ini.
"Hup!"
Pandan Wangi langsung melompat mendekati tiang. Dengan sedikit mengerahkan tenaga dalam, dicabutnya benda itu dari tiang penyangga kamar ini. Lalu, bergegas dihampirinya Rangga yang sudah berdiri di depan jendela.
"Bintang perak, Kakang," kata Pandan Wangi memberi tahu, sambil menyodorkan benda keperakan itu.
Rangga hanya melirik saja sedikit. Memang, di atas telapak tangan kanan Pandan Wangi terdapat sebuah benda berbentuk bintang dari perak yang berkilatan.
"Kau di sini saja, Pandan. Aku tidak lama," kata Rangga pelan.
"Mau ke mana kau, Kakang....?"
Slap!
Belum lagi pertanyaan Pandan Wangi selesai, Rangga sudah melesat keluar melalui jendela dengan kecepatan bagai kilat. Dalam sekejapan mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan. Sedangkan Pandan Wangi hanya berdiri tegak di depan jendela, memandang lurus ke luar menembus kegelapan malam yang berselimut kabut cukup tebal. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar sudah tidak terlihat lagi. Entah ke arah mana perginya.
"Hm..., siapa yang melemparkan benda ini...?" gumam Pandan Wangi, bertanya pada diri sendiri. Diamatinya bintang perak yang masih berada di atas telapak tangannya. Sementara, malam terus merayap semakin larut. Perlahan gadis itu memutar tubuhnya berbalik. Tapi pada saat itu juga....
"Heh...?!" Kedua bola mata Pandan Wangi jadi terbeliak lebar. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di dalam kamar ini sudah berdiri seseorang berbaju serba hitam dengan wajah tertutup topeng kayu berbentuk tengkorak. Seluruh kepalanya terselubung kain hitam. Dia berdiri tegak membelakangi pintu. Tampak sebilah pedang tergantung di pinggangnya.
"Siapa kau?! Mau apa kau datang ke sini...?!" tanya Pandan Wangi langsung, begitu keterkejutannya hilang.
"Aku diutus untuk menjemputmu, Pandan Wangi," sahut orang itu datar.
Suaranya yang besar, jelas sekali terdengar dibuat-buat. Seakan-akan, suaranya yang asli ingin disembunyikannya. Tapi Pandan Wangi sudah bisa menebak kalau orang yang ada di balik topeng kayu tengkorak itu seorang wanita.
"Siapa yang mengutusmu?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Sayang, aku tidak bisa memberitahukannya. Kau akan tahu sendiri nanti di sana."
"Hmmm...," Pandan Wangi menggumam panjang, sambil memperhatikan orang bertopeng kayu tengkorak di depannya dengan sinar mata tajam.
"Ayolah, Pandan Wangi. Waktuku tidak lama."
"Maaf. Aku terpaksa menolak, karena harus menunggu Kakang Rangga dulu," tegas Pandan Wangi.
"Jangan memaksaku untuk bertindak tegas, Pandan Wangi. Aku tidak suka cara-cara paksaan."
"Heh...?!" Pandan Wangi jadi terkejut. Jelas sekali, kata-kata orang itu bernada mengancam.
"Kau tentu mengerti maksudku, Pandan Wangi. Sebaiknya, jangan berbuat sesuatu yang bisa merugikan dirimu sendiri," ancam orang bertopeng tengkorak kayu itu lagi.
"Maaf. Aku tetap tidak bisa ikut denganmu," tegas Pandan Wangi.
"Kalau begitu, aku terpaksa harus memaksamu. Hup...!"
Wusss!
"Haiiit...!"***
KAMU SEDANG MEMBACA
96. Pendekar Rajawali Sakti : Penghuni Lembah Neraka
ActionSerial ke 96. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.