Ini bukan sekadar masalah kelamin bagi Faris. Ini juga masalah cinta dan masa depan. Ini masalah harga diri sebagai laki-laki. Bayangkan saja, Faris sudah menunggu nyaris setahun untuk melakukan hal itu dengan kekasihnya—yang awalnya selalu menolak. Namun giliran datang waktunya sang kekasih bersedia, Faris malah tidak sanggup. Ia tidak bisa ereksi! Ia tak mampu melakukan penetrasi. Padahal waktu pemanasan, semua berjalan lancar. Aliran darahnya juga.
Namun kini, jantung berdegub kencang. Keringat mengucur. Atmosfer di kamar apartemen kecil itu jadi tidak mengasyikkan lagi. Baik Faris maupun wanita yang ingin ditidurinya itu jadi sama-sama canggung.
"Kok nggak bisa?" tanya sang kekasih.
Faris menunduk malu dan bergumam, "Nggak tahu."
"Waktu itu bisa?"
"Waktu itu kapan?"
"Waktu sama mantan pacarmu."
"Bisa."
Diam sejenak. Faris menyerah. Akhirnya ia hanya membaringkan tubuh kurusnya di samping sang kekasih sembari memandang kosong ke langit-langit kamar.
Sang kekasih, yang sudah terlanjur "naik" tapi kecewa, menggapai jemari Faris yang melembut. Seraya memainkan jari-jari jangkung itu, ia berbisik, "Kamu illfeel, ya, sama aku?"
Pertanyaan itu membuat atmosfer di ruang kamar itu kian buruk. Membuat Faris kian bingung. Membuat keduanya kian canggung. Faris menutup matanya dengan lengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya masih diusap lembut oleh sang kekasih. Sedikit kesal, Faris menjawab, "Nggak, Babe. I love you."
"Tapi kok nggak bisa?" tanya sang kekasih lagi, yang lagi-lagi malah membuat Faris kian kesal. Jengkel. Dan marah. Marah padanya. Marah pada dirinya. Marah pada kenyataan yang tak menguntungkannya. Marah pada pribadinya sendiri yang ingin marah tapi tak bisa marah. Marah juga pada dirinya sendiri karena marah. Kenapa harus marah? Faris marah-marah sendiri dalam hati.
"Entahlah."
Faris beranjak dari ranjang yang tak jadi bergoyang berirama itu. Lalu melenggang ke kamar mandi. Kencing. Mandi. Lalu mengenakan pakaiannya. Sang kekasih masih terduduk terdiam di atas ranjang yang tak jadi bergoyang berirama itu sembari memandangi tubuh kurus kekasihnya. Entah rasa apa yang ada dalam hatinya. Entah pikiran apa yang ada dalam kepalanya.
Akhirnya, keduanya sepakat untuk meninggalkan kamar apartemen sewaan itu. Keduanya mufakat untuk melanjutkan kencan mereka di luar saja, di restoran terdekat. Makan. Minum. Mengobrol. Keduanya akur lagi. Keduanya tak lagi mengurusi atau membicarakan tentang ranjang yang tak jadi bergoyang seirama itu, atau ketidakmampuan Faris ereksi dan penetrasi. Atau rasa illfeel. Atau mantan pacar. Obrolan mereka kini diwarnai sedikit debat. Tentang politik, agama, dan filsafat. Dan suasana sekitar berubah menjadi hangat.
Namun sayang, magrib menjelang, mereka beranjak pulang. Aneh memang. Di saat kebanyakan pasangan baru mau memulai kencannya, Faris dan kekasihnya malah mau mengakhirinya. Menuju stasiun, mereka berjalan kaki. Lewat gang-gang sempit perkampungan. Yang tak membuat mereka malu berpegangan tangan. Di bawah langit temaram. Di sepanjang jalan yang lampu-lampunya bercahaya suram.
"Kapan kita kencan lagi?" kata kekasih Faris, setelah sebelumnya hanya suara sepatu hak tingginya yang membuat kebisingan.
Faris terdiam, seperti langit dan gang sempit. Sepi. Tak menjawab. Hatinya gelisah lagi. Berbagai rasa bercampur di dadanya. Rasa marah pada dirinya sendiri. Rasa menyesal atas ranjang yang tak jadi bergoyang seirama di kamar apartemen sewaan itu. Rasa malu karena gagal. Rasa kasihan pada kekasihnya. Dan rasa takut ditinggalkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
cerpenis
RomanceIni adalah kumpulan cerita sakit jiwa yang dialami seorang pemuda bernama Faris Kagendra tentang kehidupan sehari-harinya. Beragam masalah dihadapinya mulai dari masalah seks, agama, relasi, pekerjaan, dan lain-lain. Cerpen-cerpen di sini tidak bers...