Faris menghempas tubuh kurusnya ke kursi. Duduk dengan malas setelah membanting ponselnya ke meja kerjanya dan membuat kegaduhan. Ia memejam mata dan mendengus. Hosea, yang duduk tak jauh dari tempatnya, terpaksa peduli. Ia memerhatikan rekan kerjanya yang tengah bermuka masam itu dengan iba bercampur kesal. Pasalnya, ini bukan pertama kali Faris bersikap demikian.
"Kenapa, Ris? Kekasihmu lagi?"
Pertanyaan itu menggelitik emosi Faris, membuatnya enggan menjawab, tapi terpaksa menjawab.
"Hmmm..." Faris membalas dengan gumaman, yang Hosea sudah tahu bahwa artinya adalah "ya."
"Kenapa lagi...?" Hosea bertanya lagi lebih lembut, mencoba prihatin.
Faris yang sejujurnya enggan membicarakan hal itu pun akhirnya bangkit dan membenarkan posisi duduknya, sebab ia pikir barangkali ada perlunya juga berkeluh kesah pada orang lain, meski sudah terlalu sering sebenarnya. Lalu ditegakkanlah tubuhnya dan dibukanya lagi kumpulan kertas-kertas di mejanya yang sangat dibencinya.
"Lelah aku tuh sama dia. Cerewet. Manja."
"Minta apa lagi dia darimu?"
"Macam-macam. Bukan hanya meminta, larangannya juga makin nggak masuk akal."
Hosea tertawa getir. Sedikit kasihan, sedikit puas. Melihat Faris susah perkara tak pernah nyaman dan akur dengan kekasihnya, Hosea jadi girang. Ia jadi congkak, jadi percaya diri bahwa hanya hubungannya dengan kekasihnyalah hubungan yang sehat. Dan tiada kekasih selain kekasihnya yang patut dipacari.
"Kalau memang nggak nyaman, tinggalin aja, Ris," hasut Hosea.
Faris menghela nafasnya. Melemas, duduknya tak lagi tegap. Pandangannya kosong menatap deretan paragraf pada lembaran kertas di meja kerjanya. "Aku nggak bisa. Aku tidak bisa hidup tanpa dia." Faris menanggapi ucapan Hosea.
Ia termenung sejenak. Lalu menoleh ke arah Hosea dan bertanya dengan nada antusias, "Menurutmu, kita bisa nggak hidup tanpa kekasih?"
Hosea berpikir sekejap. Lalu menjawab, "Nggak bisa."
"Kenapa?" Faris meminta alasan.
"Kalau bukan ke kekasih, harus ke mana lagi kita bergantung?"
"Benar juga."
"Biar cerewet, manja, dan tukang ngancam, kekasih sudah banyak memberi."
"Oh, kekasihmu juga cerewet, manja, dan tukang ngancam?"
'E... enggak sih." Hosea langsung grogi. Ia menyesali kalimat yang baru diucapnya. Kalimat itu membuat kekasihnya terdengar sama menjengkelkannya dengan kekasih Faris. Dan membuat dirinya merasa kalah atau senasib dengan rekannya itu. Meskipun kenyataannya, memang benar begitu. Hanya saja, ia tetap setia menutup-nutupi dengan berkata, "Enggak kok."
Faris mendengus lesu. Ia pikir ia akan punya teman seperjuangan yang akan mengerti penderitaannya, yang sama-sama jengah dan menderita seperti dia.
"Kupikir kekasihmu sama saja dengan kekasihku," keluh Faris, "ternyata beda, ya?"
"Kekasihku mengklaim dialah yang sudah memberiku hidup, untung, dan rezeki. Dia bilang 'I love you'...tapi kalau I don't love her back, she will burn me up. Kejam sekali, kan?" sambung Faris yang kini terlihat lebih antusias mencurahkan isi hatinya daripada mengerjakan pekerjaannya.
"Aku jadi khawatir. Jangan-jangan selama ini aku nggak mencintainya. Jangan-jangan aku mempertahankan hubungan ini bukan karena cinta atau ingin, tapi lebih karena takut padanya. Aku jadi merasa terjerat," lanjutnya sembari menatap kosong ke ponselnya yang layarnya sudah retak karena begitu sering ia banting dengan kesal selepas mendapat telepon atau pesan dari sang kekasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
cerpenis
Любовные романыIni adalah kumpulan cerita sakit jiwa yang dialami seorang pemuda bernama Faris Kagendra tentang kehidupan sehari-harinya. Beragam masalah dihadapinya mulai dari masalah seks, agama, relasi, pekerjaan, dan lain-lain. Cerpen-cerpen di sini tidak bers...