6

324 51 10
                                        

Sejak rapat yang lalu, aku tiba-tiba jadi pusat perhatian—sesuatu yang sama sekali tidak kuinginkan. Entah kenapa, mahasiswa dari berbagai departemen mulai penasaran dengan hubunganku dengan Park Jimin.

"Yebin, kau benar-benar kenal baik dengan Park Jimin?"

"Sejak kapan kalian dekat?"

"Kalian sudah saling kenal sebelumnya, atau baru akrab karena festival?"

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus berdatangan, bukan hanya dari teman-teman satu departemenku, tapi juga dari mahasiswa lain yang bahkan sebelumnya tidak pernah berbicara denganku. Tatapan-tatapan ingin tahu yang mengikutiku ke mana pun aku pergi membuatku merasa tidak nyaman, seolah-olah aku adalah objek penelitian yang menarik.

Belum lagi Soyeon. Sahabatku itu tampaknya tidak akan berhenti menggali informasi sampai aku benar-benar menyerah dan mengaku—padahal tidak ada yang perlu diakui. Setiap kali kami bertemu, dia akan menatapku dengan senyum menyelidik, lengannya disilangkan di dada seakan sedang menungguku jujur.

Aku hanya bisa menjawab sebisanya.
"Aku tidak dekat dengannya. Kami cuma pernah bicara sebentar soal anggaran festival," kataku berulang kali.

Tapi tetap saja, mereka tidak puas.

Aku tidak pernah suka jadi pusat perhatian, dan sekarang aku malah dikerumuni orang-orang yang penasaran akan sesuatu yang bahkan tidak terlalu penting bagiku. Rasanya seperti sedang berada di bawah sorotan lampu yang terlalu terang, membuatku ingin bersembunyi di balik bayangan.

Malam itu, setelah seharian penuh berkutat dengan tugas yang seolah tidak ada habisnya, aku akhirnya menyempatkan diri singgah di convenience store sebelum kembali ke asrama. Perutku sudah mulai protes—sejak siang, aku hanya sempat meneguk kopi, dan sekarang rasa lapar itu menyerang dengan ganda.

Aku melangkah masuk, merasakan udara dingin dari pendingin ruangan menyentuh kulitku. Langkahku otomatis menuju rak makanan siap saji, mataku mencari sesuatu yang bisa mengisi perutku dengan cepat. Tanganku hampir mengambil satu bungkus kimbap ketika mataku menangkap sosok yang tidak asing, duduk sendirian di dekat jendela.

Itu Jimin.

Biasanya, aku melihatnya dikelilingi teman-temannya di kampus, bercanda dan selalu punya komentar santai untuk segala hal. Tapi kali ini, dia hanya duduk diam, bahunya sedikit merosot, tatapannya kosong menatap ke luar jendela, seolah pikirannya melayang entah ke mana.

Lampu jalan yang redup dari luar menciptakan bayangan samar di wajahnya, menambah kesan sendu yang tidak biasa kulihat darinya.

Aku ragu sejenak, jemariku masih menggenggam kemasan kimbap. Tapi entah kenapa, kakiku bergerak sendiri mendekatinya.

"Hei," sapaku sambil meletakkan makananku di meja, suaraku lebih pelan dari biasanya.

Jimin menoleh. Sekilas, ada sedikit keterkejutan di matanya sebelum kembali datar. Tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang terasa berbeda—lebih tenang, tapi juga lebih… jauh.

"Kau sendirian?" tanyaku, meskipun pertanyaan itu jelas tidak perlu.

Dia mengangguk pelan. "Sepertinya begitu."

Aku menggigit bibir, lalu memberanikan diri bertanya, "Aku boleh duduk di sini?"

Jimin melirikku sekilas, lalu ke minuman di depannya. Uap tipis masih keluar dari cangkir kertas itu, menandakan minuman hangat yang hampir tidak disentuh. "Boleh."

Aku duduk di kursi di seberangnya, membuka bungkus makananku dengan sedikit ragu. Suara plastik yang berkeresek terdengar lebih nyaring di antara keheningan kami. "Kau sudah makan?"

"Aku tidak lapar," jawabnya singkat.

Aku mengunyah makananku sambil sesekali meliriknya. Suasana di antara kami terasa… kaku. Biasanya, Jimin akan melontarkan candaan atau komentar santai, tapi kali ini, dia hanya diam. Tatapannya sesekali kembali ke luar jendela, jemarinya menggulung tepi cangkir kertas tanpa tujuan jelas.

Setelah beberapa menit, aku akhirnya membuka suara.

"Akhir-akhir ini, aku sering mendapat pertanyaan tentangmu," ujarku sambil menyesap minuman.

Jimin mengalihkan pandangannya kembali padaku. "Pertanyaan seperti apa?"

"Kenapa kita tiba-tiba dekat? Sejak kapan kita kenal? Pokoknya pertanyaan semacam itu," kataku, meletakkan sumpitku di atas kemasan makanan. "Dan aku rasa ini karena kemarin kau menggodaku di depan banyak orang."

Biasanya, dia akan menanggapinya dengan senyum jahil atau tawa kecil. Tapi kali ini, dia hanya diam sebentar sebelum akhirnya berkata, "Maaf."

Aku mengangkat alisku. "Kenapa kau minta maaf?"

"Karena aku mungkin membuatmu tidak nyaman," katanya, nadanya datar. "Aku tahu kau tidak suka jadi pusat perhatian."

Aku terdiam sesaat. Dia benar—aku memang lebih suka berada di luar sorotan. Tapi mendengar dia mengatakannya dengan nada seserius ini terasa agak aneh.
Aku mengangkat bahu. "Yah, memang agak merepotkan, sih. Tapi tidak apa-apa. Lagipula, kita hanya teman. Kalau orang lain ingin berpikir macam-macam, itu urusan mereka."

Jimin menatapku dalam diam, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Lalu, dengan suara pelan, dia mengulang kata-kataku.
"Teman, ya?"

Aku mengangguk. "Iya. Kau sendiri tidak terganggu, kan?"

Dia menatap ke luar jendela lagi, tangannya kini menggenggam cangkir lebih erat. "Aku sudah terbiasa."

Aku mengerutkan kening. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang terdengar… jauh. Seolah dia tidak benar-benar berbicara denganku, tapi lebih kepada dirinya sendiri.

"Jimin," panggilku pelan.

Dia menoleh.

Aku ingin bertanya apakah dia baik-baik saja, tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokanku. Aku tidak yakin bagaimana menanyakannya tanpa terdengar aneh. Jadi, akhirnya aku hanya berkata, "Aku pikir kau lebih banyak bicara biasanya."

Dia tersenyum kecil—senyum yang terasa samar dan sedikit… dipaksakan. "Mungkin aku hanya lelah."

Dia diam sejenak sebelum melanjutkan, "Terkadang, seseorang bisa terlihat berbeda tergantung situasi. Saat sedang lelah, atau saat menghadapi sesuatu yang berat. Atau… orang itu memang berubah-ubah."

Aku tidak yakin apakah itu alasan sebenarnya, tapi aku tidak menekan lebih jauh.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Aku melanjutkan makan, sementara Jimin tetap duduk di sana, sesekali menyesap minuman di tangannya, uap hangat menyentuh bibirnya yang tampak sedikit pucat.

Akhirnya, dia berdiri. "Aku harus pergi."
Aku mengangguk, merapikan sampah makananku. "Baiklah. Sampai jumpa besok di kampus."

Dia menatapku sejenak, lalu mengangguk. "Sampai jumpa."

Aku memperhatikannya berjalan keluar, langkahnya tenang tapi terasa sedikit berat.
Aku tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu tentang malam ini yang terasa… berbeda.

Jimin yang tadi aku temui bukanlah Jimin yang biasanya.

Dan untuk pertama kalinya, aku merasa ada sesuatu tentang dirinya yang belum aku pahami sepenuhnya.

Filter • pjmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang