BAGIAN 3

404 18 0
                                    

Seorang penunggang kuda hitam melambatkan lari kudanya ketika telah memasuki mulut Desa Palung Rimbun. Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan dan berbaju rompi putih. Di balik punggungnya tampak menyembul sebuah gagang pedang berbentuk kepala burung. Pemuda itu terus menjalankan lambat-lambat kudanya, setelah memasuki desa ini.
Suasana Desa Palung Rimbun tampak sepi. Padahal, hari telah siang. Bisa jadi karena di tempat itu segala macam kegiatan perdagangan tak begitu ramai. Itu juga disebabkan jarak antara satu rumah dengan rumah lain agak berjauhan. Dari sini bisa tercermin kalau penduduk desa itu masih tergolong sedikit. Dan melihat banyaknya sawah di desa itu, bisa diduga kalau mata pencaharian penduduknya adalah bertani. Dan siang terik begini, bisa jadi mereka masih berkutat dengan lumpur. Atau sedang beristirahat di dangau-dangau sambil menikmati santap siang.
Tapi ternyata di depan sana ada juga seseorang yang tengah mengerjakan sawahnya. Dan kebetulan pemuda itu akan melintasinya. Pemuda itu terus menjalankan kudanya, hampir melintasi petani di depannya. Begitu dekat, kepalanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Petani itu juga mengangguk, seraya membuka tudung kepalanya. Langsung dia memberi hormat pada pemuda itu.
"Kisanak yang bernama Rangga...?" tanya petani itu setelah memberi hormat
"Hei? Dari mana kau tahu namaku?" tanya pemuda tampan itu yang tak lain Rangga, agak heran.
"Aku sebenarnya salah seorang prajurit di negeri ini. Dan aku mendapat pesan dari seseorang untuk menunggu Kisanak di sini "
"Siapa yang menyuruhmu?"
"Panglima Sura Darma. Dan itu atas keinginan kawan Kisanak yang bernama Pandan Wangi... "
"Heh?! Pandan Wangi? Di mana dia sekarang?"
Utusan itu kemudian menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada Rangga. Dan pemuda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu mengangguk-angguk tanda mengerti
"Lalu, kenapa kau berpakaian seperti petani?"
"Hanya menjaga agar tak terlalu menyolok di mata penduduk. Lagi pula dengan berpakaian seperti ini, aku bebas bergerak..."
Rangga kembali mengangguk. Tapi pikirannya tak bergeming dari persoalan Pandan Wangi. Gadis itu terlalu ceroboh bertindak! Atau, barangkali benar seperti apa yang dikatakan prajurit ini, bahwa semua itu tak lepas dari permintaan Panglima Sura Darma agar Pandan Wangi mau membantunya?
"Apakah Kisanak bermaksud menyusulnya ke sana?" tanya prajurit itu
"Tentu saja. Kau tahu tempat mereka, bukan?"
Prajurit itu mengangguk cepat.
"Hm.... Kalau begitu, kita jangan membuang waktu lagi. Naiklah di belakangku, dan tunjukkan padaku di mana mereka berada."
"Baiklah...!" sahut prajurit itu. Prajurit itu lalu melompat ke belakang Rangga yang berada di alas kuda bernama Dewa Bayu. Dan mereka langsung melaju cepat Rangga memang mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya. Sebab menurut apa yang diceritakan prajurit ini, kedua tokoh yang dikejar itu memiliki kepandaian tinggi. Meskipun mendapatkan tambahan pasukan dari kerajaan, rasanya Pendekar Rajawali Sakti tetap tak yakin kalau mereka bisa mengatasi kedua buronan itu. Tak heran bila Dewa Bayu dipacu kuat-kuat sehingga melesat kencang bagai dikejar setan. Namun belum lama Rangga menggebah kudanya. Tiba tiba...
"Hiyaaat...!"
Plarrr!
"Yeaaah...!"
Dua bayangan mendadak melesat menyerang, setelah melepaskan pukulan jarak jauh yang menimbulkan gemuruh kecil serta desir angin kencang. Melihat hal ini, Rangga cepat melompat dari punggung kudanya, lalu mendarat manis di tanah.
"Kisanak! Kau pegang tali kendali ini kuat-kuat! Kudaku akan menurut padamu!" teriak Rangga.
"Kisanak! Kau mau ke mana...?"
Pertanyaan prajurit itu tak sempat terjawab, karena Rangga telah melesat cepat menghadang lawan-lawannya yang terus melesat ke arahnya. Sementara, prajurit itu terus mengendalikan Dewa Bayu, berhenti pada jarak sekitar lima tombak dari tempat Rangga yang kini sudah bertarung.
Pendekar Rajawali Sakti tampak tengah sibuk mempertahankan diri dari serangan-serangan gencar yang dilakukan kedua penghadangnya. Namun sedikit pun tak terlihat kalau Rangga kewalahan. Tubuhnya begitu lincah, bergerak ke sana kemari menghindari serangan-serangan. Dan tiba-tiba, tubuh Rangga melompat ke atas dan berputar beberapa kali menjauhi lawan-lawannya. Kemudian tubuhnya meluncur turun dan mendarat mantap sekali di tanah. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga tak terdengar suara saat kakinya mendarat. Langsung ditatapnya tajam-tajam dua orang penghadangnya dalam jarak tiga tombak lebih di depannya.
"Siapa kalian?! Dan, apa maksud kalian menyerang kami dengan tiba-tiba?!" tanya Rangga dengan nada tak senang.
Di depan Pendekar Rajawali Sakti kini berdiri tegak dua orang laki-laki yang berbeda usia. Yang seorang berusia sekitar lima puruh lahun lebih. Wajahnya berjenggot panjang. Tubuhnya agak sedikit gemuk dan di tangannya menggenggam senjata arit. Sedangkan yang berusia lebih muda, sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi, namun berukuran sedang. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat pendek. Kini keduanya juga menatap tajam ke arah Rangga dengan wajah sinis.
"Phuih! Antek-antek kerajaan! Kalian harus mampus di tangan kami!" dengus laki-laki yang lebih tua sengit.
"Hm.... Apa maksudmu dengan antek-antek kerajaan?" tanya Rangga bingung.
Kedua orang itu kemudian memandang ke arah prajurit yang masih berada di atas kuda. Memperhatikan mereka sejak tadi.
"Meski dia berpakaian lusuh begitu, jangan harap bisa mengelabui kami!" desis orang tua itu geram, sambil menunjuk si prajurit.
"Kisanak! Kami sedang terburu-buru. Dan aku sama sekali tidak tahu, apa yang kalian inginkan. Kalau memang tak ada urusan yang lebih penting, harap kalian sudi memberi jalan," sahut Rangga masih bernada sopan dan tak bermaksud meladeni keinginan mereka.
"Hm. Kalian telah berada di sini, dan jangan harap bisa pergi begitu saja!" sahut orang yang lebih muda.
"Apa maksudmu...?"
"Kalian harus mampus!"
Rangga berusaha menahan sabar mendengar kata-kata yang diucapkan kedua penghadangnya. Namun kedua orang itu agaknya tak mau mendengar penjelasannya. Bahkan sama sekali tak peduli dengan niat baiknya untuk menyelesaikan persoalan secara damai. Melihat keadaan itu, Rangga tersenyum sambil memandang ke arah si prajurit. Lalu, Rangga segera bersuit nyaring. Maka, Dewa Bayu yang seperti mengerti arti siulan itu langsung meringkik dan melesat cepat sehingga nyaris melemparkan prajurit yang masih di atas punggungnya. Untung saja dia sempat berpegangan kuat-kuat
"Huh! Jangan dikira dia bisa kabur begitu saja!" desis orang tua itu. Langsung dia melompat hendak mencegah lari Dewa Bayu. Namun sigap sekali Rangga menghalangi dengan gerakan tak kalah cepat.
"Orang tua! Bukankah kau ingin berurusan denganku? Nah, biarkan dia pergi!"
"Kurang ajar! Hih...!"
Orang tua itu langsung menyerang Rangga dengan sebuah pukulan pendek. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti cepat bergerak menghindar ke kiri. Namun, orang tua itu seperti tidak memberi kesempatan. Dia terus merangsek Pendekar Rajawali Sakti dengan serangan-serangan dahsyat dan mematikan.
Tapi seperti biasanya, Rangga langsung bisa menghindari dengan pengerahan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Akibatnya, orang tua itu semakin geram, karena tak ada satu pun serangannya yang mendarat di tubuh lawan. Sungguh tidak disangka kalau lawan mampu bergerak secepat itu. Meskipun senjata aritnya berkelebat cepat dan bermaksud melukai lawan, tapi hal itu hanya sia-sia belaka.
Bahkan pada satu kesempatan, Rangga melepaskan serangan balik begitu orang tua itu baru saja mengkelebatkan aritnya. Begitu tiba-tiba datangnya, sehingga orang tua itu tak bisa menghindari kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti yang demikian cepat. Maka....
Bugkh!
"Hugkh...!"
Orang tua itu kontan terjajar beberapa langkah ke belakang sambil mengeluh pendek. Padahal, kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti tidak disertai pengerahan tenaga dalam. Hanya saja, memang cukup keras.
Tentu saja hal itu tak bisa didiamkan kawannya. Dia segera bertindak membantu. Namun sebelum terjadi, Rangga telah melesat cepat meninggalkan mereka dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai kesempurnaan. Dan kedua orang itu hanya bisa saling berpandangan dengan wajah kesal.

***

Pasukan yang dipimpin Panglima Sura Darma telah memasuki suatu wilayah yang diperkirakan sebagai sarang kedua buronan yang bernama Supit Gadar dan Kebo Koneng. Mereka kini memang berada di pinggir hutan yang lebat dan jarang didatangi manusia. Konon, tempat itu dipercaya sebagai sarang makhluk halus yang sering mengganggu manusia. Bahkan bukan hanya itu. Setiap orang yang lewat, jarang ada yang bisa kembali.
Namun, Panglima Sura Darma mana bisa mempercayai kabar kosong itu begitu saja. Sebagai seorang prajurit sejati, tugasnya harus dijalankan dengan baik dan tuntas. Dan dari apa yang pernah diketahuinya. di dalam hutan inilah kedua orang buronan itu diperkirakan berada. Sebab, guru mereka yang bernama Nini Dawuk memang tinggal di situ.
Dan Panglima Sura Darma memang telah menambah kekuatan pasukannya. Makanya, dia bertekad untuk meringkus dua buronan kerajaan itu. Prajurit yang diperintah untuk memanggil pasukan kerajaan memang telah kembali bersama sekitar tiga puluh orang. Dan mereka langsung bergabung dengan Panglima Sura Darma.
"Semua siap! Kita telah memasuki kawasan Hutan Dandaka!" teriak Panglima Sura Darma memperingatkan anak buahnya.
Mereka segera menggenggam erat senjatanya masing-masing sambil menajamkan penglihatan dan pendengaran. Suasana seketika menjadi sepi. Hanya derap langkah kaki kuda saja yang menyapu padang rumput di bawahnya.
"Apakah Paman Panglima yakin kalau mereka bersembunyi di tempat ini?" tanya Pandan Wangi halus.
"Mereka tak akan pergi jauh dari sisi gurunya," sahut Panglima Sura Darma setengah ragu.
"Dua orang murid yang setia tentunya..." Panglima Sura Darma hanya tersenyum pahit.
"Sebaiknya pasukan dibagi dua, Paman. Kalau boleh biar kupimpin sebagian ..." lanjut Pandan Wangi menawarkan diri.
Panglima Sura Darma memandangnya heran. Tapi, Pandan Wangi tetap berusaha meyakinkan.
"Percayalah, aku pernah melakukan hal ini sebelumnya. Tapi kalau memang Paman tak percaya, tak apa..."
"Bukan begitu. Tapi, bukankah kalau membagi dua pasukan berarti akan mengurangi kekuatan kita?"
"Bukankah mereka hanya berdua? Dan mungkin bertiga, bila guru mereka muncul. Mereka bukan pasukan besar. Jadi, kusarankan agar para prajuritmu tak kacau-balau nantinya."
Panglima Sura Darma berpikir sesaat, sebelum menyetujui usul Pandan Wangi. Namun baru saja mereka membagi dua kelompok pasukan, tiba-tiba terdengar suara tawa nyaring yang menyelimuti sekitar tempat itu.
"Hi hi hi..! Sungguh tak disangka, anjing berani mendatangi penggebuk!"
"Ha ha ha..! Hei, Sura Darma! berani mati kau datang ke Hutan Dandaka ini, he?!"
Bersamaan dengan suara itu, melesat dua sosok tubuh. Dan tahu-tahu di hadapan mereka telah berdiri dua laki-laki bertampang seram. Seketika semua pasukan segera bersiaga dan menghentikan langkah. Panglima Sura Darma dan Pandan Wangi hanya memandang tajam kepada dua sosok tubuh yang telah mereka kenal itu.
"Kebo Koneng dan Supit Gadar! Menyerahlah secara baik-baik. Dan jangan paksa kami untuk bertindak keras untuk menangkap kalian!" bentak Panglima Sura Darma.
"Apa? Menyerah?! Ha ha ha....! Kau ini tolol sekali, Sura Darma. Tidakkah kau tahu, sedang berada di mana saat ini? Hei! Seharusnya kaulah yang menyerah, dan gorok lehermu sendiri!" sahut Supit Gadar sambil tertawa mengejek.
"Sura Darma! Tahu dirilah sedikit! Kalau kemarin, kami masih memberi kesempatan padamu untuk tidak mengganggu kami lagi. Tapi, kau memang keras kepala. Dan hari ini, jangan harap kami akan mengampuni lagi. Kau dan anak buahmu akan mampus!" timpal Kebo Koneng geram.
"Kisanak berdua! Kalian adalah buronan kerajaan. Menyerahlah secara baik-baik, atau aku akan meringkus kalian saat ini juga!" gertak Pandan Wangi dengan suara nyaring
"Ha ha ha! Bocah ayu, kau membuatku gemas saja. Bicaramu lancang sekali. Kalau tadi aku berniat memenggal kepalamu, maka biarlah kutunda barang sesaat, agar kita bisa bermain sejenak berdua saja. Wajahmu yang cantik itu, sayang sekali bila harus dilukai tanganku!" sahut Supit Gadar menganggap remeh.
"Kurang ajar! Huh! Kau pikir dirimu sudah hebat karena telah membunuh banyak prajurit kerajaan?! Terimalah bagianmu hari ini!" bentak Pandan Wangi. seraya memberi perintah pada para prajurit untuk menyerang Supit Gadar.
"Yeaaah...!"
"Ringkus orang itu hidup atau mati!" teriak Panglima Sura Darma memberi perintah pada prajuritnya untuk meringkus Kebo Koneng.
Panglima Sura Darma dan Pandan Wangi tahu kalau lawan-lawannya memiliki kemampuan tinggi dan sulit ditaklukkan. Tapi mereka telah menemukan akal untuk mengatasi. Pada saat prajurit-prajurit kerajaan mengeroyok mereka, maka di saat itulah masing-masing mendesak Supit Gadar dan Kebo Koneng dengan serangan serangan hebat.
Supit Gadar dan Kebo Koneng memang memiliki kepandaian tinggi. Namun menghadapi tekanan sedemikian rupa. agaknya mereka kewalahan juga. Ruang gerak mereka terbatas, dan tak sedikit pun kesempatan untuk balas menyerang. Mereka terpaksa jungkir balik untuk menyelamatkan selembar nyawa.
"Bangsat! Huh! Kalian akan menerima balasannya!"
"Jangan banyak bicara kau! Yeaaah...!" bentak Pandan Wangi sambil mengayunkan kipasnya ke arah leher Supit Gadar.
"Uts! Yeaaah...!"

***

100. Pendekar Rajawali Sakti : Kemelut Hutan DandakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang