Bagian 9

690 129 7
                                    

14 Maret 2010

Matahari begitu terik, membuat mahluk bumi terasa meleleh. Salah satunya gadis berambut keriting yang diikat asal. Dia berlari menyusuri koridor sekolah yang sedang ramai karena jam istirahat. Napasnya terengah-engah saat orang yang sedang dikejar olehnya sepertinya tidak menyadari akan hal itu dan terus berjalan bersama gengnya yang terlihat begitu menonjol.

"Kak Arvin!!!" teriaknya.

"Kak Arvin aku mau ngomong!" teriaknya lagi, tapi masih tak terdengar.

"Arvin Pradika Kusuma aku mau ngomong!" teriaknya dengan sisa tenaganya dan sekeras yang dia bisa.

Anak-anak yang berlalu lalang di koridor itu langsung menatapnya, tapi dia tidak peduli. Setidaknya di antara mereka semua ada orang yang dia kejar. Arvin, dia menghentikan langkahnya dan menatap gadis itu.

Pemuda tampan itu tersenyum manis menatap gadis itu yang masih berusaha untuk bernapas dengan normal.

"Kamu memanggilku?" tanya Arvin lembut, dia mengangguk cepat. "Ada apa?" tanya Arvin lagi.

"Itu ... anu ...." Entah mengapa dia menjadi gugup, terlebih Arvin menatapnya dengan begitu intens.

"Itu, anu apa?" tanya Arvin sambil menahan tawanya karena ekspresi gadis di depannya terlihat sangat mengemasnya.

"Ehhmmm ...." Semua kata-kata yang sudah dia hafalkan buyar begitu saja saat berhadapan dengan Arvin.

Arvin melihat name tag di seragam gadis itu. Tertulis Rubi Angreyani. "Rubi, ada apa? Ada yang perlu aku bantu?" tanya Arvin ramah. Pemuda itu memang terlihat dingin, tapi dia sebenarnya sangat ramah seperti yang orang-orang ceritakan.

Rubi tersenyum kikuk. "Begini ... Ekstrakulikuler dance yang baru dibentuk, tidak punya pelatih ...." Rubi mengantungkan kalimatnya.

"Lalu?"

"Aku dengar kakak jago dance, mau nggak ngajari kita untuk sementara, karena sebentar lagi kita mau ikut lomba."

"Ehmm gimana ya, soalnya aku juga sibuk."

Rubi tertunduk lesu, harapannya membawa Arvin sebagai pelatih ekstrakulikuler dance seperti pupus.

"Tapi baiklah, aku akan meluangkan waktu."

"Beneran?" Arvin mengangguk. "Makasih kak!" Tanpa sadar Rubi langsung memeluk Arvin.

Senyuman yang mengembang di wajah Rubi hari itu  adalah satu hal terindah yang pernah Arvin lihat dan dia selalu mengingat itu.

***

Setelah sekian lama dia melihat senyum itu lagi. Senyum cerah, penuh semangat saat gadis yang kini telah menjelma menjadi wanita dewasa berjalan ke arahnya.

" Pak Arvin saya ingin bicara dengan Anda," ucapnya.

"Silahkan."

"Nggak di sini."

"Saya sibuk."

"Saya akan tunggu sampai bapak nggak sibuk!"

Arvin terdiam menatap wajah Rubi yang terlihat penuh harap.

"Saya tidak bisa!" ujarnya sambil beranjak untuk pergi.

Sebenarnya Arvin sangat ingin bicara dengan Rubi, membuat gadis itu ingat semuanya dan menyembuhkan alerginya.  Namun dia sudah berjanji untuk tidak membuat gadis itu menderita dengan ingatan-ingatan yang mungkin muncul saat dia bersama Rubi lebih lama.

"Aku ingat kamu dan beberapa kenangan kita!" ucap Rubi yang berhasil menghentikan langkahnya Arvin. "Jadi ayo kita bicara, aku mohon," pintanya.

Kalimat terakhir yang Rubi ucapkan berhasil membuat Arvin mau bicara dengannya. Mereka sekarang  berada dia kafe yang terletak di lantai dasar gedung kantor Arvin berada. Namun hingga beberapa waktu berlalu, mereka masih saling mendiamkan.

Bukan karena tidak ada hal yang ingin mereka katakan, tapi terlalu banyak hal hingga mereka bingung untuk mengatakan apa lebih dahulu.

"Aku seneng kamu ingat aku," ujar Arvin memulai pembicaraan.

"Sebenarnya hanya sebagian kecil, itupun dibantu dari foto-foto dan barang-barang kenangan kita yang Mita berikan."

"Mita?" Arvin memastikan jika dia tidak salah dengar. Seingat dia calon istri dari sahabatnya adalah orang yang paling tidak menginginkan Rubi mengingatnya.

Rubi tersenyum melihat reaksi Arvin. "Iya Mita, aku yang maksa."

"Kenapa?"

"Aku ingin ingat kamu dan kenangan kita!"

"Tapi kenapa? Mita pasti sudah mengatakan semuanya kalau aku itu ...."

"Laki-laki berengsek?" potong Rubi yang membuat Arvin tersenyum kikuk. "Aku tahu, jika kamu bukan laki-laki berengsek tidak mungkin sampai aku menghapus semua kenangan tentang kamu!"

"Terus kenapa kamu tetap ingin mengingat aku?"

"Ehhmmm ... Karena aku ingin terbebas dari masa lalu. Mungkin aku memang lupa, tapi bukan berarti lukaku sembuh. Kamu tahu kan, kita perlu tahu penyakit kita agar kita bisa mengobatinya?"

"Jadi kamu merasa kenangan kita adalah penyakit?"

"Mungkin. Selama ini aku tidak memiliki ketertarikan untuk menyukai seseorang (Jung Jaehyun tidak dihitung orang) mungkin karena hatiku masih terluka oleh kenangan yang aku lupakan."

Arvin mengangguk paham. Mungkin benar, Rubi memang tidak ingat tapi luka itu membekas dihatinya. Meski tak terasa sakit, tapi luka itu ada.

"Jadi kamu mau aku bagaimana?" tanya Arvin.

"Bantu aku mengingat semuanya."

"Kamu yakin." Rubi mengangguk. "Kamu mungkin akan terluka."

"Aku yakin, apa pun resikonya nanti."

"Baiklah, tapi dengan satu syarat."

"Apa?"

"Apa pun yang terjadi nanti, saat kamu sudah ingat semuanya aku ingin kamu mengabulkan satu permintaanku."

"Apa itu?"

"Ya atau tidak?"

"Ya."

"Baiklah aku harap kamu tidak ingkar janji."

"Tentu, kapan kita akan memulainya?"

"Kapan saja, jika kamu sudah siap. Tapi sebelumnya kamu konsultasi dengan dokter. Aku takut, mencoba mengingat akan berbahaya."

"Oh rupanya Bapak Arvin, mengkhawatirkan mantan pacar yang pernah dicampakkannya ini?" ledek Rubi.

"Aku memang yang selingkuh, tapi kamu yang mutusin aku lalu menghilang begitu saja!"

Setelah mengatakan itu Arvin terdiam, ingatan tentang bagaimana dia berusaha menemukan Rubi keesokan harinya di sekolah setelah mereka putus. Ingat betapa putus adanya dia saat Rubi tidak terlihat hingga beberapa hari kemudian. Dia juga ingat bagaimana perasaan saat itu ketika Rubi tidak lagi terlihat. Hari-hari yang berhasil tidak Arvin ingat selama beberapa tahun ini, namun hari ini dia kembali mengingat  hari-hari itu lagi. Tanpa sadar air matanya jatuh begitu saja.

"Ternyata bukan cuma kamu yang hilang ingatan, sepertinya aku juga melupakan beberapa hal," ucap Arvin yang membuat Rubi tak percaya, terlebih arti dari air mata yang laki-laki itu teteskan.

"Sebenarnya apa yang kita berdua lewatkan. Sebenarnya siapa lebih terluka di  antara kita?"

***
TBC

Hai hai!

Aku balik setelah satu bulan. Pingin ku tuh rajin nulis kaya dulu, tapi gimana moodku sering awut-awutan.

Semoga kalian menikmati cerita ini.

Happy reading.

Missing Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang