Before 2

3.2K 264 75
                                    

"Aku diajak ke sini cuma buat liatin kamu makan?" tanya Rian tak habis pikir. Fajar mengajaknya ke salah saru kelas yang sepi. Rian kira ada apa, padahal Fajar hanya memintanya untuk menemani dia makan.

"Sekalian liat-liat ke arah pintu, kalau ada yang masuk halangin, suruh keluar lagi!" suruh Fajar dingin tak sedikit pun menghilangkan sikap bossynya.

Rian memutar mata sebal. "Emangnya aku pesuruh?"

Fajar tidak menyahut, pria itu fokus menunduk dengan makanannya. Menunya sama dengan apa yang Rian belikan tempo hari lalu.

"Aku gak pernah makan seenak ini," kata Fajar datar. Tatapannya lurus, menerawang. Kunyahannya sangat pelan dengan raut wajah yang tak dapat Rian baca.

"Bukannya orang kaya itu mampu beli makanan yang lebih enak dari ini?" tanya Rian heran.

"Mampu kalau gak boleh juga percuma."

"Maksudnya?"

Fajar menggulung bungkus nasi yang sudah habis tadi dan melemparnya ke tong sampah. Dia meminum air mineral di tangannya dengan sangat tenang. Tak peduli dengan tatapan Rian yang sudah penasaran sedari tadi.

"Ibu aku meninggal pas aku TK," ujar Fajar yang faktanya membuat Rian terkejut bukan main.

"Terus yang di rumah kamu itu...?"

"Mamah tiri. Orangnya sih baik. Tapi Aku gak terlalu akrab. Dulu waktu kecil mamah selalu manjain aku, ngerawat aku dan didik aku dengan baik. Tapi ayah terlalu sibuk sampai gak tau kalau mamah sakit."

"Jar... Kok aku jadi sedih ya?" Rian memelas. Dia kemudian menyandarkan kepalanya di atas meja tanpa melepaskan pandangannya dari Fajar.

Fajar tersenyum tipis melihatnya. "Sampai mamah meninggal, papa nikah lagi. Katanya biar aku ada yang ngurus. Tapi kenyataan beda, semua gak ada yang sama. Aku ngerasa dikekang, ngerasa dituntut buat jadi sempurna. Setiap gerak-gerik aku dipantau. Aku gak tau rasanya jadi anak kecil selepas lulus TK. Gak tau rasanya sarapan yang nikmat bareng keluarga. Gak tau yang namanya main ala remaja itu kayak gimana."

"Papa bilang aku gak boleh nakal, gak boleh ini gak boleh itu, gak boleh buang-buang waktu buat hal gak berguna. Aku mesti ngusain materi untuk anak yang usianya beberapa tahun di atas aku, harus bisa paham dunia bisnis, harus selalu menang di segala kesempatan."

"Aku pengen berontak, Yan. Pengen banget bebas. Tapi aku sadar aku belum bisa berhasil sepenuhnya. Aku kemungkinan bisa gagal tanpa ayah, bisa jatuh di tangan ayah jika dia murka. Dan aku gak punya siapa-siapa buat aku lari pas aku jatuh nanti."

"Jar..." mata Rian berkaca-kaca. Mencerminkan betapa lembut hati dia di balik sikap terang-terangannya yang suka menghina.

"Kamu tau gak yang buat aku bertahan sampai sekarang itu apa?" Fajar menatap Rian dalam.

Rian balik menatapnya. "Apa?"

"Harapan."

"Harapan?"

"Ayah bilang, aku harus sempurna. Aku bilang kalau ayah boleh campuri semua urusan aku. Tapi aku minta satu hal sama dia, buat gak boleh ikut campur masalah cinta aku."

Rian tertegun.

"Aku punya harapan untuk itu. Aku ingin satu orang yang benar-benar tulus, bisa buat aku bahagia, buat aku jadiin sandaran, buat aku nyaman, dan buat aku jadiin alasan untuk bertahan." Fajar menatapnya lagi, tatapan terluka yang Rian lihat beberapa menit lalu.

"Aku kira aku udah nemuin harapan itu...

Aku kira itu kamu, Yan,

Tapi ternyata aku salah."

Day (FAJRI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang