4 || Trauma

9 0 0
                                    


Jena POV

"A-ayah?"

Apa aku tidak salah dengar? Itu benar-benar suara ayah kan? Tapi, bagaimana bisa?

Kucoba menelepon kembali nomor tak dikenal tadi dengan tergesa-gesa. Hatiku rasanya seakan ingin meledak. Rasanya sangat teramat sesak. Dadaku dipenuhi oleh harapan dan juga ketakutan. Takut bahwa semua ini tidak seperti yang aku harapkan.

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi ...."

Tut ... tut ....

Kucoba sekali lagi menghubungi nomor tak dikenal itu. Harapku masih belum putus. Oh tuhan ... Apakah ini akan berakhir seperti yang aku harapkan? Ayahku sebenarnya belum meninggal, kan?

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi ...."

Tut ... tut ....

Jawaban yang kudapatkan kembali sama.

Kulepaskan handphone ku dari dekat telinga ku dengan lunglai. Benar, ayahku sudah meninggal. Apa lagi yang aku harapkan?

Berharap ia tiba-tiba kembali hidup dan bergabung dengan keluargaku? Hahahaha mustahil, itu tak akan terjadi. Kenapa aku harus berfikiran tidak masuk akal? Itu pasti bukan ayahku. Itu pasti hanya orang iseng saja yang mencoba mengusikku.

Perlahan kurasakan mataku mengabur. Kurasakan kakiku melemas. Kemudian, aku terduduk lemas di lorong sekolah yang sepi, diiringi tangisku yang mulai berubah menjadi sungai air mata yang begitu derasnya.

"Hiks ... hiks ... Ayah ...." Lirihku lemah.

Kenangan-kenangan terakhir saat kecelakaan ayahku denganku kemudian mulai terngiang-ngiang di kepalaku. Kejadian-kejadian yang tak mau aku ingat itu terus mengusik ingatanku hingga diriku merasa teramat pening.

Badanku bergetar hebat, dan napasku mulai tak beraturan. Kepalaku sekarang semakin pusing, semuanya seakan berputar. Aku memegangi kepalaku dengan tangan kiri ku sambil terus menangis tersedu-sedu.

Kutopang tubuhku yang sudah terduduk lemas dengan tangan kananku. Napasku lagi-lagi semakin tak beraturan.

Ku coba menelpon Jino tapi tangan ku terlalu lemas dan gemetaran. Lagi-lagi potret ayahku yang berlumuran darah terus menerus terulang dan membuatku semakin pening.

"Ayah! Ayah! Tidak! Ayah!"

"Hei-hei, sadar! Lo itu kenapa?!" Tiba-tiba seorang laki-laki menghampiriku dan berkata dengan panik sambil mengguncang bahuku.

"Hiks ... Ayah ...." Jawabku setengah sadar. Aku masih terlarut di dalam ingatanku akan kecelakaan di hari itu.

"Lo ... kita ke UKS aja!" ucapnya sambil mengangkat kedua lenganku agar berdiri. Aku menggeleng pelan setelah aku berdiri sambil masih menangis sesenggukan.

"Telepon Jino ...." lirihku.

Lelaki itu mengangguk cepat. "Ok-ok gua telepon si Jino!"

Tiba-tiba badanku terasa lemas dan mati rasa, akupun kemudian terhuyung jatuh. Laki-laki itu tiba-tiba menangkap kedua bahuku.

"Haduh ...." ucapnya pelan, lalu mendudukkan diriku kembali di lantai lorong.

"Udah lo duduk aja!" Ucapnya memerintah. Setelahnya ia membuka handphone nya dan menelepon Jino.

Author POV

"Halo ... Jino, em ... anu, ini ada cewek lagi sakit, terus dia maunya sama lo, padahal tadi udah gua suruh ke UKS, Lo bisa ke sini kan? Ke lorong deket perpus, oh iya, nama ceweknya .... " Jin kemudian melirik bedge nama yang tertera di seragam Jena.

"Jena! iya, Jena!" seru Jin, "Buruan! Dia udah gemeteran ini sambil nangis, terus manggil-manggil ayahnya!" Lanjut Jin lagi agak panik.

Jino yang berada di seberang sana, langsung buru-buru menyelesaikan urusannya di kelas, dan pergi untuk menemui Jena. Perasaan Jino tidak enak. Sepertinya trauma Jena kambuh kembali.

----

"Kak, kenapa trauma lo bisa kumat lagi sih? Gak mungkin kan lo sampe kambuh lagi kayak gini kalo gak ada pemicunya?" tiba-tiba Jino melancarkan pertanyaan nya pada Jena sesaat setelah dokter keluar dari kamar Jena.

Jena, yang baru saja dapat berbaring di kasurnya dan baru saja diperiksa oleh dokter, menggerutu di dalam hati mendengar pertanyaan Jino. Dasar tidak peka.

"Gua capek, bisa gak sih keponya di tunda dulu!" seru Jena sewot. Memang ya, Jena tidak bisa tidak emosi jika berada di dekat Jino. Adik kembarnya yang hanya selisih 15 menit dengannya itu selalu saja berhasil membuat Jena kesal dan marah-marah.

"Ya kan gua nanya Bambang, lo denger gak tadi dokter ngomong apa? Lo sampe harus nambah dosis obat penenang lo buat sementara kali ini, padahal kemarin-kemarin kata dokter, lo itu hampir sembuh dan bisa lepas dari obat penenang itu, sebenarnya kemarin tuh ada apa? sampai lo jadi kayak gini?"

Pertanyaan Jino membuat Jena mematung sesaat, haruskah Jena jawab jujur? ia bingung. Di satu sisi ia ingin ini jadi rahasia nya sendiri dulu, tapi di sisi lain ia tidak terbiasa berbohong kepada Jino. Jino terlalu hafal bagaimana tabiatnya.

Jena menghembuskan napasnya. "Ada nomor gak dikenal nelpon gua kemarin."

Jino membelalakkan matanya, "Terus?"

"Nabrak," jawab Jena asal.

Jino menyentil kening Jena. "Serius bego!"

Jena mengusap-usap keningnya sambil mengaduh kesakitan. Kemudian, sekali lagi, Jena menghembuskan napasnya. "Suara penelponnya ... persis mirip suara ayah."

Jino memelototkan matanya selebar-lebarnya. "Serius Lo?!" Kemudian Jino menggeleng kencang. "Gak mungkin, lo pasti bercanda, udah gua bilang kak, lo itu harus move on dari mas-"

"Gua gak ngehalu Jino, itu nyata!" sentak Jena, "Suaranya benar-benar mirip ayah, itu yang bikin semuanya, usaha gua buat sembuh dari trauma ini, jadi buyar."

Jino mendengus. "Tapi kak, gimana bisa? Itu gak mungkin ayah! Ayah udah meninggal bertahun-tahun yang lalu!"

"Maka dari itu gua ... juga gak ngerti, di satu sisi gua berharap itu ayah, tapi di sisi lain gua juga tau, itu gak mungkin," lirih Jena.

Jino menghembuskan napasnya berat, ia tak tega melihat keadaan kakaknya. Betapa sepertinya ia menderita dan begitu terbelenggu oleh masa lalu.

"Yaudah, lo mending sekarang istirahat aja dulu, untuk hal itu kita pikirin aja nanti, untung mamah lagi gak ada di rumah, kalo gak, kena lo diintrogasi habis-habisan sama mamah," ucap Jino.

"Iya-iya, bawel!" seru Jena.

"Btw, besok jangan lupa bilang makasih sama si Jin," ucap Jino sambil membetulkan letak selimut Jena.

Mendengar nama itu Jena langsung terbangun duduk dari posisi berbaringnya. "Hah? Jin? si Puser itu?!"

Jino memutar bola matanya. "Iyalah! emang lo pikir, yang bantu lo itu, Jin yang mana lagi? Gak mungkin kan Jin tomang, kalo iya Jin tomang, gua jamin lo pingsan duluan lihatnya." Mendengar itu Jena mendelik sebal kepada Jino, sempat-sempatnya ia mengejek Jena.

"kalo gak ada dia, mungkin lo gak tau tadi gimana nasibnya, dia yang nolongin lo dan dia juga yang nelpon gua buat dateng," lanjut Jino, "dah lah yah, gua keluar," ujar Jino kemudian keluar dari kamar Jena.

Sementara itu, di dalam hatinya, Jena menggerutu hebat. Bagaimana ini? Berterima kasih sama si Puser? Ih, ogah!
Tapi dia yang udah bantu Jena, kalo gak ada dia, gak tau tadi Jena gimana nasibnya. Tapi-tapi, dia juga perebut jodohnya Jena kemarin!

"Ah tau lah!" seru Jena kesal sambil menutup seluruh wajahnya dengan selimut tebalnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tentang JenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang