3. After Four Years~

24 10 8
                                    

    Keheningan, serta saling beradunya mangkuk dan sumpit, menjadi latar suasana kaku dan dingin yang menyelimuti meja makan keluarga Baradwaja.

Altair baru saja menapakkan kakinya di ruang tengah. Ekor matanya menangkap satu sosok yang paling ingin dia hindari tengah duduk bersampingan dengan sang Papa. Dan di sebelahnya terdapat pula seorang wanita setengah baya yang berhasil di persunting oleh Papanya sejak dia berumur empat belas tahun.

Altair mengeraskan rahangnya begitu mendapati sosok Arogan yang juga menatap ke arahnya dengan pandangan tak kalah tajam. Seolah menantangnya kembali seperti empat tahun yang lalu.

Mau apa pria itu kembali sebenarnya? Belum puas rupanya si brengsek itu menjadi penghancur.

Altair mendengus, sesaat kemudian melanjutkan langkahnya yang tadi sempat tertunda menuju kamarnya yang terletak di lantai dua rumahnya. Sebelum sebuah suara menginterupsinya, "Altair kenapa tidak memberikan salam sama Mama? tidak merindukan Mamamu ini huh?" dengus sang Mama atau yang akrab di sapa dengan Rina.

Lelaki yang berbalutkan kemeja kotak-kotak berwarna putih coklat itu menatap Rina dengan tatapan datar. Enggan menanggapi lalu kembali melanjutkan langkahnya. Bahkan siapapun akan tahu dalam sekali lihat bahwa hubungan keluarga mereka bisa di katakan sangat jauh dari kata harmonis.

"Sampai kapan pun di mata gue, Lo tetaplah bukan seorang Aldebaran walau Papa lo menikahi Mama gue. Jadi berhenti bertingkah seolah-olah lo itu bagian dari Aldebaran, Altair Baradwaja." ucapan Arogan sama dengan menyulut emosi yang tertanam di dalam hati Altair sejak dia masih berumur empat belas tahun.

Belum sempat Altair membuka belah bibirnya untuk bersuara, Rina Aldebaran telah lebih dulu menyindirnya lagi secara terang-terangan di depan sang Papa. "Empat tahun saya di Vienna, ternyata anakmu itu tetap tidak memiliki sopan santun sama orang yang di sebut Mama ya, Sirius?" satu sindiran dari Mama Rina berhasil membuat Altair melangkah kembali menuju ujung tangga. Sedangkan sang Papa memilih diam tak menanggapi. Atau lebih tepatnya malas sama seperti sang anak.

Altair menarik nafas panjang sebelum berucap "Katakan itu pada anak tercintamu Rina Aldebaran. Siapa yang terlebih dahulu menyambut kedatangan saya dengan wajah pongah serta ucapan sampahnya barusan!" Setelah berucap demikian, Altair berbalik memasuki kamarnya dengan satu bantingan keras yang terdengar hingga ruang makan. Dia terlalu malas untuk beradu argumen dengan Rina juga Arogan yang terlihat semakin menyebalkan di matanya.

Arogan mendengus, seluruh hatinya masihlah di liputi dengan ketidaksukaan besar yang bersarang kuat memenuhi rongga dadanya. Seperti itulah pembenci seharusnya berucap Rogan. Setelahnya dia berdiri hendak berbalik meninggalkan Rina juga Sirius yang terdiam di meja makan.

"Mama tidak perlu menyindir Altair seperti tadi, cukup Rogan saja yang memupuk kebencian padanya akibat dari ulah pernikahan kalian ini." semburnya pada Rina secara terang-terangan.

Sedangkan Mama Rina yang di sindir seperti itu hanya mampu menatap ke arah sang anak dengan tatapan sayu yang sarat akan permintaan maaf. Sayangnya hal itu tidak akan pernah sampai ke dasar hati Rogan yang telah lama mati.

***

Pukul sepuluh malam Altair keluar dari rumah mengendarai Mercy hitam kesayangannya menuju tempat dimana Auris berada. Tadinya lelaki berbadan kekar dengan tatto di tangan sebelah kanan yang menjadi ciri khasnya itu hendak menuju ke tempat fitnes guna melampiaskan emosinya yang sedari tadi tak kunjung mereda.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 05, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[Heal Me If You Can]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang