[25/4/2020]

21 4 5
                                    

Diberitakan:

Terjadi kecelakaan di Distrik 04, Nakamoto. Korban seorang lelaki yang teridentifikasi bernama Kiriyama Kazuya. Ia tertabrak truk saat hendak menyebrang. Saat ini korban telah dilarikan ke rumah sakit terdekat.

Turut diamankan ponsel serta karangan bunga berwarna ungu sebagai bukti.

— ☆ —

Aku mengerjapkan mata perlahan. Hal pertama yang kulihat adalah bayangan samar-samar. Aku mengerjapkan mata lagi, kali ini bayangan tersebut mulai membentuk menjadi berbagai objek. Apa aku harus menjelaskannya? Perasaan ini, perasaan yang sungguh membahagiakan. Sembilan tahun hidup dalam kegelapan, sekarang akhirnya aku bisa melihat kembali. Aku memekik senang, ternyata memang dunia masih seindah ini. Puas mengamati obat-obatan dan alat-alat medis, mataku aku buat berkeliling. Dia menangkap jendela---yang berada di kamar perawatanku. Tubuhku refleks menuju ke sana. Alhasil, aku menganga. Ada burung yang tengah terbang di luar! Mereka ada dua ekor, yang satu terbang terlebih dahulu sementara yang satunya lagi mengejar yang lain. Sepertinya mereka berdua adalah sepasang kekasih.

Melihatnya aku jadi teringat Kazuya. Di mana dia sekarang? Dia bilang akan menjadi orang pertama yang aku lihat, nyatanya itu cuma omong kosong. Aku mengerucutkan bibir, apa mungkin dia sedang mengerjaiku?

Kuputuskan untuk keluar dari kamar dan mencarinya. Mungkin dia sedang menungguku di luar. Apa mungkin dia sedang mempersiapkan kejutan bagiku? Mungkin semacam pesta selamat datang kembali pada mataku, atau yang lainnya. Aku diam-diam berharap.

"Umm." Bukannya menjumpai Kazuya, diriku justru menemukan seorang perempuan paruh baya di depan kamarku. Melalui suara aku langsung mengenalinya. Dia ibu Kazuya. Sedang apa dia di sini? Menjengukku selepas operasi juga? Kuputuskan untuk mendekatinya. Entah kenapa, perasaanku jadi was-was.

"Permisi?"

Ibu Kazuya dengan cepat menoleh ke arahku. Aku tersentak dibuatnya. Tadinya aku tak melihat mukanya karena dia duduk membelakangiku, tetapi sekarang aku dapat melihatnya dengan jelas. Dia sedang menangis. Wajahnya merah sembab, bahkan sesekali dia tersedu. Aku menelan ludah susah payah. Perasaanku jadi makin tak tenang. Meski enggan aku paksa mulutku untuk berbicara, "Ada apa?"

Tadinya dia hanya diam saja. Sudah kutunggu berdetik-detik, dia tetap bungkam. Aku jadi geram. Dengan kasar aku pegang tangannya---sama seperti yang Kazuya lakukan kalau dia ingin aku mengakui sesuatu---dan menatap tajam matanya. Dia terlihat mengalah. Pelan-pelan dia buka mulutnya dengan susah payah. Sama sepertiku sebelumnya, ibu Kazuya juga terlihat memaksakan mulutnya untuk berbicara.

"Kazuya ...." Aku menanti perkataannya dengan cemas, "kecelakaan."

Kau tahu? Seketika, rasanya aku telah kehilangan jantungku.

"Dia juga tengah dioperasi di rumah sakit ini sekarang."

Tak tahu lagi. Aku tak tahu lagi. Memangnya apa yang harus aku katakan? Apa yang harus aku lakukan? Aku seperti orang linglung yang tak tahu arah dan tujuan. Benar, aku tersesat. Aku tak bisa pulang. Rasanya benar-benar seperti di masukkan ke lubang keputusasaan. Mataku mengerling ke keluarga Kazuya yang memilih menunggu di sini ketimbang berdiri di depan ruang operasi. Mereka sama putus asanya denganku. Air muka mereka sama sekali tak bisa dikatakan tenang. Memangnya bagaimana bisa tenang? Anak mereka satu-satunya sedang menjalani operasi sekarang.

Bila keinginanmu menjadi kenyataan, maka bersiap-siaplah kehilangan.

Sial. Kalimat itu lagi. Aku menutup rapat-rapat kedua telingaku dengan telapak tangan, menghalau kata-kata tadi masuk lebih dalam. Rasa bersalah itu kembali muncul. Rasa yang sama seperti saat aku kehilangan ibu. Rasa yang sama, juga keinginan yang sama. Keinginan untuk membunuh diriku.

Memangnya, ini semua salah siapa jika bukan aku? Ini karena permintaanku. Ini karena aku tak mengacuhkan kata-kata ibu. Semua ini, memang semua ini salahku!

Aku sudah tak tahan lagi. Pelan-pelan pandanganku mengelilingi sekitaran ruang ini. Ah, memang sepertinya Tuhan selalu berpihak padaku. Aku tersenyum. Dengan cepat aku berlari ke arah tangga. Kuberi tanda agar tidak ada yang perlu repot-repot mengejarku. Mereka mesti mencemaskan Kazuya. Tujuanku adalah rooftop rumah sakit. Buat apa aku ke sana? Kupikir ... aku akan mengakhiri segalanya.

Kalau saja tidak dalam kondisi seperti ini, mungkin aku sudah berjingkrak kesenangan. Pemandangan di sini lumayan. Namun untuk orang yang baru saja sembuh dari kebutaannya, ini luar biasa. Aku berdiri di samping pembatas rooftop. Hanya sebatas perutku, jadi mudah saja untuk aku meloncat ke bawah sana.

Aku genggam pembatas ini erat-erat. Kata-kata sialan itu kembali terngiang. Gambaran-gambaran tentang ibu, lalu tentang masa-masa yang aku lewati bersama Kazuya juga muncul terus menerus. Sakit, ini begitu sakit. Hentikan, aku mohon hentikan semua ini!

Dengan ekspresi dingin, aku cengkeram pembatas erat-erat. Tubuhku perlahan mulai terangkat. Sesaat lagi, sebentar lagi aku akan mengakhiri semua penderitaan ini. Berat badan membuat tubuhku mulai condong ke depan sana. Aku menutup mataku, bersiap-siap menahan sakit.
Namun apa yang terjadi?

Ada sebuah pelukan yang menghentikanku. Pelukan yang hangat, pelukan yang selama ini aku kenali betul pemiliknya. Pelukan itu berbisik, "Jangan, Mizuki."

Cepat aku berbalik---karena gerakanku pula, aku jadi menginjak kembali lantai rooftop. Mataku mencari-cari keberadaannya. Ketemu. Beberapa meter dariku, aku tangkap sebuah tubuh berdiri persis di depanku. Aku tahu, aku tahu siapa itu.

"Tunggu!" Cepat-cepat aku berlari ke arahnya. Sayangnya, baru beberapa langkah aku terpaksa berhenti sebab ada sapuan angin yang mengarah padaku. Bukan angin biasa, angin ini bercampur kelopak bunga keunguan. Bunga ini, melihatnya dadaku jadi terasa sesak entah mengapa.

Mari lupakan bunganya dan fokus pada sosok di depan sana. Kelopak bunga ini ternyata berasal dari tubuhnya. Tubuh tersebut terkikis pelan-pelan kemudian berklamuflase jadi kelopak bunga. Tadinya aku hampir tak percaya kalau itu dia. Namun jika kau menghabiskan waktu bertahun-tahun dengan seseorang, berbentuk apa pun dia kau pasti akan mengenalinya. Kazuya, dia benar-benar Kazuya!

"Lihat ... aku bisa melihatnya ...." Tanganku terangkat naik untuk menutup mulut. "Kazuya ...."

Aku tak percaya semua ini. Pikiranku berkecamuk, bukan karena kosong tapi karena banyak sekali yang kupikirkan. Rasa bersalah tadi tiba-tiba lenyap begitu saja. Mereka digantikan oleh rasa bingung sekaligus rasa sedihku.

"Bila keinginanmu menjadi kenyataan, maka bersiap-siaplah kehilangan."

Kelopak mata Kazuya menutup. Tubuh yang tadinya jelas kini mulai berubah transparan. Sementara aku? Aku hanya bisa diam tanpa mampu berbuat apa-apa. Kata-katanya bagai membungkam seluruh duniaku.

"Jadi mari kita ucapkan ... selamat tinggal." Kazuya sepenuhnya terkikis menjadi kelopak bunga keunguan. Mereka terbang membumbung ke udara, perlahan-lahan mulai menghilang entah kemana.

Terbangnya mereka, ada nyawa yang ikut melayang dan hilang bersamanya. 

HeavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang