Kopi Sakit Jiwa

105 0 0
                                    

Sekitar pukul sembilan pagi, dia membuka matanya. Semalam tidurnya nyenyak sekali. Tidak bermimpi. Tidak pula terbangun sesekali. Bahkan riuh ramai para pemuda yang tawuran di jalanan pun tak masuk ke telinganya. Dia benar-benar tidur seperti bayi, dia tidur seperti orang mati. Namun biar nyenyak tidurnya, bangun paginya tetap saja melelahkan. Kepalanya terasa berat, tapi bukan sakit kepala. Dadanya terasa sesak, tapi bukan asma. Entah apa. Dia tak tahu.

Dia kemudian menatap jam dinding dan jendela. Sebentar lagi siang. Sudah sepatutnya dia beranjak. Tapi dia memilih menutup kembali kepalanya dengan guling dan memejamkan matanya lagi. Dalam hati, dia mengutuk bumi yang berputar. Dia enggan menyambut hari itu. Dia tak mau bangun. Dia tak mau hidup. Paling tidak untuk hari itu. Atau mungkin sampai besok? Barangkali seterusnya.

Bukan. Bukan karena dia malas. Tapi karena ada sesuatu di dalam dirinya. Entah apa. Perasaan yang berwarna-warni. Sulit dijabarkan. Tapi tetap terasa. Seperti hantu. Seperti penyakit. Dan dia merasakannya setiap hari. Senin sampai Jumat. Sabtu dan Minggu. Seperti sinetron kacangan yang diputar di televisi lokal. Setiap bangun tidur sampai ingin berbaring di kasur, hantu itu terus datang. Membuatnya bingung, tak bersemangat, merasa aneh, dan membuat tidurnya seolah tak pernah cukup. Meski berapa pun jam dilaluinya.

Siang harinya dia bekerja. Namun hantu itu juga kian gencar kerjanya. Kerja, kerja, kerja! Begitu slogan presidennya. Tapi Pak Presiden tak pernah memikirkan keadaan hati rakyat mudanya, yang seperti dia, yang seperti saya. Pak Presiden mungkin tak pernah dihantui hantu. Yang membuatnya dia jadi tak produktif, tak segar, tak semangat kerja... tak apalagi, ya? Ah, entahlah. Rupanya saya kehabisan kata-kata.

Pokoknya... yang saya tahu dia selalu merasa... selalu ingin cepat pulang, cepat kembali ke kamarnya dan menyendiri, saat dia tengah berada di antara orang banyak. Namun sesampainya di rumah, dia merasa begitu sepi, seolah ia ingin ditemani orang banyak. Serba salah. Ada yang salah. Dengan kepalanya.

Pecahkan saja kepalanya! Biar damai! Dia teringat puisi dalam suatu film romantis karya anak bangsa yang dia ubah-ubah isinya. Kemudian, dia teringat puisi yang dibuatnya dan tak pernah laku. Apa pentingnya apa yang kita perbuat? Semua hanya terpajang paling tidak satu atau dua hari di linimasamu. Disukai beberapa. Dikomentari tak seberapa. Kemudian menghilang, dan dilupakan. Bahkan teman-teman dekatnya saja tak ingat dia pernah menulis puisi begitu. Kekasihnya juga. Meski baginya puisi itu dalam maknanya. Atau sembari menetes air mata kala menulisnya. Tapi tetap saja.. segalanya hanya sebatas ilusi. Baik dia, kamu, saya, semuanya, tak pernah benar-benar penting bagi yang lain. Semuanya hanya seperti Instastory. Story-story yang instan, kemudian lekas-lekas terlupakan. Seperti halnya nyawa. Toh sebelum Michael Jackson lahir dan setelah ia meninggal, dunia tetap berjalan, negara tetap berkembang, ekonomi terus berputar, dan langit tetap biru. Orang-orang hanya bersedih sementara. Kemudian melupakannya. Melupakanmu! Kalau kamu mati nanti.

Pulang kerja, dia berkumpul dengan kawannya. Makanan enak tidak lagi susah didapat. Tidak seperti dulu. Sekarang, dia bisa tertawa terbahak-bahak di dalam restoran mahal tanpa berpikir berapa tagihan yang akan dikenakan kepadanya nanti. Dia tidak memikirkan itu. Yang dia inginkan hanya kebahagiaan semu itu, yang tak setiap hari ia dapatkan. Kalau diingat-ingat, dia bahkan tak ingat kapan terakhir kali berkumpul bersama teman dan tertawa terbahak-bahak.

Selepas pertemuan itu berakhir dan puas dirinya tertawa terbahak-bahak, pulanglah dia. Di perjalanan pulang, ramai sudah ponselnya dikerubuti pesan masuk dari teman-temannya yang tadi baru saja bertemu dengannya. Kata terima kasih dan ungkapan kebahagiaan berhambur seperti pakan burung yang disebar. "Thanks for today, ya, guys!"

"Seneng banget bisa ketemu kalian lagi!"

Dia pun turut membalas, "It was so fun!" dan dibubuhinya dengan ikon ilustrasi orang yang tengah tersenyum lebar. Tapi saat itu dia sedang tak tersenyum. Sama sekali. Hantu itu rupanya datang lagi. Mengerjainya, seraya berbisik di telinganya, "Nanti kita menangis tentang hari ini!" Namun sesampainya di rumah, dia tak jua menangis. Dia tak bisa. Bukan sedih yang dia rasa. Tapi entah apa. Perasaan yang warna-warni. Tapi tak indah. Apa ya? Entahlah. Dia pun enggan menggambarkannya dengan warna hitam. Sebab baginya hitam bukan warna negatif. Hitam sudah menjadi sahabatnya. Atau jangan-jangan hitam memang negatif? Hanya saja dia sudah terbiasa... akan kenegatifan itu?

Dia berbaring. Menatap dinding kamarnya yang putih kosong. Ada bercak hitam di sana. Entah apa. Mungkin tahi cecak. Dia enggan mendekati untuk memastikan. Dia begitu malas bergerak. Eh... bukan malas, tapi tak bersemangat. Kemudian dia terpikir akan dirinya sendiri. Tembok itu seperti dia. Warna putihnya kosong, tapi memenuhi. Sama seperti rasa yang tengah dia rasakan tiap hari. Kosong, tapi memenuhi. Bagaimana bisa hatimu merasa begitu kosong, merasakan kehampaan yang luar biasa, tapi kepalamu penuh dengan beragam hal dan kekhawatiran yang berdesak-desakan seumpama orang-orang di kereta rangkaian listrik saat jam pulang kerja?

Kerja, kerja, kerja! Dia bangkit dari rebahannya. Harus ada yang dilakukan, pikirnya. Biar produktif. Tapi kemudian ponselnya bekerja lebih dulu. Berdering dan bergetar. Panggilan masuk. Dari seorang teman. Katanya, "Saya mau bunuh diri. Sampai jumpa." Kemudian dia pun mengalih pikiran. Lemah lembut dia berusaha mengingatkan kawannya bahwa hidupnya bermakna, mengingatkan kawannya bahwa ia akan baik-baik saja. Kemudian... cermin sebesar dunia terbentang di hadapan wajahnya. Tersipu dia. Dalam hatinya dia berkata, "Seharusnya aku mengatakan itu pada diriku sendiri."

cerpenisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang