Argabilla Prabeswara

93 23 12
                                    

03. Argabilla Prabeswara

Semua gak ada yang gak sengaja. Tapi yang sudah terjadi itu, memang kehendak Tuhan.

•••

Arga menyandang tas ranselnya sebelah, sebelah kanan. Sedangkan yang sebelah kiri ia biarkan menjuntai ke bawah. Pandangannya sudah beberapa kali mengecek jam di pergelangan tangannya.

Hari ini pertama kalinya ia bersekolah di Kota Tasikmalaya. Tepatnya SMA Prawita, banyak yang mengenal SMA ini. Sampai tidak asing jika sekolah ini di cap sebagai SMA Favorit di wilayah Tasik.

"Kenapa harus Pake ada acara mogok sih," Arga tidak berhenti mendumel, sembari terus berlari dengan jarak yang sudah hampir dekat ke sekolah.

Dari jarak dekat ia bisa melihat satpam penjaga sekolah akan segara menutup gerbang. Sontak saja Arga berlari dengan kencang, hingga tangan kokohnya, bisa dengan mudah menghalangi pintu gerbang yang sudah akan tertutup.

"Mang, Kela atuh!!" Tegur Arga, sambil berjalan melewatinya, matanya menangkap name tag yang tertera di seragam Pria bertubuh kekar ini,—-Asep.

"Udah telat atuh Jang."  Ucap Mang Asep, dengan agak kesal, karena jika saja tadi ia tidak langsung menghentikan pekerjaannya, sudah pasti tangan anak ini terjepit.

Arga nyengir, "Saya pindahan, jadi wajar dong kalo telat... Nanti mang saya kasih sebat, mau gak?" Katanya, sambil menaik turunkan Alis nya yang tebal.

Mang Asep menimang sesaat, sebelum ia setuju dan berujar, "Sok atuh, silahkan masuk..."

Sebenarnya hal seperti ini tidak boleh di lakukan, apalagi jika melihat peraturan Prawita yang tidak longgar. Tapi, karena Mang Asep tahu Arga adalah seorang murid baru, dan belum tahu aturan nya jadi ia kasih kelonggaran.

"Lain kali jangan telat lagi, ok?"

Arga membuat gerakan hormat, "ke atuh istirahat simkuring kadieu nya, sok sebat naon si mamang, tuh?" Tanya Arga, dengan menggunakan bahasa Sunda yang sebetulnya ia pun masih sedikit-sedikit tahu, dan dalam pelafalan pun ia masih terbelit lidah.

"Naon we si mang mah, sakumaha nu masihan." Kata mang Asep, yang sebetulnya tidak sepenuhnya Arga mengerti.

"Oke atuh, nanti istirahat saya balik lagi kesini. Belajar dulu sekarang mah.. Samlikum, Mang." Dalam hati Arga sangat senang, karena ia dapat dengan mudah membeli hati Mang Asep, karena ia punya akal Bulus yang memang selalu ia terapkan di sekolahnya yang dulu.

"Satpam aja dulu, biar gampang kalo mabal." Arga melangkahkan kakinya menuju pintu utama milik Sekolah baru nya. Lalu pandangannya mengedar, sekolah barunya tidak jauh kualitasnya dengan sekolah nya dulu.

"Ngantin dulu ah, bentaran aja nyari Kepsek, nanti juga Kepsek yang nyari gue."

[]

Setelah mendapatkan pengarahan dari Kepala sekolah, Arga berjalan menuju kelas yang sudah di beritahu tadi. Ia sempat merasa janggal, tapi kakinya tetap saja berjalan mengikuti arahan.

XI-MIPA 2

Arga mengernyit, "Loh, kok IPA? Gue kan maunya IPS." gumam Arga, kebingungan.

Ia membasahi bibir bawahnya, dan terdiam. "Wah, ada yang gak bener nih," katanya sambil menggelengkan kepala. Lalu Arga berbalik, dan tanpa di duga kepala sekolahnya pun berada tak jauh dari jangkauannya.

"Assalamu'alaikum, Pak?"

Pria paruh baya itu menepuk jidatnya pelan, seperti baru saja mengingat sesuatu.

"Ah.. Kamu Argabilla Prabeswara 'kan? Bukan Galen Gadangga?"

Arga mengangguk, "Bapak gak ada niatan jawab salam saya dulu gitu?" Kata Arga, membuat lagi lagi Pria paruh baya itu menepuk jidatnya pelan.

"Wadduh, Astagfirullah.. Waalaikumsalam," sahutnya, yang kemudian terkekeh merasa konyol.

"Oh iya Pak, saya kan waktu pendaftaran mau masuk IPS, tapi, kenapa tadi bapak malah ngasih petunjuk ke kelas IPA ya?" tanya Arga, mencoba mencari tahu kekeliruan yang ada.

"Oh itu.. Ini saya pun dateng ke sini mau meluruskan, kalo kamu dan Galen itu tertukar.. Maaf atas kekeliruan saya." Jelas Pria paruh baya yang bernama Danang Miharja——Kepsek SMA Prawita.

"Ohh.. jadi, Kelas saya IPS berapa ya, Pak?"

Pak Danang memberi arahan lagi pada Arga untuk menunjukkan kelasnya, beruntung karena Arga memiliki ingatan yang panjang, hingga dalam satu kali penjelasan pun ia mengerti.

"Oke kalo begitu, Terimakasih Pak."

Arga lantas menyalami tangan Pak Danang, dan segera menuju kelasnya.

Fyi, Galen Gadangga adalah sepupu Arga, Mereka sepakat pindah sekolah dengan syarat harus satu sekolah, meskipun sempat Galen menolak karena ia tidak ingin berdekatan dengan Arga. Tapi Arga yang keras kepala, hingga Tante nya—-Yang kini tinggal bersama Arga, pun menyetujui.

Lagi pula ide baik, karena setidaknya Galen bisa terpantau gerak geriknya oleh Arga.

Kembali lagi, Setelah memakan waktu 5 menit karena harus naik turun tangga, Akhirnya Arga sampai di kelasnya.

Ia berdiri sejenak, lalu berjalan masuk tanpa mengucap Salam dulu, fokus nya terganggu karena sebuah panggilan masuk dari tantenya, ia menelepon untuk memastikan jika Arga sudah mendapat kelas ataukah belum.

"Iya Tan, Arga udah masuk kelas kok... Arga gak sekelas sama Galen, tau sendirikan Tante, Galen Emang gak suka deket-deket sama Arga, hehe." Arga berjalan tanpa melihat sekitar, sampai teriakan dari seseorang yang tak sengaja tertabrak oleh nya mampu memusatkan perhatiannya.

"Sudah dulu, Tan. Nanti Arga kabari lagi."

"Astaga!" Pekik Zeyka yang refleks menyaksikan isian spidol yang melayang dan mengenai bajunya.

"Oops.. Sorry.."  Ucap Arga yang dengan tergesa memasukan handphone nya ke dalam saku celana.

Zeyka menengadah, melihat siapa yang berani tak hati hati.

"Lo kalo jalan Pake Mata dong!" Sewot Zeyka.

"Kata siapa?" Balas Arga.

Zeyka menghela nafas kasar, wajah tengil yang terpampang di hadapannya kini seperti yang minta di cocol isian spidol yang Zeyka pegang.

"Emang paling susah buat nyadarin kesalahan!" Ketus Zeyka, sambil melewati cowok yang tengah  tersenyum ke arahnya.

"Teori lo salah, Jalan itu Pake kaki, bukan Pake mata." Ucap Arga, sambil menyunggingkan senyum

"Banyak banyakin belajar bahasa, biar tau kalo permintaan maaf bukan cuma Maaf ya aja." imbuhnya, benar benar membuat Zeyka terdiam.

Sesaat Zeyka terdiam, cowok yang menabraknya itu sudah berlaru membawa dirinya ke tempat pojokan kelas yang kebetulan ada kursi kosong di sana.

First impression yang menyebalkan.

Bersambung...

give me a correction if i wrong

PRARUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang