Satu

3.7K 108 0
                                    

Zarima Jelita.

Seperti biasa aku mengayuh sepeda tua milik bapak ke sekolah.

Jarak dengan rumah hanya 10 menit.

Bagi kami yang hidup di desa sudah biasa menggunakan sepeda atau berjalan kaki.

Aku tinggal di sebuah desa kecil di kota Yogyakarta.

Sekarang sudah akhir semester, sebentar lagi aku akan lulus sekolah.

Cita-cita ku ingin menjadi seorang perawat, tapi apalah daya makan sehari-hari saja susah untuk keluarga miskin seperti kami.

Bapak ku hanya petani dan ibu ku seorang penjahit.

Aku memiliki dua orang adik, yang satu laki-laki berumur 14 tahun dan yang bungsu  perempuan baru umur 6 tahun.

Jadi bisa di bayangkan kalau sehari-hari bagaimana kehidupan kami.

Aku sampai di gerbang sekolah, temanku Aisyah sudah menunggu disana.

"Rima, kamu telat hari ini." gadis berambut keriting itu berlari mengikuti ku meletakkan sepeda di parkiran.

"Aku tadi nitipin kue dulu di warung." jawab ku sambil tersenyum.

Setiap hari aku bangun jam 4 pagi dan membuat beberapa macam kue untuk dititipkan di warung.

Alhamdulillah separuh uangnya bisa ku berikan untuk ibu membeli lauk dan separuhnya bisa dipakai untuk modal jualan lagi.

"Yo wes, kita masuk dulu"dia menarik tangan ku ke kelas.

==========

Aku berhenti di warung untuk mengambil wadah kue dan uang hasil penjualan hari ini.

"Terima kasih mbok, Alhamdulillah hari ini kue nya habis." aku mengucap syukur melihat wadah kue kosong.

"Iya, besok ada yang pesan 100 bungkus kue bolu. Bisa kan?" kata mbok Sudah.

"Bisa mbok." Aku menjawab cepat.

Aku pulang dan mengayuh sepeda dengan hati riang.

==========

"Assalamualaikum..." Aku membuka pintu rumah.

"Waalaikumsalam." Ibu ku tersenyum melihat kedatangan ku dan aku segera mencium tangannya.

"Bu, ini uang hasil kue hari ini." aku menyelipkan sejumlah uang di bawah taplak meja.

Tidak seberapa hanya 18 ribu, tapi bisa membuat wajah ibuku berseri.

"Terimakasih nak, maaf ibu sama bapak malah nyusahin kamu." Ibu terisak.

"Lho, ibu kenapa nangis? Rima malah seneng bisa bantu ibu sama bapak." Aku merengkuh tubuh renta itu, memeluknya.

"Panen kita tahun ini cuma sedikit, pesanan jahitan ibu juga lagi sepi," ucapannya lagi.

"Nggak apa-apa Bu, Rima ikhlas kok." Aku mengusap pipinya yang basah karena air mata.

"Ya sudah, kamu makan dulu." Ibu mengandeng ku ke dapur.

Di meja makan Amir dan Siti sudah duduk menunggu untuk makan bersama.

"Bapak masih di ladang,jadi kalian makan dulu." Ibu menyiapkan piring dan gelas untuk kami.

Hanya ada Telur dadar dan tumis kangkung untuk hari ini tapi itu sudah cukup.

==========

Adzan magrib berkumandang, kami sekeluarga melaksanakan sholat berjamaah.

5. Cinta Untuk Zarima (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang