[24/3/2017]

21 4 3
                                    

Berawal peristiwa tongkat dan hancurnya masa depanku, kami jadi teman. Aku ingin tertawa ketika aku mengingatnya lagi. Entah mengapa, setelah itu aku jadi penasaran padanya. Padahal, 'kan seharusnya aku membencinya. Kalau kata mama, mungkin ini takdir. Kami dekat setelah aku mati-matian mengejarnya setiap waktu. Beberapa kali juga aku membantunya mencari tongkatnya yang hilang---aku jadi tahu tongkatnya sering berpindah tempat seperti itu karena keusilan siswa---dan melaporkan pelakunya ke konseling.

"Terima kasih."

Aku menaikkan alis. Ini kali kedua dia mengucapkan terima kasih. Yang pertama dia katakan dengan sangat kasar, jadi bisa dibilang yang ini sangat-sangat halus. Aku tersenyum, lumayan juga dia kalau bertingkah manis seperti ini. Kucoba untuk menggodanya. "Aku tak butuh terima kasihmu."

Seperti yang aku duga, mukanya berubah jadi kesal. Dia jadi tampak masam kalau dilihat. "Kau mau apa?"

"Aku mau jadi temanmu."

Walau dia menolak, aku tetap memaksa. Terus menerus memaksa. Lama-lama kita jadi akrab sendiri. Walau tak ada kata-kata dari bibir Mizuki yang menyatakan bahwa kita teman, tetapi aku yakin aku sudah jadi teman untuknya. Kami sering bolos bersama untuk bermain bersama kucing jalan di halaman belakang sekolah. Pernah juga kami tidak mengerjakan tugas, lalu dihukum bersama. Semua waktu yang aku lalui dengannya terasa indah. Kadang aku berpikir, apa dia juga merasakan hal yang sama?

Hari ini aku dapat kabar duka. Ibu Mizuki telah tiada. Katanya lemah jantung. Aku tahu hal ini dari perkataan beberapa teman yang turut berbela sungkawa pada Mizuki.

Kini aku tahu kenapa Mizuki beberapa hari ini menjauhiku. Lebih dari menjauhiku, dia bahkan sama sekali tak mau bicara denganku. Kupikir aku melakukan kesalahan hingga dia menjauhiku begitu, jadi aku ikut menjauhinya. Tentu saja aku menjauhinya agar dia menenangkan diri, bukan untuk meninggalkannya! Huh, temanku yang malang. Dia pernah bilang kalau dia hanya tinggal dengan ibunya. Sekarang pasti dia sedang hancur, apalagi kita cuma sebatas remaja. Aku jadi merasa sangat bersalah karena tak ada di sampingnya. Baiklah, sudah kuputuskan kalau istirahat nanti aku akan menghiburnya.

Sepanjang pelajaran kulalui dengan gelisah. Aku tak bisa fokus dengan apa yang sensei sampaikan, pikiranku hanya terpusat pada Mizuki. Beberapa kali kulirik dirinya--kami terpaut satu meja--dan dia terlihat tenang-tenang saja. Kenapa dia bisa seperti itu sih? Kalau aku jadi dirinya, pasti aku akan membolos sekolah.

Akhirnya bel surgawi berdering juga. Aku melonjak senang, saking senangnya bahkan aku sampai menggebrak meja. Sambil meringis kuberikan tatapan 'aku tak apa-apa' pada teman-teman yang kini menatapku dengan aneh. Aku malu sekali. Namun tentu saja aku tak lupa pada tujuan awalku. Kusapukan pandanganku ke sekitar mencari Mizuki. Hei, dia sudah tak ada di kelas! Cepat-cepat aku berlari kesetanan keluar, takut kalau dia sudah keburu jauh.

Menemukan Mizuki di tengah-tengah seisi penghuni sekolah bukan sesuatu yang sulit. Mizuki mencolok dengan tongkatnya. Kutemukan dia berjalan perlahan menuju halaman. Aku putuskan untuk mengikutinya saja, bukan menyusulnya. Dia berhenti di depan gerbang sekolah. Sekolah kami memang punya gapura merah di gerbangnya. Cat kuning pastelnya sudah mulai mengelupas. Mizuki duduk di undakan, di depan papan bertuliskan aksara kanji---yang aku penasaran apa artinya. Perlahan aku mendekat lalu duduk di sampingnya.

Kami hanya duduk dan saling diam. Mata Mizuki menatap lamat-lamat kendaraan yang lalu lalang di depan sana---di depan sekolah memang ada jalan raya. Aku tahu dia pasti sedang mendengarkan betul-betul suara berisik mereka, tetapi mengapa? Menengok jalan dan muka Mizuki secara bergantian tak kunjung memunculkan jawabannya. Setelah aku melakukannya beberapa kali, barulah aku sadar kalau Mizuki ingin ... aku tak mau meneruskannya. Dengan mata berkaca-kaca kukatakan padanya, "Jangan mati."

Lantas aku mulai berkhotbah meniru pendeta: kukatakan kalau Mizuki pasti adalah salah satu anak kesayangan-Nya. Bapa bahkan membiarkan anaknya sendiri tersiksa di atas salib, maka dia pasti memperlakukan hal serupa pada anak-anak kesayangan-Nya. Susah-susah aku merangkai kata, respon yang kuterima hanya tertawaan hambar.

"Bila keinginanmu menjadi kenyataan, maka bersiap-siaplah kehilangan."

Tangisku yang sudah di ujung tanduk luruh begitu saja saat mendengar kata-katanya. Aku menangis tanpa rasa malu sama sekali. Padahal dia yang sedang bersedih dan dia juga yang perempuan, kenapa malah aku yang menangis? Jawabannya adalah: aku tidak tahu. Aku ingin saja, seperti kalimat tadi menyihirku.

"Ibu mati karena permintaanku." Saat dia mengatakan ini tangisku berubah menjadi isakan, "padahal aku sudah hidup tanpa permintaan sama sekali. Kenapa sekali aku meminta, tumbalnya adalah Ibuku?!"

Yang bisa kulakukan adalah menangis seperti anak kecil yang kehilangan permennya. Berkali-kali aku sapu air mata dengan punggung tangan, tapi tangisku tak berhenti juga. Mizuki yang selama ini kukenal tak pernah menangis pun, kini menumpahkan kesedihannya. Aku tak bisa membayangkannya. Bagaimana dia hidup selama ini? Bagaimana dia bisa bertahan tanpa pernah meminta?

"Jangan menangis."

"Bagaimana aku tak menangis, kau menangis lebih keras!"

Kami tertawa bersama, lalu menangis lagi. Aku senang melihatnya tertawa seperti tadi. Mizuki, aku berjanji, aku akan mempertahankan tawamu ini. Tak akan kubiarkan kata-kata ibumu menghantuimu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri. Dengan pandangan berkobar aku beranikan tanganku menggengam tangannya. Tangan Mizuki terasa hangat, sama seperti wajahnya yang kini memerah sehabis menangis. Pelan-pelan kugenggam lalu aku sapukan ibu jariku di punggung tangannya. Semoga dengan begini akan membuat Mizuki sedikit membaik. "Ayo belajar meminta."

Dia tersenyum kecil mendengar perkataanku. Kelopak matanya memandang lurus ke depan. Pandangan matanya sudah tak menyiratkan kalau dia ingin menabrakkan diri ke salah satu kendaraan yang lalu lalang di sana. Mizuki kemudian membisikkan beberapa kata. Walau berbisik pun dapat aku dengar jelas kalau dia mengatakan, "Permintaanku hanya dirimu. Cukup dirimu."

Apa maksudnya? Aku tak mengerti. Lebih-lebih lagi perkataannya membuat aku merasakan hal aneh. Aku berusaha tertawa di tengah kedua pipiku yang memanas entah mengapa. "Kau harus punya sebuah permintaan, kalau tidak aku bukan temanmu lagi!"

"Engkau bercanda." Tangan Mizuki bergerak menghapus air mata yang meluap dari kawah air matanya. Padahal aku hanya bercanda, dia sudah menangis saja. Apa dia sungguh takut kalau aku tinggalkan? Haha, dia yang sedang bercanda. Aku ingin menyahut tapi dia kembali melanjutkan perkataannya, "Kalau begitu ... keinginanku yang selanjutnya adalah melihatmu."

HeavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang