BAGIAN 5

387 18 0
                                    

Sebuah gerobak pedati yang ditarik seekor kuda terlihat berlari kcncang seperti dikejar sesuatu. Kusirnya seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Kepalanya botak dan dipenuhi kudis. Tubuhnya kekar dan bertelanjang dada. Pada wajahnya tampak dipenuhi cambang bauk. Tak salah lagi. Dialah Kebo Koneng, murid Nini Dawuk yang sedang mendapat tugas edan dari gurunya.
Sementara di dalam pedati bergeletakan dua sosok pemuda dalam keadaan tidak berdaya. Tubuh mereka kekar dan berwajah tampan. Sedangkan wajah Kebo Koneng tampak gelisah penuh kekesalan. Sambil menengadah menatap langit, sesekali mulutnya mendesah kesal. Waktunya tidak lama lagi. Sementara dia baru mendapatkan dua pemuda. Padahal gurunya meminta lima orang pemuda. Dan kalau kembali tanpa memenuhi syarat itu, jangan harap mendapat ampunan dari gurunya. Bahkan bisa jadi nyawanya malah terancam.
Tak berapa lama kemudian, Kebo Koneng memasuki sebuah mulut desa. Seketika laju pedatinya dihentikan dan diamankannya di tempat yang tersembunyi agar tidak diketahui orang lain. Kemudian, dia berjalan kaki memasuki desa itu, menyusuri sebuah sungai kering.
Namun belum jauh berjalan, tampak terlihat seorang laki-laki cebol berjanggut panjang berwarna putih, dengan tenangnya duduk memancing di tepi sungai. Kebo Koneng melirik sekilas. Tampak orang tua itu meletakkan umpannya di genangan air yang dangkal sekali. Bahkan dasar airnya pun terlihat Kebo Koneng jadi geli sendiri, menganggap orang tua cebol itu tidak waras pikirannya.
"Ssst... Awas, jangan mendekat dulu. Umpanku mengena!" seru laki-laki tua bertubuh cebol itu sambil meletakkan telunjuk ke bibir.
Dahi Kebo Koneng jad berkerut. Masalahnya, laki-laki cebol itu sama sekali tidak menoleh kepadanya. Lagi pula, sedikit pun tidak terlihat kalau umpannya sedang dimakan ikan. Tak lama kemudian, Kebo Koneng berjalan hati-hati.
"Sial! Dasar tuli...!" maki laki-laki cebol itu.
Kebo Koneng tersentak. Makian orang tua itu pasti ditujukan padanya, karena tidak ada orang lain lagi selain dirinya.
"He, Orang Tua! Siapa yang kau maki...?!" bentak Kebo Koneng gusar.
"Setan! Betul-betul tuli orang ini. Disuruh diam, malah tambah ribut!" dengus si cebol, tetap tanpa menoleh sedikit pun. Wajahnya masih cermat menatap mata kailnya.
"Kurang ajar! He, Cebol! Jangan sembarangan bicara. Atau, kau ingin mulutmu yang bau itu kurobek..!"
Mendengar bentakan itu, si cebol bukannya menoleh dan menunjukkan kemarahan, tapi malah tertawa-tawa. Sepertinya, kata-kata Kebo Koneng dianggapnya sangat lucu. Tentu saja hal itu membuat hati Kebo Koneng semakin panas. Dihampirinya orang tua itu. Dan dengan geram, ditedangnya sekuat tenaga.
Wut!
"Sudah tuli, eh, malah kurang ajar lagi! Dasar setan goblok!" bentak laki-laki cebol itu, seraya menghindari dengan merebahkan tubuhnya.
"Keparat...!" Kebo Koneng semakin geram saja, ketika melihat si cebol melesat, lalu duduk tenang di sebuah cabang pohon yang berada di atasnya.
"Mukamu yang keparat, Goblok!" balas si cebol sambil memaki lagi.
Kebo Koneng mendengus geram. Kemarahannya semakin meluap. Mendadak, tangan kanannya disorongkan ke atas sambil membentak keras. "Mampus...!"
Prasss!
Selarik sinar ungu langsung melesat ke atas, menghantam orang cebol itu. Akibatnya, cabang pohon yang diduduki hancur berantakan, tapi tubuh si cebol sendiri telah lenyap entah ke mana.
"He he he...! Ternyata tidak sia-sia si kuntilanak Nini Dawuk itu mengajarimu pukulan 'Penghancur Tulang'. Pukulan itu memang hebat, tapi hanya untuk batang kayu. Tapi kalau untuk tubuhku, kau harus belajar sepuluh tahun lagi, Bocah...."
Kebo Koneng jadi terkejut dan berbalik ketika tahu-tahu si cebol sudah berada di belakangnya. Lebih kaget lagi ternyata pukulan yang barusan dilancarkannya diketahui si cebol. Dipandangrnya orang tua itu tajam-tajam. Mungkinkah dia teman Eyang Guru...? Tapi, Eyang Guru pernah berkata kalau tidak memiliki teman seorang pun. Semua tokoh persilatan telah memusuhinya. Baik dari golongan lurus, maupun dari golongan sesat.
"Hei, Orang Tua Cebol! Siapa kau sebenarnya?! Dan, dari mana kau tahu pukulan yang kukerahkan tadi...?!" tanya Kebo Koneng dengan suara serak bernada curiga.
"He he he...! Dasar bocah goblok! Kau pikir di kolong langit ini siapa yang tidak tahu segala yang dimiliki gurumu, heh?! Ilmu kuntilanak yang haus perjaka itu bukan rahasia lagi, Tolol!"
"Kurang ajar! Berani kau menghina guruku! Kuhajar kau, Cebol Sial!"
"He he he..! Aku jadi sangsi apakah kau mampu menghajarku, Bocah Tolol! Ayo ke sinilah kalau ingin kepalamu kukemplang!" sahut orang tua cebol itu, terus mengejek.
"Keparat! Hiyaaat..!"
"Uts! Seranganmu kurang bermutu. Kau harus belajar sepuluh tahun lagl," ledek laki-laki cebol itu, seraya mengelak.
"Phuih! Tutup mulutmu! Sebentar lagi akan kurobek mulutmu!"
"He he he...!"
Berkali-kali Kebo Koneng melepaskan serangan-serangan bertubi-tubi, namun sedikit pun tidak ada yang membuahkan hasil. Orang tua bertubuh cebol itu betul-betul membuktikan ejekannya. Bahkan sama sekali tidak memandang sebelah mata pada serangan maupun pukulan maut yang dilancarkan Kebo Koneng, Malah, serangan baliknya membuat Kebo Koneng jadi tersentak kaget.
"Huh!" Kebo Koneng mencoba menghindar dari sodokan kaki lawan, dengan memiringkan tubuhnya ke kiri. Namun laki-laki cebol itu melepaskan sabetan tangan kiri yang menderu ke arah dada lawan. Tidak ada kesempatan bagi Kebo Koneng untuk menghindar.
Desss!
"Aaakh...!" Kebo Koneng kontan menjerit kesakitan sambil terhuyung-huyung ke belakang begitu terhantam pukulan telak.
"Apa kataku? Ilmu yang kau miliki masih mentah, tapi sudah sok jago!" ejek orang tua cebol itu.
Maka semakin gusar saja Kebo Koneng mendengar kata-kata laki-laki cebol itu. Satu hal yang membuatnya penasaran adalah, bagaimana mungkin lawannya mampu memasukkan pukulan? Padahal selama ini, dia beranggapan ilmu silatnya sudah cukup hebat. Betapa tidak...? Sebab, gurunya sendiri yang mengatakannya. Tapi si cebol ini, sama sekali tidak merasakan kesulitan menghadapinya. Bahkan terlihat memandang rendah sekali.
"Orang tua! Maaf, aku tidak bisa meladenimu lebih lama. Kalau tidak punya urusan lain, sudah sejak tadi kepalamu kupecahkan. Kapan-kapan kita teruskan urusan kita," kata Kebo Koneng dengan nada mengalah.
"Ha ha ha...! Siapa yang peduli dengan urusanmu? Kau sendiri mengganggu urusanku!"
"He, urusanmu yang mana yang kuganggu...?"
"Dasar goblok! Hei! Bukankah kau tadi melihat aku sedang apa?" tuding orang tua cebol itu. Matanya mendelik garang, persis seperti sedang memarahi bocah yang berbuat salah.
"Orang tua! Mungkin kau telah pikun, atau sudah gila. Mana ada orang memancing di air yang dalamnya kurang dari sejengkal? Lagi pula, mana ada ikan di tempat seperti itu? Dan lagi, aku tidak pernah mengganggu urusan memancingmu, heh...?!" sahut Kebo Koneng merasa menang.
"Dasar tolol! Siapa yang mengatakan kalau aku sedang memacing ikan...?"
Kebo Koneng tersedak. Seketika kejengkelannya semakin menjadi-jadi mendengar jawaban ngawur si cebol yang mau menang sendiri saja.
"Orang tua sinting! Siapa pun tahu kalau alat yang kau gunakan itu untuk memancing, Kalau tidak, apa urusannya kau berada di sini sambil memegang alat pancingmu...?"
"Dasar otak bebal! Kau sendiri yang mengatakan kalau tempat ini tidak layak untuk memancing. Jadi, mana mungkin aku memancing ikan seperti yang kau duga. Aku tidak setolol dirimu, bocah!"
"Jadi apa yang kau kail?" tanya Kebo Koneng, mencoba menahan sabar.
Orang tua cebol itu hanya terkekeh kecil. "Apakah kau tidak melihat, apa yang kudapat?"
Kebo Koneng jadi mengernyitkan dahinya.
"Ha ha ha...! Dasar bocah dungu. Aku sudah mendapat kakap jelek yang kepalanya botak penuh koreng, dan badannya bau seperti tahi kebo. Nah, itulah yang kudapatkan," sahut orang tua cebol itu sambil terkekeh.
Bukan main kalapnya Kebo Koneng mendengar kata-kata itu. Jadi, dirinya yang dimaksud orang tua cebol ini?
"He. Cebol! Apa yang kau inginkan dariku?!" bentak Kebo Koneng garang.
"Kepalamu yang jelek itu untuk kutendang." sahut orang tua cebol itu.
"Keparat!"
"Heh! Memakilah sepuasmu...."
"Huh! Rupanya harus kupecahkan dulu kepalamu, sebelum aku pergi!" dengus Kebo Koneng. Langsung dia melompat dan menyerang orang tua cebol itu.
"He he he...! Berani juga rupanya kau..."
"Yeaaa...!"
Kembali Kebo Koneng menyerang lawannya dengan kalap dan bertubi-tubi. Agaknya dia bermaksud menghabisi jiwa laki-laki cebol itu dalam waktu singkat. Tapi, hal itu ternyata tidak mudah. Karena selain gesit dan lincah, orang tua cebol itu sendiri kelihatan tenang-tenang saja. Sedikit pun tak terlihat kalau terdesak. Bahkan tampaknya sengaja mempermainkan lawan dengan terus-menerus mengelak untuk menguras tenaga Kebo Koneng. Dan dia hanya sekali balas menyerang, untuk membuat lawan terkejut dan jungkir balik menyelamatkan diri.
"Hiyaaat...!"
Dan ketika Kebo Koneng menyerang dengan melepaskan tendangan setengah putaran, laki-laki cebol itu memapaknya dengan tangan kanan.
Plak!
Mendapat papakan seperti itu, tubuh Kebo Koneng jadi melintir berbalik. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan si cebol. Dengan gerakan cepat, tubuhnya melesat sambil melepaskan saatu pukulan keras ke perut.
Diegk!
"Aaakh!"
Kebo Koneng kembali terpekik, ketika perutnya terkena hajaran telak lawannya. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung ke belakang diiringi tawa orang tua cebol itu.
"He he he...! Ayo, keluarkan segala kemampuan yang kau miliki! Umbarlah pukulan 'Penghancur Tulang' yang kau miliki itu untuk menghadapiku!" ledek si cebol.
"Keparat! Kau harus mati. Cebol!" dengus Kebo Koneng cepat kembali menyerang lawan dengan garang.
"Hup! Bagus..!"
"Yeaaa...!"
"Uts...! Hebat! Pukulan 'Penghancur Tulang'mu lagi-lagi hanya mengenai angin. Kenapa? Apa kau sudah takut menghadapiku? He he he...!"
"Setan!"
"Hei?! Jangan memaki! Lebih baik, pecahkan kepalamu yang bodoh dan jelek itu!"
"Sial!"
"Ha ha ha...!"
"Hiyeaa...!"
"Hm.... Kini bersiaplah menerima kematianmu!" dengus orang tua cebol itu sambil memasang wajah bengis. Begitu selesai bicara, laki-laki cebol itu tampak membuka jurus dan mulai melancarkan serangan cepat bertenaga dalam kuat ke arah Kebo Koneng.
"Yeaaa...!"
"Uts!"
Kebo Koneng langsung jungkir balik menghindari diri dari serangan lawan yang bertubi-tubi. Dan begitu bangkit kembali, lagi-lagi datang sebuah serangan. Terpaksa Kebo Koneng harus memapaknya, karena untuk menghindar sudah tidak mungkin. Maka....
Plak!
Tubuh Kebo Koneng terjajar beberapa langkah begitu tangannya beradu dengan tangan si cebol. Bahkan tangannya terasa nyeri seperti kesemutan. Dari sini bisa dilihat kalau tenaga dalamnya kalah jauh.
Sementara itu, begitu melihat lawannya terjajar, si cebol segera berlari menyusur tanah. Langsung dilepaskannya satu pukulan telak ke dada, begitu dekat dengan lawannya.
Bugk!
"Aaakh...!"
Kembali Kebo Koneng memekik ketika satu pukulan telak bersarang di dadanya. Tubuhnya langsung terpental dengan isi dada terasa seperti remuk. Tapi serangan orang tua cebol itu tak berhenti sampai di situ. Sebelum tubuh Kebo Koneng menyentuh tanah, tubuhnya telah lebih dulu melesat kembali sambil mengirim serangan susulan. Kali ini, agaknya bisa dipastikan kalau nyawa Kebo Koneng berada di ambang neraka. Namun, belum juga serangannya mendarat di tubuh Kebo Koneng, mendadak....
"Ki Dara Pincung, harap kau sudi memberikan kesempatan padaku untuk menghukum si keparat itu!" Tiba-tiba terdengar bentakan kecil dan nyaring.
"Siapa?!"
Laki-laki cebol itu seketika menghentikan serangannya. Tiba-tiba saja tidak jauh dari situ berdiri sesosok laki-laki tua berkumis dan berjanggut panjang yang telah memutih. Sorot matanya yang lembut, namun menunjukkan kegarangan dan kebencian yang memuncak terhadap Kebo Koneng. Orang tua gagah bertubuh agak kurus itu membawa sebilah pedang di punggungnya. Tubuhnya lalu membungkuk memberi salam penghormatan kepada orang tua cebol yang dipanggil Ki Dara Pincung.
"Oh! Kukira siapa. Tidak tahunya sobatku. Ki Ageng Kunir. Hm.... Ada urusan apa kau dengan kecoa busuk ini. Ki?" tanya Ki Dara Pincung bernada ramah, setelah menghentikan serangan mautnya pada Kebo Koneng.
"Mereka sudah menewaskan kedua muridku," sahut laki-laki tua yang dipanggil Ki Ageng Kunir geram.
"Hm. Dari mana kau tahu itu?"
"Sebentar lagi, si keparat itu akan mengaku..."
Ki Dara Pincung hanya mendiamkan saja ketika Ki Ageng Kunir mendekati Kebo Koneng dengan wajah geram.
"He, Keparat! Apa kau tidak mengaku sudah mencelakai dua muridku...?" bentak Ki Ageng Kunir dengan sorot mata tajam.
"Oh! Siapa... siapa kau...?" tanya Kebo Koneng berusaha bangkit sambil mendekap dadanya yang terasa sakit bukan main.
"Aku Ki Ageng Kunir. Nah, apakah kau masih mau mengelak...?"
Pada dasarnya Kebo Koneng adalah orang yang tolol dan tidak tahu banyak seluk-beluk tokoh persilatan. Dia juga tidak punya teman, selain Supit Gadar. Jadi tidak pernah terpikir dalam benaknya kalau perbuatannya selama ini berakibat buruk dan ada orang yang menagih hutang nyawa. Maka ketika Ki Ageng Kunir berkata demikian, dia hanya semakin bingung saja. Sama sekali tidak dimengerti apa maksud perkataan orang ini.
"Keparat! Kau masih pura-pura, heh...?!" geram Ki Ageng Kunir sambil mengayunkan kaki kanannya.
Tak!
"Akh...!"
Kebo Koneng menjerit keras ketika dagunya dihajar Ki Ageng Kunir. Tubuhnya sampai terjungkal ke belakang dengan beberapa buah gigi tanggal. Sehingga mulutnya berlumur darah Ki Ageng Kunir segera mendekati sambil berkacak pinggang.
"Aku tak peduli kau mampu atau tidak melawanku. Tapi, kau akan mampus kalau tak mengaku juga!"
"Eh...! Aku..., aku tak tahu apa yang kau maksud..."
"Sial! Hei! Muridku yang laki-laki ditemukan mati dengan muka pucat. Sedangkan muridku yang perempuan pun demikian, setelah dinodai dengan keji. Mayat mereka dibuang begitu saja di bawah jurang Hutan Dandaka. Nah, apakah kau akan mengelak?!"
"Eh! Apa..., apakah murid-muridmu itu adalah pemuda bersenjata kapak dan gadis bersenjata pedang...?"
"Nah! Ternyata ingatanmu masih baik, bukan? Hih!"
Begkh!
"Akh...!"
Kebo Koneng kembali terkapar di tanah, begitu mendapat hantaman keras. Lagi pula, Ki Ageng Kunir tak ingin Kebo Koneng mati begitu saja. Dia memang harus disiksa dulu, dan harus mati pelan-pelan. Rasanya keenakan baginya bila langsung mati.
"Ayo, bangkit! Lawanlah aku jangan mereka yang bau kencur dan tak tahu apa-apa! Ayo, lawan gurunya ini!"
Wut!
Des!
Ki Ageng Kunir kembali menghajar Kebo Koneng, namun tidak disertai tenaga dalam. Dan agaknya dia tak memberi kesempatan sedikit pun kepada Kebo Koneng. Amarahnya ditumpahkan kepada Kebo Koneng. Dia tak peduli, apakah Kebo Koneng melawan atau tidak.
Laki-laki berkepala botak penuh koreng itu berkali kali menjerit kesakitan. Tubuhnya yang memang sejak tadi sudah lemah, semakin tak berdaya saja
"Ayo, lawan! Bangun dan keluarkan seluruh ilmu silatmu yang hanya buat menakut-nakuti muridku yang masih bau kencur dan tak bisa apa-apa!" teriak Ki Ageng Kunir jengkel.
Sekujur tubuh Kebo Koneng terasa luluh lantak dan amat tak berdaya. Darah telah mengucur dari kepala, hidung, mulut, dan telinganya. Jerit kesakitan seperti tak pernah berhenti keluar dari mulutnya. Namun, belum terlihat tanda-tanda kalau Ki Ageng Kunir akan menyudahi siksaannya. Agaknya orang tua itu masih garam bercampur dendam atas kejadian yang menimpa kedua muridnya.
Sementara, Ki Dara Pincung hanya terkekeh kecil sambil menggeleng melihat perbuatan sobatnya. Namun....
"Orang tua busuk, hentikan perbuatanmu! Akulah lawanmu!"
"Hah?!"
Seketika kedua orang tua itu tersentak. Dan begitu mereka berbalik, tampak laki-laki berambut tipis berwajah penuh cambang bauk sudah berdiri di depan mereka. Tubuh orang itu bertelanjang dada. Sorot matanya tajam menusuk, dan hawa amarah terlihat jelas di wajahnya.
"Hm... Kau pasti kawannya juga!" bentak Ki Ageng Kunir garang.

***
"Benar Namaku Supit Gadar!"

100. Pendekar Rajawali Sakti : Kemelut Hutan DandakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang