"KAMU pernah dengar paradoks tentang Tuhan?" tanya Faris kepada saya. Saya menggeleng, saya bahkan tidak tahu paradoks itu apa.
"Begini," sebutnya, kemudian menyeruput kopinya. Saya yakin ini akan jadi bahasan panjang.
"Tuhan itu Mahakuasa, kan?"
Saya mengangguk, mendengarkan.
"Bisakah Tuhan menciptakan penyakit yang sangat sulit disembuhkan sampai-sampai diri-Nya sendiri tidak bisa menyembuhkannya?"
Saya terdiam. Berpikir. "Hah? Bagaimana maksudnya?"
Dia membenarkan posisi duduknya, kemudian menatap saya lekat-lekat. Mata saya dan matanya bertemu dalam satu garis lurus.
"Tuhan itu kan, katamu, Mahakuasa. Kalau Tuhan Mahakuasa berarti Dia berkuasa dan mampu menciptakan penyakit spesial yang bahkan Dia sendiri tak bisa menyembuhkannya."
Ah, lihatlah bola matanya. Indah sekali. Saya tidak pernah melihat mata seindah itu.
"Eee.... Enggak dong. Tuhan pasti bisa menyembuhkan penyakit apa pun, yang tersulit sekali pun," kata saya, mencoba sekuat tenaga berkonsentrasi meski matanya sungguh menggoda dan menyita perhatian.
"Nah, itu dia paradoksnya. Jika Tuhan masih bisa menyembuhkan penyakitnya, maka Tuhan tidak Mahakuasa, karena Dia tidak berkuasa dan tidak berhasil menciptakan penyakit yang Dia sendiri tidak bisa sembuhkan."
Kemudian dia tersenyum. Giginya berbaris rapi seumpama pasukan tentara yang menyambut rajanya. Melihatnya, kopi di cangkir saya jadi lebih manis terasa.
"Tapi jika Tuhan berhasil menciptakan penyakit yang amat sulit disembuhkan hingga Dia sendiri tidak bisa menyembuhkannya, maka Dia juga tidak Mahakuasa. Mengapa? Karena itu artinya Dia tidak berkuasa dan tidak mampu untuk menyembuhkan penyakit itu. Paradoks!"
Sekarang dia tertawa. Saya harus memalingkan wajah ke langit kosong karena saya enggan dia melihatwajah saya yang memerah, menahan malu. Astaga, mengapa saya jadi begini?
"Oh, iya, juga, ya."
Dia menenggak kopinya lagi sembari menatap saya sedikit tajam. Tampaknya dia menyadari gelagat saya yang aneh. Dan sejujurnya, saya pun tak pandai menyembunyikan emosi saya. Pastilah segalanya begitu kentara sejak awal.
"Ya itulah mengapa bagi beberapa filsuf, sifat Mahakuasa Tuhan sangat... apa, ya? Rapuh?"
Tapi dia sungguh seorang yang pandai berpura-pura. Pembawaannya begitu rileks dan santai, seolah tidak ada yang salah yang terjadi di antara kami berdua. Atau mungkinkah dia tidak yakin? Atau mungkinkah dia tidak memedulikan perasaan saya?
"Iya, juga, ya." Saya mengangguk-angguk. Grogi. Bingung harus berkata apa lagi.
"Mau dengar yang lain?" tanyanya.
Dengan senang hati, kata saya dalam hati.
"Yang ini lebih sensitif...," katanya. Dia mendekatkan tubuhnya. Dan meminta saya melakukan hal yang sama. "Agak kurang enak kalau ada yang dengar."
Dari jarak yang hanya beberapa hasta itu, wangi parfumnya yang maskulin tercium dan menyegarkan hidung serta hati saya. Andai kata saya bisa langsung memeluknya, maka sudah saya raih tubuh itu.
"Sebutlah bahwa di masa depan akan ada sebuah penyakit yang mematikan, yang membunuh dan menyusahkan banyak orang, yang datang dari sebuah virus atau bakteri," katanya, sembari menatap saya tegas.
Saya... yang ditatapnya tak berani membalas. Sebisa mungkin saya mengalih pandangan saya pada hal lain. Tapi jarak pandang saya begitu terbatas karena tubuh kami benar-benar dalam jarak yang minim. Berputar-putar mata saya, mencari tempat berlindung. Dan jatuhlah penglihatan saya pada lehernya yang jangkung dan kekar, pada jakunnya yang ranum dan menonjol.
KAMU SEDANG MEMBACA
cerpenis
RomanceIni adalah kumpulan cerita sakit jiwa yang dialami seorang pemuda bernama Faris Kagendra tentang kehidupan sehari-harinya. Beragam masalah dihadapinya mulai dari masalah seks, agama, relasi, pekerjaan, dan lain-lain. Cerpen-cerpen di sini tidak bers...