[8/3/2017]

48 6 10
                                    

Aku tak pernah peduli dengan anak baru. Sekolah Jepang selalu punya pasokan muda-mudi untuk itu. Kesekian kali siswa datang dan berlalu, aku tidak pernah benar-benar merasakan namanya empati. Terlalu dini untuk menganggap siswa baru hal penting. Walau katanya dia baru saja pindah dari luar kota mengikuti ayahnya---yang merupakan orang kaya, katanya dia cakap mengisi kekosongan diri, berbakat mencuri hati, pintar membela diri. Semua orang bilang dia sempurna. Buat apa aku ikut menaruh afeksi?

Tadinya aku acuh dengan semua itu. Namun sejak tongkatku hilang dan kutemukan di loker si anak baru, aku jadi terpaksa mengenalnya. Namanya Kazuya, sekilas dia aneh. Tidak seperti gambaran orang-orang. Kazuya mengembalikan tongkatku sambil mendecih. Mungkin tak habis pikir bagaimana---

"Bagaimana bisa tongkatnya ada di sini?"

Aku diam saja. Benar, 'kan dugaanku, dia pasti risih. Kuraba tongkat pemberiannya, memastikan kalau itu memang milikku. Tanpa berbasa-basi lagi aku berlalu pergi, tak peduli dengan Kazuya yang memanggil-manggil namaku di belakang sana. Lagi pula ini pasti ulah anak-anak yang suka menjahiliku. Kurang ajar memang mereka, dasar manusia-manusia sampah.

Aku buta sejak kanak-kanak. Dari situ banyak anak yang merundungku. Beberapa kali aku memang dipindahkan ke sekolah lain, tetapi akhirnya sama saja. Ibu yang keras kepala enggan menempatkanku di sekolah berkebutuhan khusus. Aku dianggap akan gagal kalau menuntut ilmu di sana. Kepalang muak, kuputuskan untuk bertahan dengan neraka mencari ilmu ini.

Entah mengapa, kejadian tersebut terus terulang. Keparat memang. Anak-anak nakal pandai sekali menyembunyikan tongkatku di loker Kazuya, lagi dan lagi. Sudah berulang kali aku terpaksa harus menghadapi manusia menjemukkan semacam ini.

Sebenarnya aku cuma iri. Kazuya itu sempurna, sementara aku cacat. Kita berbanding terbalik. Aku yang ditindas, Kazuya yang disayang oleh semua orang. Memikirkannya membuat dadaku terasa sesak.

"Sudah tujuh kali." Kazuya menyentuhkan ujung tongkat ke telapak tanganku. Refleks aku ingin menggenggamnya, tetapi dia keburu menariknya lagi. Aku mengepalkan tanganku. Tidak cukupkah semua bajingan itu? Apa penderitaanku harus di tambah lagi? Oleh si anak baru yang menyabet semua peringkat iri dengki di hatiku?

"Kenapa diam saja? Selain buta kau juga bisu?" Dapat aku rasakan dia melangkah mendekat---selain karena jarak kita yang hanya terpaut beberapa langkah, instingku sudah terbiasa dengan kegelapan hingga mampu mendeteksinya. Aku mundur guna memperpanjang jarak kita. Tanganku meraba-raba ke belakang, berharap tak ada halangan di sana.

Sayangnya harapanku itu tak terkabul. Telapak tanganku menyentuh dinding loker, kemudian diikuti dengan punggungku. Ingin aku maju atau lari ke samping tetapi Kazuya sudah ada di depan tubuhku. Tubuhnya menahanku supaya tidak bisa bergerak. Pergerakanku terkunci. Sial.

Aku membuka mulut untuk bicara, mungkin yang diinginkannya adalah agar aku mengucapkan terima kasih padanya. Belum sempat aku mengucapkan dua kata itu, aku kembali mengatupkan mulutku. Terkejut, kaget, mual, dan perasaan tak enak lainnya mulai muncul. Apa ini? Aku dapat merasakan hembusan napasnya di wajahku!

Seolah belum cukup dengan sikap kurang ajarnya, Kazuya berkata, "Kau pasti menyukaiku, 'kan?!"

"Bajingan!" Bagai mendapat cahaya pencerahan dari Tuhan, kutekuk kaki kananku dan melesatkan lututku ke daerah rawannya. Tidak bisa kutebak lututku memukul milik-nya atau tidak---tetapi dapat kupastikan kalau aku mengenai sekitar selangkangannya.

Kazuya mengerang kesakitan. Tak lama setelah itu, aku rasakan sebuah benda jatuh di kakiku. Dari bunyi jatuhnya aku tahu kalau itu pasti tongkatku. Segera saja aku membungkuk untuk mengambilnya. Kazuya masih kedengaran mengerang. Dia beruntung, jika dia tidak dalam kondisi seperti itu aku pasti sudah memukulinya.

"Hoi, gunakan telingamu dengan baik dan catat di otakmu!" Aku melipat kedua tanganku di depan dada. Kepalaku terangkat angkuh. Enak juga menjadi sombong seperti ini.

"Kau menolongku berkali-kali memang. Walau 'menolong' yang kumaksud itu hanya membiarkanku mengambil tongkatku di lokermu, aku sangat berterima kasih. Namun perlu engkau tahu kalau aku sama sekali tak menyukaimu! Bahkan aku tak merasakan perasaan apa pun padamu! Tidak, aku membencimu!" Kulangkahkan kaki pergi darinya, tak mengindahkan teriakan-teriakannya belakang sana. Persetan, persetan!

"Mizuki? Kau marah? Aku, 'kan hanya bercanda!"

"Tolongin dulu dong!"

"Hei aku benar-benar minta maaf!"

"KALAU AKU TAK BISA PUNYA ANAK BAGAIMANA!!!"

HeavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang