BAGIAN 2

482 19 0
                                    

"Suara suitan itu kukenal betul!" seru Kebo Koneng sambil menoleh ke arah Supit Gadar.
"Celaka! itu suara Eyang Guru. Kita harus menemuinya segera!" sahut Supit Gadar.
"Astaga! Ayo, Supit Gadar! Mari cepat kita tinggalkan mereka!" timpal Kebo Koneng. Laki-laki berkepala botak itu segera melesat meninggalkan Pandan Wangi yang jadi bingung tak mengerti.
Sementara Supit Gadar langsung menyusul. Dan mereka kini bergerak cepat, lalu menghilang di balik bukit kecil yang tak jauh dari situ.
Pandan Wangi dan Panglima Sura Darma hanya terpaku menatap kedua orang aneh itu tanpa berkata apa-apa lagi. Pandan Wangi sendiri akhirnya dikejut-kan langkah kaki Panglima Sura Darma yang mendatanginya sambil memberi hormat.
"Nisanak, terima kasih atas pertolongan yang kau berikan. Namaku Sura Darma, panglima dari Kerajaan Pandarakan."
"Hm.... Aku Pandan Wangi...."
"Apakah Nisanak yang berjuluk si Kipas Maut?"
"Begitulah orang-orang memanggilku..."
"Ah! Sungguh aku beruntung bisa berkenalan dengan seorang pendekar hebat seperti Nisanak."
Pandan Wangi hanya tersenyum kecil. "Ah..., tak perlu membesar-besarkan. Aku ini hanya orang kebanyakan saja. Paman Panglima, apa yang telah terjadi sehingga kau bentrok dengan kedua orang tadi?" tanya Pandan Wangi. Sebenarnya, Pandan Wangi sudah tahu kalau dua orang tadi adalah buronan. Namun, dia sengaja bertanya begitu agar dikira baru saja datang.
"Mereka adalah buronan yang telah menjebol penjara...."
"Buronan? Hm, kulihat mereka memiliki kepandaian tinggi. Apakah Paman Panglima tak meminta bantuan dari panglima lain?"
"Sudah. Namun para panglima lain sedang sibuk memadamkan pemberontakan. Sedangkan sisanya ada yang memimpin perang melawan kerajaan dari timur. Dan lagi, mereka tak punya tenaga yang cakap dan terampil untuk menangkap kedua buronan itu...," sahut Panglima Sura Darma.
Apa yang dikatakan panglima itu sebenarnya sedikit banyak diketahui Pandan Wangi. Tapi benarkah begitu sibuknya mereka, sehingga terpaksa mengirimkan Panglima Sura Darma untuk menangkap kedua orang buronan itu?
Tentu saja hal itu menjadi ganjalan dalam benak Pandan Wangi. Dan si Kipas Maut yang telah lama tinggal di Karang Setra, tentu sedikit banyak mengerti siasat perang serta kepemerintahan. Menceritakan keadaan gawat dalam suatu kerajaan, seperti yang diceritakan Panglima Sura Darma, sebenarnya amat tabu diutarakan pada orang luar. Apalagi orang yang baru dikenal seperti diri Pandan Wangi. Lalu kenapa Panglima Sura Darma berani memberikan alasan demikian padanya? Apakah salah bicara dan sekadar ngawur! Ataukah, terlalu percaya pada Pandan Wangi karena telah menolongnya barusan?
"Hm, begitu...," sahut Pandan Wangi.
"Nisanak, kami sangat mengagumi kepandaian serta sepak terjangmu selama ini. Sebenarnya adalah suatu hal yang tak pantas kalau kami meminta pertolongan kepadamu. Tapi, kedua buronan itu adalah pengacau. Mereka sering mengganggu ketenteraman penduduk. Dan sebagai seorang pendekar, sudikah kau menolong kami atas nama kebenaran dan ketenteraman rakyat yang tak berdaya...?" pinta Panglima Sura Darma lirih.
Pandan Wangi tersenyum kecil sambil mengalihkan pandangan. "Aku tak berjanji. Masalahnya, aku sendiri ada sesuatu yang harus dikerjakan."
"Apakah itu, Nisanak? Mungkin kami bisa membantu."
"Tidak. Ini soal pribadi. Aku telah membuat perjanjian dengan seorang kawan untuk bertemu di Desa Palung Rimbun dalam waktu dekat ini. Hm..., kalau aku menyalahi janji yang kusetujui...." Pandan Wangi tak meneruskan kata-katanya. Sebaliknya, matanya malah menatap ke arah Panglima Sura Darma.
"Ya, aku mengerti..," sahut Panglima Sura Darma pelan.
Keduanya terdiam untuk beberapa saat.
"Mereka mendadak pergi karena sesuatu. Kira-kira tahukah Nisanak, apa yang menyebabkan mereka meninggalkan kita...?" tanya Panglima Sura Darma, kembali membuka pembicaraan.
"Entahlah. Ada suitan panjang yang menyebabkan mereka meninggalkan kita...."
"Aku pernah mendengar kalau kedua orang itu memiliki guru yang berkepandaian tinggi. Bahkan kejahatannya melebihi mereka. Kalau tak salah, namanya Nini Dawuk. Perempuan tua itu tak berperasaan dan kejam. Juga mempunyai kebiasaan aneh, yaitu suka menculik pemuda tampan untuk dijadikan pemuas nafsu iblisnya..."
"Hm, lalu?" Pandan Wangi sedikit tertarik mendengar penuturan Panglima Sura Darma.
"Kedua buronan itu kemungkinan besar bergabung dengan gurunya seperti dulu. Mereka akan membuat keonaran. Dan... semua orang menjadi resah kini."
Pandan Wangi tergugah hatinya mendengar cerita itu. Apalagi ketika Panglima Sura Darma kembali menambahkan sederetan cerita kekacauan sebelumnya, yang dilakukan guru dan kedua muridnya. Kini hatinya mulai bimbang. Sebenarnya kalau mau jujur, sejak tadi hati Pandan Wangi sudah tergerak dan berniat membantu mereka menangkap kembali kedua buronan itu. Tapi bagaimana janjinya dengan Rangga?
Bagaimana kalau Pendekar Rajawali Sakti telah tiba di desa itu dan menunggunya. Padahal, entah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menangkap kembali kedua buronan itu. Rangga pasti kesal dan marah. Itu tak seberapa. Bagaimana kalau dia kesal dan akhirnya pergi mengembara sendiri?
"Paman Panglima, bisakah kau menambah jumlah prajurit dalam penangkapan nanti terhadap mereka?"
"Bisa! Oh! Apakah kau bersedia membantu kami?" tanya Panglima Sura Darma. Pandan Wangi mengangguk.
"Oh! Terima kasih atas kesediaanmu, Nisanak!"
"Sudahlah. Tapi, tolong perintahkan seorang prajuritmu untuk menunggu kedatangan temanku di Desa Palung Rimbun."
"Tentu saja."
Setelah menceritakan ciri-ciri Rangga, mereka pun kembali bergerak. Seorang prajurit menuju ke Desa Palung Rimbun, dan dua orang lagi ke istana untuk meminta bantuan tenaga.

100. Pendekar Rajawali Sakti : Kemelut Hutan DandakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang